NENEK moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudra. Menerjang ombak tiada takut. Menempuh badai, sudah biasa.
Begitu lantang Ibu Sud menulis syair tentang kejayaan nenek moyang kita. Namun lihatlah kini, di negeri maritim yang dikelilingi lautan dan sungai ini, ironi sedang berlangsung.
Generasi muda Indonesia lebih jago men-scroll media sosial daripada berenang. Pelaut tanpa berenang, mungkin ini definisi baru soal hidup di Indonesia.
Mari bicara fakta pahit. September 2024, tujuh remaja ditemukan mengambang di Kali Bekasi. Salah satu korban, Muhammad Rizky (19), tidak bisa berenang.
Baca juga: Akhlak Islam Menjunjung Tinggi Indahnya Toleransi
Lalu pada November, seorang remaja bernama Fahri (14) tenggelam di Sungai Sail, Pekanbaru. Lagi-lagi, karena tidak mampu berenang. Sebuah tragedi rutin yang entah mengapa tidak pernah mengusik nurani kita.
Umar bin Khattab pernah berkata: “Ajari anak-anakmu berenang, memanah, dan berkuda.” Tapi apa yang terjadi? Olahraga yang semakin digandrungi “kader muda Islam” adalah scrolling jari.
Cabang tambahannya lomba mengunggah video ceramah singkat sambil menyeruput kopi susu kekinian. Ironi makin nyata saat kita sadar lebih banyak anak muda yang takut tenggelam karena berlatih berenang ketimbang kehilangan kuota internet.
Di negara maju seperti Jerman, berenang adalah pelajaran tambahan wajib. Anak-anak sejak TK sudah dibiasakan bersepeda, lalu SMP mahir mengendarai motor, dan SMA jago mengemudi mobil.
Baca juga: KH Ahmad Dahlan Mengubah Kauman: Kisah Berdirinya Masjid-Masjid Perempuan
Tapi di sini, anak SMA lebih jago membuat video transisi daripada menyeberangi kolam tanpa pelampung. Lebih sering, kolam renang dianggap tempat selfie daripada tempat belajar.
Berkaca dari kondisi faktual tersebut, bukan ide buruk menjadikan berenang sebagai pelajaran wajib di madrasah dan sekolah Islam. Itu adalah solusi sederhana tapi tidak mudah.
Kenapa? Tentu saja karena mencari kolam renang yang sesuai syariah tidak gampang. Belum lagi, guru yang kompeten mengajar berenang juga langka.
Tetapi bagaimana pun solusi tetap harus ditemukan karena kompetensi renang bukan soal gaya hidup, melainkan urusan bertahan hidup. Jika generasi mendatang tidak bisa berenang, jangan-jangan mereka akan menjadi pelaut yang tenggelam di pelabuhan.