Dalam kehidupan sehari-hari, berjabat tangan sering kali menjadi tanda penghormatan dan persaudaraan. Dalam Islam, tindakan ini memiliki landasan sunnah yang menunjukkan keutamaan dan nilai spiritualnya.
Salah satu hadis menyebutkan, “Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan, kecuali dosa-dosa mereka diampuni sebelum berpisah”. Dari sini terlihat, berjabat tangan dapat menjadi sarana mempererat hubungan sekaligus mendatangkan ampunan dari Allah.
Namun, terdapat pertanyaan penting: bagaimana hukum berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram? Pertanyaan ini memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama, didasarkan pada dalil-dalil Al-Quran dan hadis yang relevan.
Sebagian ulama berpendapat bahwa berjabat tangan antara bukan mahram dilarang, merujuk pada ayat Al-Quran:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ [النور (24): 31]
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita [QS. an-Nur [24]: 31].
Ayat di atas menekankan kewajiban menjaga aurat dan interaksi yang terbatas antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Dalam konteks ini, hadis Aisyah yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah berjabat tangan dengan perempuan dalam proses baiat juga sering dikutip sebagai dasar larangan.
Hadis lain dari Ma’qil bin Yasar memberikan peringatan tegas, “Lebih baik seseorang ditusuk kepalanya dengan pasak besi daripada menyentuh perempuan yang tidak halal baginya.” Pendekatan ini mencerminkan sikap kehati-hatian terhadap potensi fitnah atau syahwat yang mungkin timbul dari kontak fisik tersebut.
Namun, ada pula ulama yang memberikan pandangan lebih kontekstual. Yusuf al-Qaradhawi, misalnya, menggarisbawahi bahwa larangan berjabat tangan ini bukan keharaman mutlak. Baginya, tindakan tersebut lebih bersifat preventif untuk mencegah terjadinya fitnah atau perbuatan yang melanggar syariat. Dalam situasi tertentu, seperti ketika melibatkan perempuan tua atau laki-laki yang tidak memiliki dorongan syahwat, hukum berjabat tangan dapat menjadi lebih fleksibel. Pendapat ini merujuk pada QS. An-Nur: 60 yang memberikan keringanan bagi perempuan tua dalam batas-batas tertentu.
Selain itu, al-Qaradhawi mengkritisi penggunaan hadis ‘Aisyah sebagai landasan larangan universal. Menurutnya, sikap Nabi Muhammad yang tidak berjabat tangan dengan perempuan saat baiat tidak serta-merta berarti larangan. Dalam ilmu usul fikih, tindakan Nabi yang tidak dilakukan tidak otomatis menjadi haram, melainkan bisa juga bermakna makruh atau mubah. Contoh lainnya adalah keengganan Nabi mengonsumsi daging biawak, yang tidak menunjukkan keharaman daging tersebut.
Perbedaan pendapat ini mencerminkan kekayaan khazanah hukum Islam yang dinamis. Di satu sisi, ada pandangan yang menekankan kehati-hatian dalam menjaga batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Di sisi lain, ada pendekatan yang mengedepankan konteks dan alasan di balik suatu larangan.
Dalam praktiknya, umat Islam perlu mempertimbangkan kondisi, niat, dan dampak dari berjabat tangan tersebut. Jika dilakukan dalam situasi yang aman dari fitnah dan dengan niat menjaga kehormatan, beberapa ulama memberikan ruang untuk kebolehan. Namun, sikap kehati-hatian tetap menjadi prinsip utama dalam menjaga kesucian hubungan sosial dalam Islam.
Bagi Majelis Tarjih, ketidakbolehan berjabat tangan laki dan perempuan bukanlah keharaman yang mutlak, tetapi karena ada sebab yaitu agar tidak timbulnya syahwat yang diharamkan dan terjadi fitnah. Untuk itu, mengapa jumhur ulama lebih memilih untuk melarang, disebabkan mengambil jalan tindakan preventif (sad aż-żar’īah) agar hal yang dikhawatirkan tidak terjadi. Dalam kaidah ushul juga dikatakan: Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan. (sumber)