Rabu, Januari 15, 2025
No menu items!

Ibadah Tidak Melahirkan Gelar Dunia

Must Read

BANYAK cerita jenaka di tengah masyarakat tentang Pak Haji. Salah satunya seperti ini:

Suatu ketika Pak RT, Haji Harun, melewati depan kedai kopi. Seorang warga, berteriak memanggilnya, “Pak RT… Pak RT… Pak RT…” sampai 3 kali. Pak Haji Harun cuek. Tidak merespons panggilan itu. Ia terus saja jalan. Begitu ada seorang warga yang lain ikut berteriak, “Pak RT Haji Harun ..!” Dia pun spontan menengok sambil tersenyum.

Haji Harun tersenyum karena sang warga memanggil dengan benar: Pak RT Haji Harun.

Masalah haji memang banyak perniknya. Di samping sebagai simbol religiusitas juga menyangkut wilayah sakral bagi umat Islam yang mayoritas di negeri ini.

Itu sebabnya pemerintah ekstra hari-hati menangani masalah ini. Presiden Prabowo Subianto telah mengangkat Muhadjir Effendy sebagai Penasihat Khusus Presiden di bidang Haji untuk memberikan saran terkait pelaksanaan ibadah haji di Indonesia.

Wakil Kepala BP Haji pun diangkat dari kader Muhammadiyah yaitu Dahnil Anzar Simanjuntak.

Makin heboh lagi, ketika BP Haji merekrut para mantan penyidik KPK di jajaran pejabatnya. Secara keseluruhan, terdapat delapan mantan penyidik KPK yang diboyong masuk BP Haji.

Konteks Religius Maupun Sosial

Berhaji itu jika mampu: Mampu fisik dan finansial, itu dulu. Kini ditambah mampu bersabar menunggu giliran.

Sepulang menjalani ibadah haji di Tanah Suci, tak jarang kita mendengar para jemaah tersebut punya gelar baru disebut haji dan hajah.

Gelar itu pun kontan disematkan ketika mereka tiba kembali ke tanah air. Biasanya gelar itu sudah dicantumkan dalam surat undangan syukuran mengundang para tetangga, jemaah masjid, dan lainnya. Penampilan pun berubah. Jika tadinya pada acara-acara memakai peci hitam, setelah pulang dari Tanah Suci berganti peci putih.

Hasbi Ash-Shiddiqi dalam artikelnya di jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nurul Qarnain Jember yang berjudul “Gelar Haji; Antara Ego Individual, Prestis Sosial, Dan Kematangan Spritual” mengakui gelar “Haji” di Indonesia memiliki makna yang mendalam, baik dalam konteks religius maupun sosial.

Di balik makna religiusnya gelar “Haji”, juga sering kali dipandang sebagai simbol prestise sosial dan status ekonomi.

Fenomena ini menimbulkan perdebatan mengenai apakah gelar “Haji” lebih banyak dimanfaatkan untuk ego individual ataukah benar-benar dimaknai sebagai pencapaian spiritual?

Soalnya, dalam beberapa kasus, gelar “Haji” lebih dipandang sebagai simbol status sosial daripada sebagai bukti pencapaian spiritual.

Lalu, apa sebenarnya arti gelar haji dan hajah tersebut menurut pandangan Islam?

Dr Adi Hidayat, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, di berbagai kesempatan pernah mengurai arti sebenarnya dari panggilan haji dan hajah tersebut.

Muballigh kondangan kader Muhammadiyah yang disapa UAH itu tegas menyebut bahwa haji adalah ibadah kaum muslimin yang tidak melahirkan gelar apa pun.

Bukan gelar, haji sejatinya menghasilkan ketakwaan bagi kaum muslimin yang menjalankannya. Karenanya, gelar haji dan hajah itu tidak harus disematkan kepada seseorang.

“Ibadah itu tidak melahirkan gelar seperti gelar-gelar dunia. Yang paling dikejar dalam ibadah adalah predikat takwa. Karena itu tujuan setiap ibadah itu puncaknya takwa,” ujar Ustaz Adi Hidayat

Jika berkaca pada hal tersebut, maka seseorang yang dipanggil haji seharusnya menjadikan panggilan haji itu sebagai pengingat diri.

“Jadi kalau antum disebut ‘haji’, segera antum istigfar, mungkin itu peringatan dari Allah. Bahwa antum sudah pernah ibadah (haji), mungkin agak banyak kekurangan, masih mengerjakan maksiat,” ujar Adi Hidayat

Kendati demikian, tidak semua orang ingin hajinya ternoda hal-hal seperti itu. Beberapa individu bahkan ada yang merasa tertekan untuk melaksanakan ibadah haji demi mendapatkan pengakuan sosial atau meningkatkan status mereka dalam komunitas. Karena mereka menyadari haji hanya untuk menjalankan perintah Allah. Dan mereka ini ogah dipanggil Pak Haji. (*)

Dekat di Hati tapi Jauh di Pemikiran

"SAYA selalu membaca buku-bukunya Pak Din. Kami membaca buku yang sama, hanya di kesimpulannya saja yang berbeda." Pernyataan tersebut dilontarkan...

More Articles Like This