JAKARTAMU.COM | Al-Qur’an merupakan bacaan sempurna dan mulia karena tidak ada satu bacaanpun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu dapat menandingi Al-Qur’an.
Tidak ada bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis aksaranya. Bahkan dihapal huruf demi huruf oleh anak-anak, remaja, dan dewasa.
Prof Dr M. Quraish Shihab, dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Qur’an” mengatakan tiada bacaan melebihi Al-Qur’an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat baik segi waktu dan saat turunnya, maupun sampai kepada sebab-sebab serta turunnya.
Al-Qur’an datang dengan membuka mata manusia agar menyadari jati diri dan hakikat keberadaan mereka di bumi ini. Dan juga agar mereka tidak terlena dengan kehidupan dunia sehingga mereka tidak menduga bahwa hidup mereka hanya dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian.
Kandungan Al-Qur’an tentang sejarah atau kisah-kisah disebut dengan istilah kisah Al-Qur’an. Bahkan ayat-ayat yang berbicara tentang kisah jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayat-ayat yang berbicara tentang hukum.
Hal ini memberikan isyarat bahwa Al-Qur’an sangat perhatian terhadap masalah kisah, yang memang di dalamnya banyak mengandung pelajaran (ibrah).
Oleh karena itu, menurut Harun Nasution, dalam buku “Islam Rasional“, kisah dalam Al-Qur’an memiliki makna tersendiri bila dibandingkan isi kandungan yang lain.
Harun Nasution mengatakan perlu kiranya kita sebagai umat Islam untuk mengetahui isi kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an sehingga kita dapat mengambil pelajaran. Al-Qur’an selain memuat ajaran akidah (keyakinan), syari’ah (hukum Islam), akhlak, janji dan ancaman, filsafat, isyarat-isyarat, juga berisi kisah-kisah, terutama kisah seputar para Nabi dan umat mereka sebelum Nabi Muhammad SAW serta umat lainnya yang hancur karena keangkuhan mereka.
Menurut Harun, di dalam al-Qur’an kata qishash diungkapkan sebanyak 26 kali dalam berbagai bentuk, baik fi’il madli, mudhari’, amar, maupun mashdar yang tersebar dalam berbagai ayat dan surat.
Penggunaan kata yang berulang kali ini memberikan isyarat akan urgensinya bagi umat manusia. Bahkan salah satu surat Al-Qur’an dinamakan surat al-Qashash yang artinya kisah-kisah.
Secara bahasa, kata qashash berasal dari bahasa Arab dalam bentuk mashdar yang dipetik dari kata qashasha yaqushshu qishashan yang secara etimologi berarti mencari jejak. Seperti yang di dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 64 maksudnya kedua orang itu kembali mengikuti jejak dari mana keduanya datang.
Kata qashash bisa bermakna urusan, berita, kabar maupun keadaan. Ditemukan dalam surat Ali Imron ayat 62 yang artinya sesungguhnya ini adalah berita-berita yang benar.
Namun secara terminologi, menurut Manna al-Khalil al-Qaththan mendefinisikan qishashul quran sebagai pemberitaan al-Qur?an tentang hal ihwal umat-umat dahulu dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara empiris.
Ayat yang menjelaskan tentang kisah-kisah inilah yang paling banyak mendominasi ayat-ayat al-Qur’an dengan menunjukkan keadaan negeri-negeri yang ditempatinya dan peninggalan jejak mereka.
Hal ini diungkapkan oleh al-Qur’an dengan menggunakan cara dan gaya bahasa yang menarik dan atau dengan cara shuratan nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri yang menyaksikan peristiwa itu).
Menurut Hasbi al-Shididiy, qishahul quran adalah kabar-kabar al-Qur’an mengenai keadaan umat yang telah lalu dan kenabian masa dahulu serta peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Dari pengertian yang dikemukakan tersebut dipahami bahwa kisah-kisah yang ditampilkan al-Qur’an adalah agar dapat dijadikan pelajaran dan sekaligus sebagai petunjuk yang berguna bagi setiap orang beriman dan bertaqwa dalam rangka memenuhi tujuan diciptakannya yaitu sebagai abdi dan khalifah pemakmur bumi dan isinya. Serta memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan sebenarnya agar dijadikan ibrah (pelajaran) untuk memperkokoh keimanan dan membimbing ke arah perbuatan yang baik dan benar.
Karakteristik kisah Al-Qur’an yaitu berupa peristiwa nyata yang benar-benar terjadi. Kisah-kisah Al-Qur’an sejalan dalam kehidupan manusia. Kisah-kisah al-Qur’an tidak sama dengan ilmu sejarah. Kisah Al-Quran sering diulang-ulang.
Dua sisi pokok dari setiap sejarah sebagai cerita. Pertama, sisi seni pengungkapannya yang menyangkut langgam bahasa dan teknik penyajian.
Kedua, sisi isi yang menyangkut apa yang terjadi, kapan, di mana, siapa pelakunya dan mengapa terjadi.
Konsep kisah al-Qur’an dalam meningkatkan spiritual anak adalah: konsep irsyad (petunjuk), konsep dialogis, konsep hikmah dan i’tibar (hikmah dan pelajaran), konsep dzikra (mengingatkan), konsep takhwif dan tahdzir (ancaman). Penuturan kisah-kisah al-Qur’an sarat dengan muatan edukatif bagi manusia khususnya pembaca dan pendengarnya.
Kisah-kisah tersebut menjadi bagian dari metode pendidikan yang efektif bagi pembentukan jiwa yang mentaukhidkan Allah SWT.
