Oleh: Andi Reza Rohadian | Jurnalis tinggal di Jakarta
Alarm bahaya bagi industri manufaktur Indonesia telah berdering nyaring. Dalam pekan-pekan terakhir beberapa industri manufaktur mengumumkan Pemutusan Hubungan (PHK) kerja terhadap karyawannya.
Yang paling banyak meminta korban tentu saja PT Sritex yang melakukan PHK terhadap 12.000 karyawan, diikuti Sanken (459 karyawan), Yamaha (1.000 karyawan), Kentucky Fried Chicken (2.274 karyawan), PT Danbi Internasional (2.000 karyawan) serta PT Adis Dimension Footwear dan PT Victory Ching Luh (dua pabrik sepatu di Kabupaten Tangerang yang memproduksi alas kaki merek Nike) 3.500 karyawan.
Memprihatinkan, sungguh. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor manufaktur merupakan sumber pertumbuhan tertinggi terhadap perekonomian nasional dengan rata-rata 0,90% (berkontribusi sekitar 20% dari pertumbuhan ekonomi nasional).
BACA JUGA: Kawal Terus Kasus Pagar Laut, Jangan Sampai Tenggelam…!
Kementerian Perindustrian mencatat kontribusi manufaktur di tahun 2022 yang sebesar 18,34% meningkat menjadi 18,67% pada tahun 2023. Dan tahun 2024 naik jadi 18,98%.
Namun dibandingkan dua dekade lalu angka yang dikantungi BPS dan Kementerian Perindustrian tadi menurun drastis. Pada tahun 2002 kontribusi manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 32%.
Penurunan itu tentu tak lepas dari berbagai faktor. Dari pandemi Covid-19 yang membatasi aktivitas sosial, hingga perang Rusia-Ukraina yang menimbulkan kerawanan pangan di seluruh dunia.
Khusus di Indonesia yang belakangan ini banyak industri yang gulung tikar, faktor penyebabnya bertambah satu: premanisme. Diinisiasi oleh pernyataan Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar, Wakil Menteri Tenaga Kerja (wamenaker) Immanuel Ebenezer, Senin, 3 Maret 2024, sepakat bahwa problem industrial hari-hari ini, salah satunya adalah premanisme.
“Bayangkan di Indonesia ini, ulang tahunnya banyak. Hari raya [preman] kirim proposal, tahun baruan, ulang tahun ormas, ulang tahun ketua umumnya kirim proposal,” tutur Wamenaker di acara peresmian pabrik sepatu PT Noble Indonesia, di Garut, Jawa Barat. “Sampai begitunya,” ujarnya sembari geleng-geleng kepala. Ia lalu menegaskan pabrik-pabrik tak perlu meladeni proposal-proposal itu. “Perusahaan-perusahaan itu sudah bayar pajak ke negara.”
BACA JUGA: Jalan Terjal Industri Pariwisata
Sebelumnya, awal Februari silam, Sanny mengungkapkan nyaris di seluruh kawasan industri premanisme berkedok organisasi massa alias ormas beroperasi. Mereka tak segan mengajukan bermacam pungutan dan bentuk intimidasi lainnya. Dari meminta uang keamanan, minta dilibatkan dalam pembebasan tanah, pembangunan pabrik, rekrutmen karyawan, katering karyawan hingga ada yang berani menyegel pabrik.
Gangguan itu, antara lain dialami produsen mobil BYD. Industri otomotif asal Tiongkok yang menginvestasikan dana Rp11,7 triliun untuk membangun pabrik di Subang, Jawa Barat, siap menyerap 19.000 karyawan.
Kasus BYD bukanlah yang pertama. Pasalnya, sejumlah investasi asing di Indonesia terutama di sektor pertambangan serta manufaktur juga mengalami tekanan premanisme serupa. Bahkan, perusahaan nikel asal Tiongkok dan Jepang serta industri manufaktur dari Jepang dan Korea Selatan di Bekasi serta Karawang disebut pernah menjadi korban aksi premanisme.
