Minggu, Desember 29, 2024
No menu items!

Hukum Mengucapkan Selamat Natal Menurut Syaikh Al-Qardhawi

Boleh bagi umat Islam baik atas nama pribadi maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim baik dengan kata-kata maupun kartu selamat.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Dalam menjawab permasalahan terkait hukum boleh atau tidaknya mengucapkan selamat hari Natal atau hari raya kepada pemeluk agama lain, Syaikh Yusuf al-Qardhawi berlandaskan pada al-Qur’an yang menjelaskan tentang ketentuan hubungan antara orang-orang Islam dan umat lain pada dua ayat dalam surah al-Mumtahanah, yang membahas mengenai orang-orang musyrik.

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang yang zalim”. (QS Al-Mumtahanah (60):8-9)

Menurutnya, dari kandungan ayat tersebut bahwasanya Islam tidak melarang untuk berbuat baik kepada golongan non-muslim yang menerima kaum muslimin, yang tidak memusuhi, tidak menyakiti, tidak membunuh, tidak mengusir dari rumah atau tidak terang-terangan mengeluarkan mereka.

BACA JUGA: Beda Pendapat Hukum Mengucapkan Selamat Natal bagi Umat Islam

“Allah hanya melarang menjadikan teman orang-orang yang memerangi karena agama dan berbuat zalim,” tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang diterjemakan Abdul Hayyie al-Katani dkk berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer” (Jakarta: Gema Insani, 2002)

Sebagai contoh lain untuk cerminan bagaimana sikap seorang muslim kepada orang non-muslim yang tidak berbuat zalim, memerangi, membunuh dan menyakiti umat muslim, Al-Qardhawi mengambil sebuah hadis yang diriwayatkan dari Asma binti Abu Bakar diceritakan

Bahwa seseorang datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku datang kepadaku dan ia masih dalam keadaan musyrik, tapi ia pun mencintaiku (sering menghubungi dan memberi hadiah). Apakah aku harus berhubungan (bergaul) dengannya?”

Rasulullah SAW bersabda, “Pergaulilah ibumu (meskipun ketika itu ibumu masih musyrik).” (HR Shahih Muslim).

Dari kedua ayat dan hadis tersebut tidak ada larangan tersendiri untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada umat non-muslim yang tidak berbuat zalim kepada umat muslim dan begitu pun sebaliknya. Al-Qur’an sendiri telah mengajarkan bagaimana perilaku terhadap umat non-muslim yang memerangi dan berbuat zalim kepada umat muslim.

BACA JUGA: Hukum Mengucapkan Natal: Begini Pendapat Ustaz-Ustaz Kondang Negeri Ini

Oleh karena itu, Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan bahwa Islam itu tidaklah keras dan kasar dalam bersikap kepada Ahli Kitab dari pada terhadap musyrik dan atheis, hingga dalam al-Qur’an sendiri membolehkan memakan makanan dari Ahli Kitab dan bergaul dengan mereka, juga menikahi wanita-wanita dari Ahli Kitab.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah (5) ayat 5: “Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar mas kawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”.

Selain itu, al-Qardhawi juga menganjurkan agar memenuhi hak-hak kepada orang tua dan kerabat-kerabat dengan akhlak sebagai orang muslim yang baik, hal ini juga sesuai dengan firman Allah yakni:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”. (QS Al-Nahl (16): 90).

BACA JUGA: Buya Hamka, MUI dan Fatwa Perayaan Natal Bersama: Sebenarnya Apa yang Terjadi?

Setelah hak kepada orang tua dan kerabat terpenuhi maka sudah sepatutnya hak kepada yang lainnya juga dilakukan atau dipenuhi oleh seorang muslim dengan akhlaknya sebagai manusia yang baik, sebagaimana yang telah Rasulullah sabdakan kepada Abu Dzar dan Mu’adz bin Jabal, Rasulullah SAW bersabda:

“Dari Abidzar Jundab bin Junadah dan Abi Abdurrahman Mu’adz bin Jabal ra dari Rasulullah SAW berkata: Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik yang akan menghapusnya, dan bergaullah dengan manusia dengan baik”.

