Kamis, Januari 9, 2025
No menu items!
spot_img

Imam Syafi’i Santri Imam Maliki: Usia 7 Tahun Sudah Hafal Al-Quran

Selama jangka waktu yang cukup lama tersebut, beliau tidak hanya menguasai bahasa Arab dengan segala perangkatnya, tetapi juga berhasil menguasai dan menghafal syair-syair arab, ilmu nasab dan sejarah bangsa Arab.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin as-Syafi’ bin as-Saaib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththolib bin Abdi Manaf alMuththolibi al-Qurasyi. Memiliki kunyah Abu Abdillah, akan tetapi lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i.

Nama itu diambil dari nama kakek beliau, daripada nama panggilan beliau.

Sebelum Imam Syafi’i lahir, kedua orang tuanya tinggal di kota Madinah. Kemudian karena suatu hal, pindah ke daerah Asqolan, sebuah kota di sebelah barat daya kota Palestina, dekat dengan wilayah Gazza. Sang ayah wafat, ketika Syafii baru lahir.

Jadi Syafi’i telah yatim sejak kecil. Beliau juga tidak terlahir dalam sebuah lingkungan keluarga akademis, meski bundanya sangat konsen dan mencintai ilmu.

Sang bunda berjuang merawat, mendidik dan memotivasi Syafi’i untuk menuntut ilmu dengan situasi yang begitu sulit. Kondisi ekonomi keluarga juga tergolong miskin.

Imam Syafi’i lahir di wilayah Gazza di Palestina pada tahun 150 H/767 M, yaitu tahun yang sama dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.

Selama hidupnya, beliau mengalami enam kali pergantian kepemimpinan di masa Bani Abbasiyah. Yakni dari Abu Ja’far al-Manshur (136-158 H) sampai Abdullah al-Makmun bin Harun ar-Rosyid (198-218 H).

Perjalanan hidup beliau bermula ketika Sang Bunda membawanya kembali pulang ke tanah air ayahnya di kota Makkah. Meski hidup dengan himpitan kesulitan ekonomi tak lantas membuat Syafi’i patah arang.

Dengan penuh perjuangan, beliau belajar dari satu guru ke guru yang lain, dari satu madrasah ke madrasah, dari satu majlis ilmu ke majlis ilmu yang lain.

Kecerdasan Syafi’i terlihat sejak usia belia. Beliau belajar menulis dan membaca di samping belajar dan menghafal Al-Quran hingga pada usia tujuh tahun, beliau sudah hafal keseluruhan isi Al-Quran.

Wildan Jauhari, Lc dalam buku “Biografi Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i” menulis sanad bacaan Al-Quran Imam Syafi’i menyambung sampai Nabi Muhammad saw, sebagaimana beliau ceritakan sendiri.

“Aku berguru kepada Ismail bin Qostantin, dari gurunya Syibl, dari gurunya Abdullah bin Katsir, dari gurunya Mujahid, dari gurunya Ibnu Abbas, dari Ubai bin Ka’ab, dari Rasulullah SAW.”

Setelah Imam Syafi’i pandai membaca dan menulis, beliau keluar dari kota Makkah untuk menimba ilmu Bahasa Arab. Beliau memutuskan untuk menetap sementara waktu di perkampungan suku Hudzail. Suku ini tinggal secara nomaden di sekitaran kota Makkah.

Suku Hudzail adalah masyarakat pedalaman yang terkenal sebagai salah satu suku paling fasih dalam berbicara Arab. Imam Syafi’i tinggal dan hidup bersama suku Hudzail untuk meningkatkan kemampuan bahasanya. Sebab Bahasa Arab adalah salah satu kunci untuk bisa mempelajari makna yang terkandung dalam Al-Quran dan al-Hadis.

Bahkan para ulama mengatakan bahwa di antara syarat menjadi mujtahid harus mumpuni dalam bidang bahasa Arab.

Lantaran tinggal bersama suku Hudzail, Imam Syafi’i hanya beberapa hari kembali ke Makkah dan selang beberapa hari pergi dan menetap lagi di suku Hudzail. Begitu seterusnya.

Sebagian para sejarawan menyebut Imam Syafi’i membutuhkan waktu 20 tahun, pulang pergi, belajar di suku pedalaman itu. Selama jangka waktu yang cukup lama tersebut, beliau tidak hanya menguasai bahasa Arab dengan segala perangkatnya, tetapi juga berhasil menguasai dan menghafal syair-syair arab, ilmu nasab dan sejarah bangsa Arab.

Belajar di Makkah

Di kota Makkah terdapat banyak sekali majlis ilmu yang ramai akan para pencinta ilmu yang dari berbagai negeri. Di sini Imam Syafi’i belajar. Beliau berguru kepada para syaikh yang mulia, menghadiri majlis ilmu mereka dan mengagungkannya.

