Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

Ilmu Fikih: Pangkal Pertumbuhannya dan Peranan Nabi dengan Tugas Kerasulan

spot_img
Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

JAKARTAMU.COM | Ada 4 disiplin ilmu keislaman tradisional yakni ilmu fiqh (‘ilm al-fiqh), ilmu kalam (‘ilm al-kalam), ilmu tasawuf (‘ilm al-tashawwuf) dan falsafah (al-falsafah atau al-hikmah). Dari 4 itu, fiqih adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman kaum Muslimin akan agama mereka sehingga, karenanya, paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka.

Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur dalam buku “Islam dan Peradaban” menjelaskan kenyataan ini dapat dikembalikan kepada berbagai proses sejarah pertumbuhan masyarakat Muslim masa lalu, juga kepada sebagian dari inti semangat ajaran agama Islam sendiri.

“Salah satu karakteristik historis agama Islam ialah kesuksesan yang cepat luar biasa dalam ekspansi militer dan politik,” ujar Cak Nur dalam tulisannya bab “Disiplin Ilmu Keislaman Tradisional: Fiqh (Tinjauan Dari Segi Makna Kesejarahan)”

Menurutnya, ada indikasi bahwa ekspansi militer ke luar Jazirah Arabia itu mula-mula dilakukan dalam keadaan terpaksa dan untuk tujuan pertahanan diri. Akan tetapi dinamika gerakan perluasan itu kemudian seperti tidak dapat dikekang, dan dalam tempo amat singkat kaum Muslimin menguasai sepenuhnya “daerah beradab” (Oikoumene, menurut sebutan orang-orang Yunani kuna), yang membentang dari Lautan Atlantik di barat sampai Gurun Gobi di timur.

Sebuah kemaharajaan (empire) dunia telah lahir dengan keluasan wilayah yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia.

Disebabkan oleh ciri kekuasaan itu maka sejak dari semula, khususnya di kalangan kaum Sunni, agama Islam dengan erat terkait dengan kemapanan politik.

Di antara sekian banyak implikasinya ialah bahwa para pemimpin Islam, baik yang berada pada lingkungan kekuasaan maupun yang menekuni bidang pemikiran, banyak sekali disibukkan oleh usaha-usaha mengatur masyarakat dan negara sebaik-baiknya.

Hal ini mendorong kepada curahan perhatian yang luar biasa besar untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur dalam ajaran agama Islam yang berhubungan dengan masalah pengaturan masyarakat dan negara.

Pangkal Pertumbuhan Fiqih

Dari suatu segi, ilmu fiqih, seperti halnya dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya, dapat dikatakan telah tumbuh semenjak masa Nabi sendiri. Jika “fiqih” dibatasi hanya kepada pengertiannya sebagai “hukum” seperti yang sekarang umum dipahami orang, maka akar “hukum” yang amat erat kaitannya dengan kekuasaan itu berada dalam salah satu peranan Nabi sendiri selama beliau mengemban tugas suci kerasulan (risalah), khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madinah, yaitu peranan sebagai pemimpin masyarakat politik (Madinah) dan sebagai hakim pemutus perkara.

Peranan Nabi sebagai pemutus perkara itu sendiri harus dipandang sebagai tak terpisahkan dari fungsi beliau sebagai utusan Tuhan.

Seperti halnya dengan semua penganjur agama dan moralitas, Nabi Muhammad SAW membawa ajaran dengan tujuan amat penting reformasi atau pembaharuan dan perbaikan (ishlah) kehidupan masyarakat.

Berada dalam inti reformasi itu ialah aspirasi kerohanian (sebagai pengimbang aspirasi keduniawian semata) yang populis (cita-cita keadilan dengan semangat kuat anti elitisme dan hirarki sosial) dan yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang, di semua tempat dan waktu).

Akan tetapi, peranan Nabi dengan tugas kerasulan (risalah) yang diembannya tidaklah hanya bersangkutan dengan hal-hal kemasyarakatan semata.

Dalam kesanggupan menangkap dan memahami serta mengamalkan keseluruhan makna agama yang serba segi itu ialah sesungguhnya letak perbaikan dan peningkatan nilai kemanusiaan seseorang.

“Inilah kurang lebih yang dimaksudkan Nabi ketika beliau bersabda dalam sebuah hadis yang amat terkenal bahwa jika Tuhan menghendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah ia menjadi faqih (orang yang paham) akan agamanya,” jelas Cak Nur.

Demikian pula sebuah firman Ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadis itu, yang menegaskan hendaknya dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok orang yang melakukan tafaqquh (usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya.

Diharapkan agar para “spesialis” ini dapat menjalankan peran sebagai sumber kekuatan moral (moral force) masyarakat. Maka suatu masyarakat tumbuh menjadi masyarakat hukum (legal society), namun dasar strukturnya itu ialah hakikat suatu masyarakat akhlak (ethical society).

Rasulullah SAW dan Kecenderungan Suci

Berkenaan dengan prinsip ini al-Sayyid Sabiq, misalnya, mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad SAW dengan kecenderungan suci yang lapang (al-hanifiyyat al-samhah).

Rasulullah SAW bersabda bahwa “Agama yang paling disukai Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah.”

Kemudian kecenderungan suci yang lapang itu dilengkapi dengan tata cara hidup praktis yang serba meliputi (al-syari’at al-jami’ah). Namun dalam sifatnya yang menyeluruh itu masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda: hal-hal parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah, dan hal-hal dinamis, yang berubah menurut perubahan zaman dan tempat:

… Adapun hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti simpul-simpul kepercayaan (al-‘aqa’id) dan peribadatan (al-‘ibadat), maka diberikan secara terinci (mufashshal) dengan rincian yang sempurna, serta dijelaskan dengan nas-nas yang serba meliputi. Karena itu tidak seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi.

Sedangkan hal-hal yang berubah dengan perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil (al-mashalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang, maka diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di setiap masa, dan dengan ketentuan itu para pemegang wewenang (ulu al-amr, jamak dari wali al-amr, pemegang kekuasaan, yakni, pemerintah) dapat mencari petunjuk dalam usaha menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Cak Nur mengatakan ilmu fiqih dalam makna asalnya adalah ilmu yang berusaha memahami secara tepat ketentuan-ketentuan terinci (al-mufashshalat) dan ketentuan-ketentuan garis besar (al-mujmalat) dalam ajaran agama itu.

Tentang hal-hal yang telah terinci, dengan sendirinya tidak banyak kesulitan. Tetapi tentang hal-hal yang bersifat garis besar, perbedaan penafsiran dan penjabarannya sering menjadi sumber kesulitan yang menimbulkan berbagai perbedaan pendapat antara para pemikir Muslim dalam fase perkembangan historis mereka yang paling formatif.

spot_img

Nabi Muhammad SAW, Cahaya di Tanah Makkah (12): Seruan Terbuka di Bukit Shafa

Oleh: Dwi Taufan Hidayat dan Sugiyati Langit Makkah masih biru ketika Muhammad SAW menaiki Bukit Shafa. Angin gurun bertiup lembut,...

More Articles Like This