Oleh: Dwi Taufan Hidayat
Di masjid tua yang tenang dan sepi,
Selepas Isya, lingkaran obrolan pun terjadi.
Cerita pekerjaan, keluarga, dan canda bersahutan,
Namun ada bisik-bisik yang pelan berkelindan.
Seorang imam yang bijak dan damai,
Langkahnya berubah, sering tergesa di senyap malam.
Prasangka tumbuh di hati yang rapuh,
Membisikkan rahasia yang tak tentu arah dan patuh.
“Ke mana langkah itu berlari?” tanya sunyi,
Namun jawabannya hanya menggantung di angin sepi.
Hingga malam datang dengan hujan yang ringan,
Dan langkah misteri itu diamati dari kejauhan.
Di bawah temaram lampu jalan yang buram,
Ia mengetuk pintu rumah yang hampir karam.
Tangan yang letih mengeluarkan bekal,
Makanan dan buku-buku, hadiah untuk bekal akal.
Tawa anak-anak terdengar mengisi ruang,
Wanita tua bersyukur dengan hati lapang.
“Terima kasih atas cinta yang tak ternama,”
Ucapnya lembut, penuh makna yang mulia.
Yang mengintai tertegun, beku di tempat,
Prasangkanya runtuh, hancur jadi debu yang terhempas.
Namun ego tetap menggema di sudut batin,
Mencari alasan, mencoba membenarkan bisikan yang dingin.
Di lingkar masjid, suara bijak bergema,
“Janganlah prasangka menjadi bara yang menyala.
Bukankah Tuhan telah mengingatkan:
‘Jauhilah prasangka, sebab sebagian darinya dosa yang nyata.'”
Hati yang muram mulai retak,
Ego menyerah, maaf pun terucap.
Sosok yang dicurigai tersenyum dengan damai,
“Tak semua yang kau lihat adalah apa yang sampai.
Kadang, rahasia itu bukan untuk dibuka,
Karena kebaikan sejati adalah yang tersembunyi dalam doa.”
Malam itu, hujan menitik pelan di halaman,
Namun di hati, badai telah reda dengan harapan.
Keheningan malam menjadi pelajaran suci,
Berhenti menilai, dan belajarlah memahami.
Sejak malam itu, masjid menjadi ruang kasih,
Prasangka memudar, kebaikan tumbuh bersemi.
Dan di balik malam yang dulu kelam,
Hikmah berpendar, seperti bintang yang tenggelam.