JAKARTAMU.COM | Krisis kemanusiaan di Gaza benar-benar mencapai titik nadir. Dunia kembali disuguhi tontonan kejam yang dibayangkan hanya bsa terjadi di zaman kegelapan. Tetapi kali ini semua berlangsung di bawah sorotan kamera dan pengawasan lembaga internasional yang tampaknya hanya bisa mengelus dada.
Kamis (24/4/2025), Program Pangan Dunia (WFP) PBB secara resmi mengumumkan stok bantuan pangan di Gaza telah habis total, berkat “prestasi” blokade Israel yang sudah berlangsung selama delapan minggu penuh. Tak ada makanan, tak ada obat, tak ada bahan bakar. Hanya derita yang terus bertambah setiap harinya.
Sementara itu lebih dari satu juta anak Gaza kini terancam kelaparan. Ya, satu juta anak—angka yang setara dengan populasi satu kota besar di Indonesia—dibiarkan menanti bantuan yang tak kunjung datang, sembari dunia sibuk berdebat soal siapa yang paling benar di meja-meja diplomasi. Kantor Media Pemerintah Gaza bahkan memperbarui angka korban tewas menjadi lebih dari 61.700 jiwa, dengan ribuan lainnya masih terkubur di bawah reruntuhan bangunan dan diduga sudah meninggal dunia. Angka ini jauh melampaui data resmi Kementerian Kesehatan Gaza yang “hanya” mencatat 51.439 tewas dan 117.416 luka-luka sejak perang dimulai 18 bulan lalu.
Blokade total Israel bukan hanya sukses membuat Gaza terisolasi dari dunia luar, tapi juga berhasil mengubah wilayah itu menjadi laboratorium penderitaan manusia. Rumah sakit hancur, sekolah rata dengan tanah, pusat distribusi bantuan diluluhlantakkan, dan jaringan listrik diputus—semua demi alasan “keamanan nasional” yang entah sejak kapan diartikan sebagai hak untuk membiarkan satu bangsa perlahan-lahan mati kelaparan. Lebih dari 2 juta warga Gaza kini menghadapi kelaparan akut; sebagian keluarga hanya makan sekali sehari dengan porsi yang bahkan tak layak disebut makan. Harga bahan pokok melonjak, air bersih tercemar, penyakit menular merebak di kamp-kamp pengungsian yang penuh sesak dan tak layak huni.
Sementara itu, upaya diplomasi internasional hanya menjadi ajang saling veto di Dewan Keamanan PBB. Seruan gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan hanya terdengar sebagai formalitas, sementara Israel tetap melanjutkan operasi militer tanpa hambatan berarti. Dunia internasional, yang katanya menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tampaknya lebih sibuk menghitung suara dan kepentingan politik daripada menghitung nyawa yang melayang setiap hari di Gaza.
Gaza kini benar-benar mendekati status wilayah yang tidak layak huni—atau mungkin, memang itulah tujuan akhir dari kebijakan blokade dan serangan tanpa henti ini. Satu hal yang pasti: sejarah akan mencatat, di era modern yang katanya penuh peradaban, dunia memilih untuk menutup mata dan membiarkan genosida berlangsung di depan hidungnya sendiri.