Menurut al-Qardhawi, dalam hadis di atas Rasulullah menyebutkan “pergaulilah manusia” bukan “pergaulilah orang muslim” dengan akhlak yang baik.

Rasulullah juga menganjurkan agar umat Islam bergaul dan berlaku adil, baik, ramah terhadap orang-orang non-muslim, juga sekaligus agar berhati-hati terhadap tipu daya dan upaya makar mereka.

Bentuk akhlak yang baik yang lebih khusus lagi adalah sikap lemah lembut kepada orang lain, sabar, memasang wajah yang cerah, bertutur kata yang lembut.

Termasuk akhlak yang baik juga, bermuamalah dengan orang lain sesuai yang layak dan cocok dengan keadaan orang lain tersebut.

Dalam hadits muttafaq alaihi dari Aisyah disebutkan bahwa suatu ketika ada beberapa orang Yahudi mendatangi Rasulullah SAW seraya mengucapkan ‘As-saamu’alaika (kebinasaan atas engkau), mendengarkan perkataan itu lantas ‘Aisyah berkata: “Bahkan bagimu kebinasaan dan laknat!”.

Kemudian Rasulullah menenangkan ‘Aisyah seraya bersabda: “Tenanglah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai keramahan dalam setiap perintah-Nya”. (Shahih Muslim)

Aisyah berkat, “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang mereka ucapkan?”

Rasulullah berkata, “Aku mendengarnya dan aku berkata ‘Wa’alaikum’ (yaitu, maut atau celaka akan datang kepada kalian sebagaimana akan datang kepadaku)”

Maka dari itu, tidak ada larangan mengucapkan selamat pada hari-hari raya umat non-muslim, apabila mereka mengucapkan selamat pada umat Islam bertepatan dengan hari raya besar Islam maka diperintahkan pula bagi umat Islam agar membalas kebaikan dengan kebaikan dan membalas ucapan selamat tersebut dengan yang lebih baik atau dengan yang serupa, sebagaimana firman Allah SWT:

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah dengan yang serupa”.

Menurut al-Qardhawi, tidak pantas apabila seorang muslim berlaku kurang baik, tidak menghormati, dan kurang berakhlak dengan penganut agama lain. Bahkan seharusnya seorang muslim harus lebih menghormati, lebih beradab, dan berakhlak yang sempurna sebagaimana yang telah Rasulullah contohkan.

BACA JUGA: Hukum Berjabat Tangan dengan Bukan Mahram, Bolehkah?

Rasulullah SAW sendiri adalah orang yang paling sering mempraktikkan sikap santun dan berakhlak baik. Rasul bergaul dengan baik bersama orang-orang musyrik Quraisy selama periode Makkah dan banyak pula dari kalangan mereka yang menaruh kepercayaan kepada Rasul dengan menitipkan barang, meskipun Rasul sendiri tak jarang mendapatkan perilaku dan tingkah kurang baik dari orang-orang musyrik.

Begitu pula ketika Rasul hijrah ke Madinah, beliau masih sempat menitipkan salam kepada teman-temannya yang musyrik melalui Ali bin Abi Thalib.

Karenanya Yusuf al-Qardhawi tidak melarang bagi umat Islam baik atas nama pribadi maupun lembaga mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim baik dengan kata-kata maupun kartu selamat yang tidak mengandung syiar-syiar ibarat agama mereka yang bertentangan dengan ajaran Islam, juga jangan sampai mengandung unsur pengakuan terhadap agama mereka, melainkan hanya ucapan tahni’ah biasa yang dikenal khalayak umum.

Al-Qardhawi juga menegaskan bahwa tidak ada larangan menerima hadiah-hadiah dari umat non-muslim beliau beralasan karena Nabi sendiri pernah menerima hadiah-hadiah dari non-muslim, seperti hadiah dari pendeta Mesir, akan tetapi dengan syarat bahwa hadiah itu bukanlah sesuatu yang diharamkan oleh agama.

