Oleh: Dr. Adian Husaini | Ketua Dewan Dakwah Indonesia (DDII)
ADA seorang pengurus Yayasan Pendidikan Islam pernah bertanya: mengapa anak-anak yang kita didik bertahun-tahun di lembaga pendidikan Islam, setelah lulus justru menjadi pendukung calon kepala daerah yang jauh dari kriteria ideal secara Islami?
Ketika itu, saya menjawab, cobalah kita renungkan, apakah kita sudah mendidik mereka sesuai dengan standar pendidikan Islam, sebagaimana disebutkan dalam QS Luqman ayat 17. Makna ayat ini patut kita renungkan bersama: “Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan.”
Jadi, sangatlah jelas bahwa salah satu tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan insan-insan penegak shalat dan sekaligus pejuang penegak kebenaran dan pencegah kemunkaran. Aktivitas amar makruf nahi munkar merupakan pilar tegaknya masyarakat. Jika aktivitas ini melemah atau hilang, maka hancurlah masyarakat.
Dan itulah memang tugas penting para Nabi yang wajib dilanjutkan oleh umat mereka.Jika mental pejuang itu tidak terbentuk pada diri para pelajar, santri, atau mahasiswa, maka akan hilang pula idealisme perjuangan menegakkan kebenaran.
Muncullah generasi sekuleris, pragmatis, individualis, yang hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri; tidak peduli pada kondisi masyarakat dan bangsanya.
Generasi seperti ini sulit diharapkan akan memiliki kepedulian kepada cita-cita mulia agama, bangsa dan negaranya. Atau, bisa saja ia tidak memahami konsep politik Islam yang ideal. Ia terjebak dalam alam pikiran sekuler yang tidak peduli akan aspek keimanan dan akhlak mulia.
Ia hanya berpikir, bahwa manusia itu yang penting bisa makan dan senang-senang. Bisa saja para pelajar atau santri itu mendapat pendidikan kewarganegaraan yang memisahkan aspek Islam dengan Pancasila. Seolah-olah Islam itu bertentangan dengan Pancasila.
Sebagai contoh, dalam buku ajar “Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan” untuk SMP-MTs Kelas VII, jilid 1 (2013), pada bab “Sejarah Perumusan Pancasila”.Disebutkan dalam buku itu, bahwa nilai-nilai Pancasila sudah dirumuskan jauh sebelum dimulainya Zaman Sriwijaya/Majapahit, zaman Penjajahan Barat, zaman Jepang, hingga zaman Kemerdekaan.
Buku ini tidak menyebutkan adanya unsur Islam dalam perumusan Pancasila. Padahal, jelas sekali dalam Pembukaan UUD 1945, ada kata ‘Allah’ yang merupakan nama Tuhan resmi dalam Islam. Sejumlah istilah kunci Islam juga menjadi bagian dari Pancasila, seperti kata ‘adil’, ‘adab’, ‘hikmah’, dan ‘musyawarah’. Istilah-istilah itu tidak ditemukan di wilayah Nusantara sebelum masuknya Islam ke wilayah ini yang utamanya di bawa oleh para ulama dari kawasan Jazirah Arab.
Disebutkan juga dalam buku ini kisah tentang dihapuskannya tujuh kata dari sila pertama Pancasila, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Hanya saja, buku ini tidak menyebutkan tentang adanya kesepakatan antara Bung Hatta dengan tokoh-tokoh Islam ketika itu, bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah “Tauhid” dalam pengertian Islam.
Buku ini juga tidak menyebut tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang bermakna Tauhid menurut ajaran Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiulawwal 1404 H/21 Desember 1983. Materi ajar seperti ini pada ujungnya akan mempertentangkan antara Islam dan Pancasila, sebab Pancasila ditempatkan seolah-olah seperti satu agama tersendiri.
Akhirnya para pelajar atau santri diarahkan agar membuang ajaran agamanya ketika menerima pelajaran Pancasila dan kewarganegaraan. Atau, minimalnya, anak didik dipaksa bersikap mendua atau pura-pura menerima Pancasila, tetapi ia pun tidak paham bagaimana harus mengamalkan Pancasila dan sekaligus juga mengamalkan ajaran Islam.
Akhirnya, pelajar atau santri tersebut didorong untuk melepaskan pandangan hidupnya sebagai seorang muslim, dan membuang perspektif Islam dalam memahami problematika masyarakat dan mencarikan solusinya. Hingga kini, masih sangat dominan pemahaman tentang sekolah unggul dan pelajar yang dianggap sukses dalam pendidikannya.
Sekolah unggul didefinisikan sebagai sekolah yang para pelajarnya cerdas dan tinggi nilai-nilai akademisnya, sehingga ia bisa memasuki perguruan tinggi favorit. Nilai-nilai akhlak mulia tidak dijadikan sebagai indikator penentuan ranking sekolah.
Dengan kuatnya hegemoni pemikiran pendidikan yang serba sekuler dan materialis, maka sangatlah wajar jika produk pendidikan pun akan melahirkan manusia-manusia sekuler-materialis-individualis-pragmatis.
Hilanglah jiwa pejuang dalam diri para pelajar tersebut. Cita-citanya padam, dan angan-angan tertingginya adalah bagaimana bisa hidup senang, meraih gengsi sosial, dan menuruti syahwat diri – tanpa terbersit untuk menjadi seorang pejuang penegak kebenaran dan pencegah kemunkaran.
Bahkan, mungkin sangat jarang ada mata pelajaran atau mata kuliah tentang Politik Islam untuk semua pelajar, santri atau mahasiswa di sekolah Islam, pesantren, atau universtas Islam. Juga, entah di kampus Islam yang mana, saat ini ada pendidikan yang benar-benar mendidik mahasiswanya menjadi politisi atau negarawan muslim yang hebat.
Jadi, apa pun hasil Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024 ini, kita patut melihat ke dalam, berani mengevaluasi kondisi pendidikan kita sendiri. Apakah lembaga-lembaga pendidikan Islam telah mendidik para pelajar, santri, atau mahasiswanya untuk menjadi para pejuang penegak kebenaran, sebagaimana diamanahkan dalam QS Luqman ayat 17! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 28 November 2024).