JAKARTAMU.COM | Perihal ikhtilaf di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, Jalaluddin Rakhmat dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” bab “Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, Dari Fiqh Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme” mengilustrasikan dengan mengutip Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam I’lam al-Muqi’in:
Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab, masuklah seorang laki-laki: “Ya Amir al-Mu’minin, ini Zaid bin Tsabit berfatwa di masjid dengan ra’yunya berkenaan dengan mandi janabah.”
Kata Umar: “Panggil dia!”
Zaid pun datang dan Umar berkata: “Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau berfatwa pada manusia dengan ra’yumu sendiri?”
Kata Zaid: “Ya Amir al-Mu’minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan — dan Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka’ab,” dari Rifa’ah bin Rafi’.
Kata Umar: “Panggil Rafa’ah bin Rafi’.
Ia berkata: “Apakah kalian berbuat demikian – bila kalian bercampur dengan istri kalian dan tidak keluar air mani kalian mandi?”
Kata Rafa’ah: “Kami melakukan begitu pada zaman Rasulullah SAW. Tidak turun ayat yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah SAW.”
Kata Umar: “Apakah Rasulullah SAW mengetahuinya?”
Kata Rafa’ah: “Tidak tahu.”
Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu mandi, kecuali Ali dan Mu’adz. Keduanya berkata: “Jika kedua khitan bertemu, wajib mandi.”
Kata Umar: “Kalian sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi orang-orang setelah kalian!”
Kata Ali, Ya Amir al-Mu’minin: “tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali istri Rasulullah SAW. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah. Hafshah tidak tahu. ‘Aisyah ditanya. Kata ‘Aisyah: “Bila khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi.”
Kata Umar: “Bila ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak keluar, aku akan pukul dia.”
Diselesaikan Khalifah
Jalaluddin Rakhmat menjelaskan dalam kasus ini, ikhtilaf di antara para sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Buat orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf ini adalah aset bagi perkembangan pemikiran.
Umar bin Abdul Aziz berkata: “Aku tidak senang kalau sahabat Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal, sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka, jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu’i di antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki Rahmat-Nya.”