Imam Syafi’i berguru kepada Sufyan bin Uyainah dalam bidang ilmu hadis dan tafsirnya yang kemudian nanti akan tersempurnakan tatkala beliau pergi merantau ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas.

Beliau juga mempelajari ilmu fikih yang pada satu saat nanti akan melambungkan namanya ke seantero dunia sebagai begawan dalam dunia fikih dan termasuk mazhab fikih yang masih eksis hingga dewasa ini.

Beliau berguru kepada Syaikh Kholid azZanji, seorang guru yang sangat berpengaruh pada pendidikan Imam Syafi’i di Makkah.

Melihat begitu cerdas dan pemahamannya yang mendalam, Syaikh Kholid memberikan kewenangan kepada Imam Syafi’i yang masih muda untuk berfatwa. Padahal ketika itu, usia beliau baru menginjak 15 tahun.

Jadilah beliau mufti muda di kota Makkah atas bimbingan dan arahan dari Syaikh Kholid az-Zanji.

Berguru ke Imam Malik

Berbekal surat pengantar dari wali Makkah yang ditujukan kepada wali Madinah dan Imam Malik, Imam Syafi’i berangkat meninggalkan kampung halamannya, tempat ia tumbuh dan berkembang dalam tradisi keilmuan yang mula-mula. Beliau pergi ke kota Madinah.

Beliau menuju rumah wali Madinah dan mengutarakan maksud dan kedatangannya ke kota itu. Setelah membaca surat dari wali Makkah yang dibawa oleh Imam Syafi’i dan mengetahui bahwa kedatangannya untuk menimba ilmu di majlis dan halaqahnya Imam Malik; bergetar kaki dan tangan Sang Wali Madinah.

Ia berkata kepada Imam Syafi’i, “Wahai anak muda, aku tahu dari suratmu ini, engkau memilik kedudukan yang tak biasa di Kota Makkah. Tapi sungguh, berjalan kaki dari Madinah ke Makkah tanpa alas kaki pun itu terasa lebih ringan bagiku jika dibanding harus bertandang ke kediaman Imam Malik!”

Tapi tugas tetaplah tugas yang harus diselesaikan. Amanah tetaplah amanah yang harus ditunaikan. Wali Madinah bersedia mengantar Imam Syafi’i menemui Imam Malik. Maka sampailah kedua orang ini di depan rumah Imam Malik.

Disambut oleh salah satu pembantunya, Wali Madinah memohon agar dipersilahkan menemui Imam Malik. Tak lama setelah masuk ke dalam rumah, si pembantu keluar membawa pesan dari Imam Malik.

“Jika ada pertanyaan, cukup tuliskanlah dan tunggu besok akan kujawab. Jika ingin mengaji al-Muwaththa’ maka kalian tahu jadwalnya bukan hari ini,” ujar sang pembantu.

Wali Madinah menimpali, “Kami datang hendak menyampaikan surat dari Wali Makkah kepada Imam Malik.”

Si pembantu masuk lagi dan tak lama berselang ia keluar dengan membawa sebuah kursi yang kemudian ia tata dengan hati-hati sekali. Maka keluarlah Imam Malik menemui kedua tamunya itu.

Imam Malik adalah seorang syaikh yang wajahnya memancarkan keikhlasan dan aura ilmu yang memesona. Imam Malik membaca surat itu dengan seksama. Setelah tahu apa maksudnya, beliau melempar surat itu ke tanah dan berkata, “Subhanallah, sejak kapan ilmu Rasulullah saw didatangi dengan wasilah surat menyurat seperti ini?”

Wali Madinah tak mampu berkata-kata. Ia seakan kehabisan kalimat di hadapan Imam Malik. Akhirnya, Imam Syafi’i memberanikan diri untuk berbicara.

Mendengar kalimat dan tutur bahasa yang bagus, dan agaknya firasat Imam Malik yang mengatakan bahwa pemuda di hadapannya ini nanti akan jadi tokoh besar, Imam Malik berkata, “Datanglah besok untuk mendengar kajian kitab al-Muwaththa’!”

“Wahai Syaikh, aku sudah menghafalkannya di luar kepala,” jawab Imam Syafi’i.

Maka setelah dibacakan di hadapannya, Imam Malik begitu terkesan dengan hafalan dan bagusnya bacaan Imam Syafi’i.

Begitulah awal perjumpaan Imam Syafi’i dengan gurunya Imam Malik di kota Madinah. Hingga nantinya beliau berguru kepada Syaikhnya tersebut selama bertahu-tahun sampai maut menjemput sang guru mulia.