Setelah melihat kondisi pada saat sekarang di mana persaingan di antara sesama manusia seolah satu desa dan kebutuhan-kebutuhan orang-orang Islam dalam berhubungan dengan orang non-muslim, di mana mereka sekarang menjadi guru-guru umat Islam dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan keterampilan. Juga melihat bagaimana kebutuhan dakwah Islam untuk lebih dekat dengan massa, dan perlunya menampakkan wajah Islam dengan gambaran ramah, damai, tidak kasar, keras dengan memberi kabar gembira bukan ancaman.

Maka al-Qardhawi membolehkan dan tidak ada larangan ikut serta mengucapkan selamat hari raya mereka bagi siapa yang mempunyai hubungan keluarga, teman, sekolah, rekan kerja, tetangga, atau hubungan kemasyarakatan lainnya dengan rasa penuh kasih sayang.

Akan tetapi, untuk percampuran hari raya, al-Qardhawi sepakat dengan Ibnu Taimiyah dan ulama-ulama lainnya yang secara tegas melarang hal yang demikian itu.

Adapun ketentuan tentang membolehkan umat Islam yang mempunyai hubungan kerabat, teman, tetangga, rekan kerja dan hubungan sosial kemasyarakatan lainnya untuk mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim ini tidak hanya berhubungan dengan hari raya keagamaan saja, melainkan juga hari raya kenegaraan seperti kemerdekaan, hari ibu, hari buruh dan hari pemuda.

Artinya, tidak ada masalah bagi seorang muslim turut menghormatinya dengan ucapan selamat, akan tetapi dengan tetap menjauhi perkara-perkara yang diharamkan.

BACA JUGA: Tobat dalam Al-Qur’an Menurut Syaikh Yusuf al-Qardhawi

Ulama yang Mengharamkan

Ulama yang mengharamkan ucapan selamat Natal memiliki dalil yang berbeda-beda namun intinya sama. Mereka itu antara lain Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Syaiikh Ibn Baz, Shalih al-Utsaimin, Ibrahim bin Muhammad al-Huqail, dan lain-lain.

Mereka mendasarkan pada ayat:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Artinya: Jika kamu kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridai kesyukuranmu. (QS Az Zumar: 7).

Menurut ulama ini, mengucapkan selamat Natal termasuk kategori rela terhadap kekufuran.

Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah SAW:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

Artinya: Bedakanlah dirimu dari orang-orang musyrik, panjangkanlah jenggot dan cukurlah kumis. (HR Al-Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar RA)

Juga hadits Nabi SAW:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: Siapa yang meniru suatu kaum maka ia adalah bagian dari mereka. (HR Abu Dawud dai Ibnu Umar RA).

Intinya, ulama yang mengharamkan ucapan selamat Natal juga menganggap hari raya sebagai syiar agama. Mengucapkan selamat hari raya berarti mengakui “kebenaran” agama tersebut.

Padahal, menurut mereka, setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing. Dan umat Kristiani menjadikan Natal sebagai hari besarnya. Sementara Islam sudah memiliki dua hari raya sendiri.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA: Ketika Nabi SAW tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bersenang-senang di dalamnya. Lalu beliau bertanya: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah. Maka Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Nabi SAW juga pernah bersabda kepada Abu Bakar RA: Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita. (HR Bukhari).

Alasan lainnya adalah sadd al-dzarî’ah atau memutus akses menuju hal-hal yang dilarang. Mengucapkan selamat Natal merupakan “jalan” menuju hal-hal yang terlarang itu.

Cerita Saksi Mata soal Kebrutalan dan Penghinaan Israel saat Serbu RS Gaza

JAKARTAMU.COM | Tim medis dan pasien Rumah Sakit Kamel Adwan di utara Jalur Gaza menjadi korban kekerasan terbaru militer...

More Articles Like This