JAKARTAMU.COM | Penertiban pedagang kaki lima (PKL) sering kali menjadi pemandangan rutin di berbagai kota. Dalihnya jelas: menegakkan aturan, menjaga ketertiban, dan mengembalikan fungsi trotoar bagi pejalan kaki. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang operasi penertiban berubah menjadi ajang kesewenang-wenangan oleh oknum aparat yang lupa akan batas kewenangannya.
Banyak kasus menunjukkan bahwa penertiban dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Barang dagangan dirampas, lapak dihancurkan, bahkan tidak jarang pedagang mendapat perlakuan kasar. Padahal, mereka bukan kriminal—mereka hanya rakyat kecil yang berjuang mencari nafkah di tengah kerasnya kehidupan. Ironisnya, tindakan yang seharusnya menegakkan ketertiban justru melahirkan ketidakadilan baru.
Lebih buruk lagi, ada oknum yang menjadikan penertiban sebagai kesempatan memperkaya diri. Bukannya mengamankan barang dagangan sebagai barang sitaan resmi, mereka malah membawa pulang barang tersebut untuk kepentingan pribadi. Ini bukan lagi soal penegakan aturan, tetapi penyalahgunaan wewenang yang mencoreng citra institusi.
Pemerintah dan aparat harus sadar bahwa ketertiban tidak bisa ditegakkan dengan cara semena-mena. Jika ingin menata kota dengan baik, solusi yang manusiawi harus lebih diutamakan daripada pendekatan koersif. Selama oknum-oknum aparat masih menganggap rakyat kecil sebagai pihak yang bisa diperlakukan seenaknya, selama itu pula ketidakpercayaan terhadap institusi akan semakin membesar. Penertiban bukan alasan untuk melakukan penindasan. (Dwi Taufan Hidayat)