JAKARTAMU.COM | Kebiasaan pejabat negara dan anggota legislatif menggelar rapat di hotel berbintang kembali menuai kritik. Publik mempertanyakan urgensi dan efektivitas keputusan ini di tengah tekanan ekonomi serta kebutuhan efisiensi anggaran negara. Di media sosial, banyak warga mengungkapkan kekesalannya terhadap penggunaan dana negara untuk fasilitas mewah, sementara masih banyak sektor yang membutuhkan anggaran lebih besar.
Fenomena ini semakin mencolok ketika beredar pernyataan bahwa rapat-rapat tersebut sebenarnya dapat dilakukan di gedung pemerintahan yang sudah tersedia. Gedung DPR, kantor kementerian, dan balai pertemuan milik pemerintah sejatinya memiliki fasilitas memadai untuk menggelar rapat. Namun, alasan kenyamanan dan efektivitas sering dijadikan justifikasi untuk menyewa hotel dengan harga fantastis.
Analisis Kritik terhadap Kebijakan Rapat di Hotel
Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah telah menegaskan pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan anggaran negara. Inpres ini menekankan bahwa setiap kementerian, lembaga, dan instansi pemerintahan harus memaksimalkan penggunaan aset negara dalam melaksanakan kegiatan resmi, termasuk rapat, seminar, dan lokakarya. Dengan adanya instruksi ini, seharusnya kebiasaan mengadakan rapat di hotel berbintang mulai ditinggalkan, kecuali dalam kondisi yang benar-benar tidak memungkinkan untuk dilakukan di fasilitas pemerintahan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya dijalankan. Beberapa lembaga masih tetap mengalokasikan anggaran besar untuk menyewa hotel dalam menggelar pertemuan resmi. Pengamat kebijakan publik, Dr. Haryo Wibisono dari Universitas Indonesia, menilai bahwa alasan efektivitas yang sering digunakan untuk membenarkan rapat di hotel tidak selamanya relevan. Menurutnya, banyak instansi yang sudah memiliki gedung sendiri dengan fasilitas yang cukup memadai.
“Efisiensi dalam penggunaan anggaran negara adalah prinsip utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Jika alasan efektivitas digunakan untuk menyewa hotel, maka perlu ditinjau kembali seberapa besar manfaatnya dibandingkan biaya yang dikeluarkan. Jangan sampai kebijakan ini justru menciptakan pemborosan yang tidak perlu,” ujar Dr. Haryo.
Selain itu, dari segi persepsi publik, kebijakan ini dinilai mencerminkan gaya hidup elitis para pejabat yang seakan-akan jauh dari realitas masyarakat. Prof. Anwar Nasution, seorang ekonom senior, mengingatkan bahwa pengelolaan anggaran negara harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
“Di tengah kondisi ekonomi yang menuntut efisiensi, pemerintah seharusnya lebih sensitif terhadap penggunaan anggaran. Rapat di hotel mungkin terlihat sepele, tetapi dalam skala besar, ini bisa menjadi pemborosan yang signifikan,” kata Prof. Anwar.
Implikasi Sosial dan Kepercayaan Publik
Kebijakan mengadakan rapat di hotel berbintang juga menimbulkan efek psikologis terhadap masyarakat. Saat mereka melihat pejabat negara menikmati fasilitas mewah dengan dana publik, muncul ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Masyarakat kecil yang harus berjuang dengan biaya hidup yang semakin tinggi merasa bahwa pengelolaan anggaran negara tidak berpihak kepada mereka.
Sosiolog Dr. Rina Fauziah dari Universitas Gadjah Mada menekankan bahwa perilaku pejabat negara memiliki dampak simbolis yang besar terhadap kepercayaan masyarakat.
“Jika rakyat melihat pejabatnya hidup dengan gaya yang jauh berbeda, mereka akan merasa semakin jauh dari pemerintah. Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi juga tentang pesan moral yang disampaikan kepada publik,” ujarnya.
Selain itu, dalam konteks reformasi birokrasi, kebijakan ini juga bertentangan dengan semangat efisiensi yang dicanangkan oleh pemerintah sendiri. Padahal, optimalisasi aset negara dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi salah satu poin penting dalam berbagai regulasi, termasuk dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang menginstruksikan pemanfaatan gedung pemerintah untuk kegiatan resmi guna mengurangi pengeluaran yang tidak perlu.
Kesimpulan
Praktik mengadakan rapat instansi pemerintah di hotel mewah menimbulkan berbagai polemik terkait efisiensi anggaran, etika pelayanan publik, serta sensitivitas terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Di satu sisi, alasan efektivitas dan dukungan terhadap industri perhotelan menjadi pertimbangan. Namun di sisi lain, kritik terhadap pemborosan anggaran serta ketidakpekaan terhadap situasi rakyat tidak bisa diabaikan.
Keputusan untuk tetap menggelar rapat di hotel berbintang, terutama oleh lembaga legislatif dan eksekutif, mencerminkan adanya jurang pemisah antara pengambil kebijakan dan masyarakat yang mereka wakili. Di tengah meningkatnya tuntutan transparansi dan akuntabilitas, publik berharap kebijakan semacam ini dievaluasi secara serius agar tidak merusak kepercayaan terhadap institusi pemerintahan.
Seharusnya, para pemimpin dan wakil rakyat menunjukkan keteladanan dengan mengutamakan efisiensi dalam penggunaan anggaran negara. Mengoptimalkan fasilitas yang sudah tersedia di gedung pemerintahan bukan hanya langkah hemat, tetapi juga simbol kesederhanaan dan kedekatan dengan rakyat. Jika prinsip tersebut dipegang teguh, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan DPR dapat diperkuat, bukan justru terkikis akibat kebijakan yang dianggap lebih mementingkan kenyamanan pribadi daripada kepentingan rakyat. (Dwi Taufan Hidayat)