Maraknya aksi premanisme ini pun membuat beberapa perusahaan lebih memilih hengkang ke Thailand dan Vietnam yang menawarkan iklim investasi lebih stabil.
Kena Hajar Peraturan Menteri Perdagangan
Gangguan terhadap investasi tak hanya datang dari premanisme. Kepastian hukum juga sering jadi pangkal persoalan. Ambil contoh apa yang dialami industri tekstil domestik. Satu per satu industri padat karya ini bertumbangan lantaran tak adanya kepastian hukum.
BACA JUGA: Saat “Wakil Rakyat” Dilanda Mabuk Kekuasaan
Akibatnya, industri tekstil domestik tak kuasa membendung laju barang impor sejenis. Dari yang berstatus barang bekas (thrifting) hingga pakaian jadi yang berharga lebih murah.
Betul, satu tahun lalu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki sempat melarang impor pakaian dan sepatu bekas. Kebijakan itu dikuti dengan aksi razia lapak-lapak yang memperdagangkan barang thrifting. Sayang aksi itu hanya bersifat sporadis. Nyatanya lapak-lapak barang thrifting masih bertebaran.
Seiring dengan itu Menteri Perdagangan merilis peraturan menteri perdagangan nomer 8 tahun 2024 yang merelaksasi pengetatan terhadap tujuh kelompok barang, yaitu elektronik, alas kaki, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi, tas dan katup.
Sejak itu barang impor berharga murah semakin membanjiri pasar domestik.
Entah apa yang ada di benak pemerintah sehingga abai terhadap kepastian hukum. Alhasil, kendati kontribusi manufaktur dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 18,98% terhadap PDB, nyatanya belum cukup untuk banyak menyerap tenaga kerja. Pada periode 2009-2014, Indonesia berhasil menciptakan 15,6 juta tenaga kerja formal baru. Namun, pada periode 2019-2024, penciptaan lapangan kerja hanya mencapai 2 juta orang.
Pangkal persoalannya, pemerintah di periode 2019-2024 lebih fokus ke sektor hilirisasi. Betul dari segi investasi dan pertumbuhan ekonomi hilirisasi sukses menggenjot nilai raport investasi nasional, juga pertumbuhan ekonomi di daerah yang memiliki tambang.
BACA JUGA: Upaya Merebut Benteng Terakhir Lewat Hak Pengelolaan Pertambangan
Namun, investasi padat modal itu tidak bersahabat dengan penyerapan tenaga kerja. Sifat bisnis hilirisasi yang juga identik dengan teknologi tinggi tak butuh banyak sumber daya manusia.
Artinya PR pemerintah untuk mendorong sektor manufaktur masih banyak. Jangan salah, negara-negara tetangga kita juga sudah menyiapkan senjata-senjata baru untuk menyambut investor asing.
Awas, Malaysia Siap Menyodok
Di tengah kabar hengkangnya investor ke negara-negara tetangga, informasi dari Malaysia ini tentu harus mendapat perhatian pemerintah. Januari silam Malaysia dan Singapura menandatangani kesepakatan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus Johor-Singapura. Kedua negara optimistis proyek ini akan menciptakan lapangan kerja dan menarik investor internasional.
Kawasan Ekonomi Khusus Johor-Singapura (JS-SEZ) dirancang untuk menarik investasi global dan memperlancar arus barang dan manusia antara kedua negara.
Johor, negara bagian terpadat kedua di Malaysia, memainkan peran penting dalam perekonomian negara tersebut, dengan sektor utama manufaktur dan pariwisata. Proposal untuk JS-SEZ mencakup sistem izin imigrasi bebas paspor, kerja sama energi terbarukan, dan persetujuan bisnis yang sederhana.
Nah, siapkah kita menghadapi tantangan itu? Jangan salah kiat-kiat bisnis sederhana ala negeri jiran itu juga sukses memikat investor-investor raksasa, seperti Google, Microsoft hingga ByteDance.