JAKARTAMU.COM | Israel mengklaim telah membunuh pemimpin Hamas Yahya Sinwar, sebuah pembunuhan yang — jika dikonfirmasi — akan menimbulkan ketidakpastian bagi kelompok Palestina di Gaza.
Sinwar, 62 tahun, menghabiskan hidupnya untuk mengorganisasi, berjuang, dan melawan Israel sebelum diangkat sebagai kepala politik Hamas untuk menggantikan Ismail Haniyeh, yang dibunuh Israel di Teheran pada 31 Juli 2024 lalu.
Hamas belum mengomentari klaim Israel tentang pembunuhan Sinwar, yang muncul pada hari Kamis saat wilayah tersebut dilanda kekerasan lebih lanjut, yang memicu kekhawatiran akan konflik besar-besaran di Timur Tengah.
Pada saat pengumuman klaim itu, Israel tengah berperang dengan Hizbullah di Lebanon. Kelompok Irak dan Houthi telah meluncurkan pesawat nirawak dan rudal ke Israel. Militer Amerika Serikat mengebom posisi Houthi di Yaman. Dan Israel bersiap untuk menyerang Iran sebagai tanggapan atas serangan rudal Negeri Mullah itu terhadap pangkalan militer Israel.
Namun, pejabat AS telah menyatakan harapan bahwa pembunuhan Sinwar dapat membantu mengakhiri konflik tersebut.
“Pemimpin Palestina yang bermarkas di Gaza ini telah menjadi musuh publik nomor satu di Israel.”
Arsitek Operasi Badai Al-Aqsha
Dianggap sebagai arsitek serangan pada 7 Oktober 2023 terhadap Israel, Sinwar memandang perjuangan bersenjata sebagai cara paling efektif untuk menghadapi pendudukan Israel di tengah apa yang ia gambarkan sebagai ketidakpedulian masyarakat internasional terhadap penderitaan warga Palestina.
Pemimpin Palestina yang bermarkas di Gaza ini telah menjadi musuh publik nomor satu di Israel.
Sebelum menjadi kepala biro politik Hamas, ia menjabat sebagai pejabat tinggi kelompok tersebut di Gaza.
Tidak terlihat di depan umum selama perang, Sinwar dianggap bersembunyi. Beberapa laporan media menyatakan bahwa ia berada jauh di dalam jaringan terowongan Hamas, dikelilingi oleh tawanan Israel.
Namun, menurut keterangan Israel, Sinwar tewas di Rafah setelah baku tembak dengan pasukan Israel. Tidak jelas mengapa ia keluar bersama para pejuang atau apakah ia telah memimpin operasi militer dari atas tanah selama ini.
Lahir pada tahun 1962 di kamp pengungsi Khan Younis, Sinwar sering digambarkan sebagai salah satu pejabat tinggi Hamas yang paling keras kepala. Ia ditangkap oleh Israel berulang kali pada awal tahun 1980-an karena keterlibatannya dalam aktivisme anti-pendudukan di Universitas Islam di Gaza.
Setelah lulus, ia membantu mendirikan jaringan pejuang untuk melakukan perlawanan bersenjata terhadap Israel. Kelompok itu kemudian menjadi Brigade Qassam, sayap militer Hamas.
Sinwar bergabung dengan Hamas sebagai salah satu pemimpinnya segera setelah kelompok itu didirikan oleh Sheikh Ahmed Yassin pada tahun 1987. Tahun berikutnya, ia ditangkap oleh pasukan Israel dan dijatuhi empat hukuman seumur hidup — setara dengan 426 tahun penjara — karena diduga terlibat dalam penangkapan dan pembunuhan dua tentara Israel dan empat tersangka mata-mata Palestina.
Saat dipenjara, Sinwar menulis novel tentang perjuangan Palestina, yang diyakini sebagian merupakan otobiografi, berjudul The Thorn and the Carnation.
Ia menghabiskan 23 tahun di penjara Israel tempat ia belajar bahasa Ibrani dan menjadi fasih dalam urusan Israel dan politik dalam negeri. Ia dibebaskan pada tahun 2011 sebagai bagian dari kesepakatan pertukaran tahanan yang membebaskan tentara Israel Gilad Shalit, yang telah ditangkap oleh Hamas.
Setelah dibebaskan, Sinwar dengan cepat naik jabatan di Hamas lagi. Pada tahun 2012, ia terpilih menjadi biro politik kelompok tersebut dan ditugaskan untuk berkoordinasi dengan Brigade Qassam.
Ia memainkan peran politik dan militer utama selama serangan Israel tujuh pekan terhadap Gaza pada tahun 2014. Tahun berikutnya, Amerika Serikat melabeli Sinwar sebagai “teroris global yang ditunjuk secara khusus”.
Pada tahun 2017, Sinwar menjadi kepala Hamas di Gaza, menggantikan Haniyeh, yang terpilih sebagai ketua biro politik kelompok tersebut.
Tidak seperti Haniyeh, yang telah melakukan perjalanan regional dan menyampaikan pidato selama perang di Gaza hingga pembunuhannya, Sinwar telah bungkam sejak 7 Oktober 2023.
Jaksa Pengadilan Kriminal Internasional telah meminta surat perintah penangkapan untuknya bersama dengan Haniyeh, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yaov Gallant atas dugaan kejahatan perang dalam konflik yang sedang berlangsung di Gaza.
Dalam wawancara tahun 2021 dengan Vice News, Sinwar mengatakan bahwa, meskipun Palestina tidak menginginkan perang karena biayanya yang tinggi, mereka tidak akan “mengibarkan bendera putih”.
“Selama kurun waktu yang lama, kami mencoba perlawanan damai dan populer. Kami berharap dunia, orang-orang bebas, dan organisasi internasional akan mendukung rakyat kami dan menghentikan pendudukan melakukan kejahatan dan pembantaian terhadap rakyat kami. Sayangnya, dunia hanya berdiri diam dan menonton,” katanya.
Sinwar kemungkinan menggambarkan Great March of Return, saat warga Palestina berunjuk rasa setiap pekan selama berbulan-bulan di perbatasan Gaza pada tahun 2018 dan 2019. Namun, demonstrasi tersebut ditanggapi dengan tindakan keras Israel yang menewaskan lebih dari 220 orang dan melukai banyak lainnya.
Ketika ditanya tentang taktik Hamas, termasuk menembakkan roket tanpa pandang bulu yang dapat membahayakan warga sipil, Sinwar mengatakan warga Palestina berjuang dengan cara yang mereka miliki. Ia menuduh Israel sengaja membunuh warga sipil Palestina secara massal, meskipun memiliki persenjataan canggih dan presisi.
“Apakah dunia mengharapkan kami menjadi korban yang berperilaku baik saat kami dibunuh, agar kami dibantai tanpa bersuara?” kata Sinwar.