JAKARTAMU.COM | Seorang laki-laki datang menemui Umar bin Khattab: “Saya dalam keadaan junub dan tidak ada air.” Maksud kedatangannya untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.
Umar menjawab, “Jangan salat sampai engkau mendapatkan air.”
Ammar bin Yasir berkata pada ‘Umar bin Khathab: “Tidakkah Anda ingat. Dulu –engkau dan aku– pernah berada dalam perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak salat, sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan kejadian ini kepada Rasulullah SAW. Dan Nabi berkata, cukuplah bagi kamu berbuat demikian.”
Mendengar demikian Umar menegur ‘Ammar: “Ya Ammar, takutlah pada Allah”.
Kata Ammar, “Ya Amir al-Mu’minin, jika engkau inginkan, aku tidak akan menceritakan hadis ini selama engkau hidup.” (Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari, Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah al-Salafiyah).
“Yang dimaksud Ammar,” kata Ibn Hajar, dalam Fath al-Bari. “Aku melihat memang lebih baik tidak meriwayatkan hadis ini ketimbang meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh, aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah.”
Jalaluddin Rakhmat dalam buku berjudul “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” bab “Tinjauan Kritis atas Sejarah Fiqh, Dari Fiqh Al-Khulafa’ Al-Rasyidin Hingga Madzhab Liberalisme” mengatakan sejak itu, ‘Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi.
Umar tetap berpegang teguh pada pendapatnya — orang junub, bila tidak ada air, tidak perlu salat. “Wa hadza madzab masyhur ‘an ‘Umar,” kata Ibn Hajar.
Semua sahabat menolak pendapat Umar, kecuali Abdullah bin Mas’ud.
Al-Bukhari mencatat perdebatan Abdullah bin Mas’ud dengan Abu Musa al-Asy’ari tentang kasus ini pada hadis No. 247.
Abu Musa menentang pendapat Abdullah –sekaligus madzhab Umar– dengan mengutip ayat (“jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum dengan tanah yang baik”).
Jalaluddin Rakhmat mengatakan menarik untuk dicatat bahwa kelak dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan mazhab Umar.
Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran dari riwayat di atas.
Pertama, memang terjadi perbedaan paham di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah.
Kedua, lewat kekuasaan, ‘Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi pendapat yang berlainan.
Ketiga, terlihat ada sikap hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat
Keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya
Menurut Jalaluddin Rakhmat, membicarakan fikih para sahabat menjadi sangat penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.