Kisah Paling Benar
Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan kisah paling benar sebagaimana disebutkan dalam firman Allâh SWT:
وَمَنْ أَصْدَقُ مِنَ اللَّهِ حَدِيثًا
Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allâh? (QS an-Nisa’/4:87)
Demikianlah semua kisah dan cerita yang ada dalam al-Qur`an adalah benar dan pas, karena menceritakan realita yang terjadi tanpa ada pengurangan dan penambahan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ
Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar [Al-Kahfi/18:13]
Juga firman-Nya:
إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْقَصَصُ الْحَقُّ ۚ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak diibadhi) selain Allâh; dan sesungguhnya Allâh, Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [Ali Imrân/3:62]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala suci dari sifat dusta sehingga tidak mungkin Allâh Azza wa Jalla mengisahkan kisah-kisah yang tidak terjadi atau fiktif. Allâh Azza wa Jalla juga maha mengetahui, mendengar dan melihat serta menyaksikan semuanya. Oleh karena itu ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan satu kisah, berarti kisah itu benar dan diceritakan berdasarkan ilmu.
Kisah al-Qur’an juga merupakan sebaik-baik kisah sebagaimana disebutkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ هَٰذَا الْقُرْآنَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur’an ini kepadamu. [Yûsuf/12:3]
Syaikh Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Hal itu karena kisah-kisahnya benar, kalimat-kalimatnya terangkai dengan baik dan makna yang terkandung begitu indah. [Taisîr Karîmirrahmân].
Oleh karena itu, kisah-kisah al-Qur’an merupakan kisah yang paling bermanfaat. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman [Yûsuf/12:111]
Siapa saja yang meyakini bahwa semua kisah-kisah dalam al-Qur`an dan yang disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah benar dan nyata, maka insya Allah, kisah-kisah itu akan memberikan pengaruh besar pada perbaikan dan pembinaan diri.
Demikian penting kisah-kisah ini, hingga Allâh Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kepada manusia semua kisah yang diketahuinya, agar menjadi bahan renungan dan mengambil pelajaran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ ۚ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا ۚ فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir [al-A’râf/7: 176].
Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilali mengatakan bahwa tujuan dihadirkan kisah-kisah para Nabi adalah untuk memberikan pelajaran kepada kaum Mukminin sepanjang masa; agar menjadi bekal bagi para pengikut mereka yang jujur dan ikhlas [Shahîh Qashashil Anbiyâ’, hlm. 5]
Memang demikianlah, para Nabi dan para da’i sejak dahulu telah mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu untuk terus memenuhi jiwa mereka dan meneguhkan hati mereka. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman [Hûd/11:120]
Hikmah Kisah-Kisah dalam Al-Qur’an
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam “Ushûl Fit Tafsir” menjelaskan menjelaskan tentang hikmah kisah-kisah dalam al-Qur’an:
Penjelasan mengenai hikmah Allah SWT dalam kandungan kisah-kisah tersebut, sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنَ الْأَنْبَاءِ مَا فِيهِ مُزْدَجَرٌ ﴿٤﴾ حِكْمَةٌ بَالِغَةٌ ۖ فَمَا تُغْنِ النُّذُرُ
Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat cegahan (dari kekafiran). Itulah suatu hikmat yang sempurna, maka peringatan-peringatan itu tiada berguna (bagi mereka) [al-Qamar/54:4-5]
Menjelaskan keadilan Allah Azza wa Jalla melalui hukuman-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman tentang orang-orang yang mendustakan-Nya:
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَٰكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ۖ فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ لَمَّا جَاءَ أَمْرُ رَبِّكَ ۖ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
Dan Kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri, kerana itu tiadalah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allâh, di waktu azab Rabbmu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali kebinasaan [Hûd/11:101]
Menjelaskan karunia-Nya berupa pemberian pahala dan keselamatan kepada yang beriman, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِبًا إِلَّا آلَ لُوطٍ ۖ نَجَّيْنَاهُمْ بِسَحَرٍ
Kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan di waktu sebelum fajar menyingsing [Al-Qamar/54:34]
Sebagai hiburan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi sikap orang-orang yang mendustakannya, sebagaimana firman-Nya,
وَإِنْ يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ وَبِالزُّبُرِ وَبِالْكِتَابِ الْمُنِيرِ ﴿٢٥﴾ ثُمَّ أَخَذْتُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۖ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ
“Dan jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasulnya); kepada mereka telah datang rasul-rasulnya dengan membawa mukjizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna. Kemudian Aku adzab orang-orang yang kafir; maka (lihatlah) bagaimana (hebatnya) akibat kemurkaan-Ku.” [Fâthir/35:25-26]
Sebagai motivasi bagi kaum Mukminin agar tegar dalam keimanan bahkan bertambah imannya saat mereka tahu kaum Mukminin terdahulu telah selamat dan menang saat diperintahkan berjihad.
Sebagai peringatan bagi orang-orang kafir akan akibat buruk yang mereka dapatkan jika mereka terus-menerus dalam kekufuran, sebagaimana firman-Nya,
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚ دَمَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ۖ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memerhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka; Allâh telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” [Muhammad/47:10]
Semakin mengukuh kebenaran risalah Nabi Muhammad n , sebab berita-berita tentang umat-umat terdahulu tidak ada yang mengetahuinya selain Allâh Azza wa Jalla. Allah berfirman:
تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ ۖ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَٰذَا
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. [Hûd/11:49]
Dan juga berfirman:
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ قَوْمِ نُوحٍ وَعَادٍ وَثَمُودَ ۛ وَالَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ ۛ لَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا اللَّهُ
Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (iaitu) kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allâh.” [Ibrahim/14:9]