Pada tahun 179 H, Imam Syafi’i harus menelan pil pahit dalam kehidupan akademisnya. Bagaimana tidak? Di tahun yang sama itu wafat dua guru mulianya Imam Malik di Madinah dan Syaikh Kholid az-Zanji di Makkah. Namun, wafatnya kedua guru beliau tak lantas membuatnya larut dalam kesedihan.

Membuka Majelis Ilmu

Pada tahun 189 H, setelah Imam Muhammad bin al-Hasan wafat, Imam Syafi’i kembali ke kampungnya di kota Makkah. Beliau membuka kembali majelis ilmu di dalam Masjid al-Haram untuk mengajar dan berfatwa.

Pada waktu inilah mulai dikenal fikih Imam Syafi’i yang menjadi satu mazhab tersendiri meskipun beliau tetap menaruh rasa hormat yang begitu tinggi kepada gurunya Imam Malik –yang menjadi muassis mazhab Maliki.

Beliau meramu pendapat-pendapat fikih dengan menggabungkan dua metode atau dua madrasah besar kala itu, yaitu madrasah ahli hadis yang dikepalai oleh Imam Malik bin Anas di Hijaz dan madrasah ahli Ro’yu yang tokoh utamanya adalah Imam Abu Hanifah yang dipelajari oleh Imam Syafi’i lewat dua muridnya yang terkenal: Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.

Imam Syafi’i begitu menghargai para ulama yang berbeda pendapat dengan beliau. Banyak pendapat-pendapat beliau yang dikumpulkan pada fase ini yang kemudian disebut sebagai Qoul Qadimnya Imam Syafi’i.

Di antara murid beliau yang yang terkenal pada fase ini adalah Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rohawaih. Perjalanan hidup Imam Syafi’i benar-benar sebagian besarnya diisi dengan ilmu baik mencarinya ataupun mengajarkannya.

Perjalanan Ilmiah ke Baghdad

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 195 H Imam Syafi’i kembali melakukan perjalanan ilmiahnya. Kali ke Baghdad untuk yang kedua kalinya.

Beliau memilih Baghdad untuk menjadi tempat persinggahannya karena keilmuan kota Madinah yang merosot pasca ditinggalkan oleh Imam Malik bin Anas.

Di sisi lain, pada waktu yang sama, Baghdad berada pada puncak keemasan dalam hal ilmu pengetahuan. Terkumpul di dalamnya madrasah ahli hadis dan madrasah ahli ro’yu.

Saking terpesonanya Imam Syafi’i terhadap kota Baghdad, tak jarang ia memujinya. Seperti yang terekam dalam pembicaraannya dengan salah satu koleganya Yunus bin Abdil A’la.

Imam Syafi’i bertanya padanya, “Pernahkah engkau berkunjung ke Baghdad?”

“Belum,” jawab Yunus.

Sang Imam berkata, “Kalau begitu, kau belum melihat dunia!

“Tidaklah aku datang ke satu tempat, melainkan hanya kuanggap sebagai tempat persinggahan sementara. Tetapi tatkala aku tiba di Baghdad, ia sudah kuanggap rumahku sendiri.”

Imam Syafi’i menetap selama dua tahun di Baghdad sebagai guru besar di wilayah tersebut. Hingga beliau kembali ke Makkah beberapa saat sebelum akhirnya balik lagi ke Baghdad tahun 198 H.

Pada tahun 199 H beliau memutuskan untuk meninggalkan Baghdad dan pindah ke Mesir untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmunya di sana.

Syaikh Abu Zahroh menuturkan di antara alasan yang membuat Imam Syafi’i tidak begitu nyaman tinggal di Baghdad kala itu ialah karena kepemimpinan Khalifah al-Makmun sangat dekat dengan kelompok Muktazilah dan sekaligus lebih dekat pada unsur-unsur Persia daripada Arab.

Imam Syafi’i tinggal dan menetap di Mesir selama kurang lebih empat tahun. Di sanalah beliau membangun mazhabnya dan menyebarkan pendapat dan fatwa-fatwa beliau yang nantinya dikenal sebagai Qoul Jadid-nya Imam Syafi’i.

Di Mesir Imam Syafi’i bertemu dengan Imam Laits bin Sa’ad untuk saling bertukar ilmu dan wawasan satu sama lain. Banyak pula murid beliau ketika di Mesir ini yang nantinya menjadi ulama-ulama besar pada generasi selanjutnya. Kiranya, Mesirlah yang menjadi tempat persinggahan terahir bagi Sang Imam, karena beliau wafat dan dikebumikan di Mesir.

spot_img

Kenapa Masjid Muhammadiyah Bisa Dikendalikan Paham Lain?

DALAM acara diskusi ideopolitor  di Aula H Djuanda PWM DKI Jakarta pada November 2023 lalu Ketua PP Muhammadiyah Drs....

More Articles Like This