Minggu, April 20, 2025
No menu items!

Ironi Kebijakan Pangan Kita

Must Read

JAKARTAMU.COM | Pangan erat hubungannya dengan hidup-matinya bukan saja orang per -orang, namun menyangkut masa depan kehidupan semesta. Keberlangsungan sebuah bangsa dan negara tergantung pada ketahanan pangan yang berpasangan dengan ketahanan energi.

Status dan peran pangan amat tergantung pada bukan saja kepada jutaan petani sebagai soko guru bangsa yang mengolah tanah. Akan tetapi, mestinya kita menyadari bahwa setiap warga negara pun harus berperan serta upaya menghidupi tanah dan air. Bukan saja sebagai media tanaman namun juga sebagai sumber kehidupan kini dan masa depan.

Artinya, kelestarian tata guna dan tata oleh tanah serta mata air termasuk distribusinya membutuhkan mentalitas pelestarian lingkungan hidup yang membersamai gerakan pertanian yang kian mengandalkan asupan kimia dan mekanisasi pertanian.

Pertanian mesti didudukkan sebagai kesatuan yang sinergis antara produksi, distribusi dan marketing yang berbasis farming oriented. Bercocok tanam padi semata bagi petani akan njomplang, bila mereka tidak mengusahakan peternakan dan perikanan.

Keterbatasan lahan olahan petani yang menghasilkan ekonomi subsistem, rentan apakah musti diatasi dengan food estate semata dengan mengandalkan kapital semata?

Mungkin sebagai jalan pintas, bisa saja ditempuh model food estate yang padat modal dan teknologi pengolahan dan meminimalisasi tenaga kerja. Sungguh menyedihkan memang, angkatan kerja pertanian -khususnya pangan- kini didominasi petani berusia 45 tahun ke atas.

Generasi muda tak tertarik lagi menjadi petani. Di tengah kerusakan lahan, keterbatasan subsidi sarana produksi -khususnya pupuk dan pestisida – akan riskan menjadi petani dengan lahan kurang dari 2 ha dan pekarangan 5000 m2 untuk beternak kecil-kecilan.

Untuk itu, keberadaan pangan apakah harus mengandalkan impor demi mengejar rente semata? Gerakkan pertanian di desa-desa melalui manajemen baru semacam badan usaha milik desa berbasis kolektivisme, baik dalam produksi hingga pemasaran.

Aneh, bila petani menjual gabah dengan murah, namun sulit untuk membeli beras. Bahkan bisa jadi sebagian petani Indonesia hanya akan menjadi tenaga kerja di tanah yang disewa pengusaha dan hasil panennya harus dibeli si penyewa tanah itu.

Saatnya gerakan produksi pangan dilakukan siapa pun dengan sistem dan metodologi yang sesuai baik di kota maupun di desa masing-masing. Jika food estate yang lebih dipilih, maka kita akan lebih tergantung kepada siapa? (*)

Joko Sumpeno, pernah belajar di Akademi Farming Semarang ( 1975-1978 ) dan menjadi Ketua Senat Mahasiswa Akfarm Semarang 1976-1977.

Massa Bela Palestina Gelar Aksi di Depan Kedubes AS

JAKARTAMU.COM | Massa “menyerbu” Kedutaan Besar Amerika Serikat, Gambir, Jakarta Pusat, Minggu (20/4/2025) pagi.  Massa berkumpul dan datang dari...
spot_img

More Articles Like This