Oleh: Sugiyati
Rumah itu terasa lebih sunyi daripada biasanya. Syeikh Ibnu Hajar duduk dengan tenang di tempatnya, berzikir tanpa henti, seakan dunia luar tidak pernah mengganggu pikirannya. Namun, istrinya merasa tercekik oleh bayang-bayang yang datang malam itu. Surat yang diberikan oleh Istri Imam Ar-Ramli masih tergeletak di atas meja, penuh dengan ancaman dan janji yang menjerat.
Ia memandangi kertas itu, jari-jarinya gemetar. Surat itu bukan hanya sekedar ancaman, tetapi juga tawaran yang menggoda. Sekali lagi, ia mengingat perkataan wanita itu—”Kau tahu di mana mencariku.”
Seharusnya ia merasa diberkati oleh kesederhanaan hidup yang telah dipilihnya, tetapi dunia yang ditawarkan di luar sana begitu memesona. Kehidupan yang penuh kemewahan, kebebasan dari kemiskinan, dan kebahagiaan yang tampaknya mudah diraih.
Tapi, di mana kebenaran dalam pilihan-pilihan ini?
“Jika kau menandatanganinya, maka segalanya akan berubah,” pikirnya. “Tapi apakah itu benar-benar yang kuinginkan?”
Langkah kaki yang mendekat membuatnya tersentak.
Syeikh.
Ia menatap suaminya yang sudah berdiri di depan pintu. Matanya menilai dengan lembut, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Seperti ada ketegangan yang tak terucapkan antara mereka berdua.
“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Syeikh, suaranya lembut, namun ada ketajaman yang samar-samar tercium.
Sang istri menunduk. “Aku… aku hanya merasa lelah.”
Syeikh tersenyum. “Semua akan baik-baik saja, InsyaAllah.”
Namun, kata-kata itu tak cukup menenangkan hatinya. Istrinya tahu, di balik senyum itu, ada sesuatu yang lebih dalam. Mungkin Syeikh sudah mulai mencium ada yang tidak beres.
Ia mengalihkan pandangan ke surat itu.
Syeikh mengikuti arah pandangannya, lalu menatap surat yang tergeletak di atas meja. Matanya menajam.
“Ini…” katanya perlahan. “Apa ini?”
Sang istri terkejut, wajahnya memucat. Namun, ia mencoba bertahan, berusaha menunjukkan ketenangan yang tak ia rasakan. “Itu… hanya surat biasa.”
Syeikh tidak segera menjawab, tetapi langkahnya mendekat, dan ia mengambil surat itu dengan hati-hati.
Ia membukanya pelan-pelan.
Membaca setiap kata dengan seksama.
Istrinya merasa tenggorokannya tercekik. Ketakutan menyelinap masuk ke dalam hatinya. Apa yang akan dikatakan suaminya? Apakah ia akan marah?
Syeikh mengangkat wajahnya, menatap istrinya dalam-dalam. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, istrinya merasakan seolah dunia menjadi sangat kecil.
“Saya kira kita sudah sepakat,” katanya tenang, tetapi dengan beban yang terungkap dalam suaranya.
“Apa maksudmu?” tanya sang istri dengan suara bergetar.
“Apa yang kau sembunyikan?” tanya Syeikh, kali ini dengan lebih dalam dan penuh makna.
Istri Syeikh menunduk, lalu dengan hati yang penuh penyesalan, ia menghela napas panjang. “Aku… aku tidak tahu harus berkata apa.”
Syeikh meletakkan surat itu di meja dan menghela napas. “Allah Maha Tahu apa yang ada di dalam hati kita. Aku hanya ingin tahu satu hal, istriku…”
“Satu hal apa, Syeikh?” jawab istrinya, suara hampir tak terdengar.
Syeikh menyentuh bahu istrinya dengan lembut. “Apakah kau masih memilih aku?”
Kata-kata itu membuat jantung sang istri berhenti sejenak.
Ia ingin berkata, “Ya, aku memilihmu, Syeikh, karena aku mencintaimu,” tetapi kata-kata itu seakan tak mampu keluar.
Syeikh melihat ke matanya, lalu berbicara lagi dengan lembut. “Aku tahu betapa godaan duniawi itu besar. Tetapi aku juga tahu, kita telah memilih jalan yang penuh dengan ujian. Jalan ini bukan untuk orang yang lemah.”
Istri Syeikh merasakan hatinya berat, beban yang lebih besar daripada sebelumnya. “Aku takut, Syeikh.”
Syeikh mengangguk perlahan. “Aku tahu. Kita semua punya ketakutan. Tapi, bagaimana kita menghadapi ketakutan itu yang akan menentukan siapa kita.”
Sang istri merasa seolah dunia terhenti sejenak. Ia ingin menangis, tetapi air mata itu terasa jauh. Ia menatap Syeikh, yang kini berdiri di depannya dengan penuh kasih, namun juga dengan kesedihan yang mendalam.
Apakah ia cukup kuat untuk menjalani ujian ini?
Syeikh melanjutkan, “Jangan biarkan dunia ini menguasaimu. Apa yang kita miliki sekarang adalah anugerah dari Allah. Tetapi jika kau memilih untuk menggenggam dunia itu, maka kau harus siap menerima konsekuensinya.”
Dengan penuh kebingungannya, istri Syeikh akhirnya berbicara, “Aku… Aku takut kehilanganmu.”
Syeikh tersenyum, meskipun ada kedukaan yang tersirat. “Kita semua akan kehilangan sesuatu, istriku. Tapi jika kita tak pernah berani melepaskan, kita akan kehilangan lebih banyak.”
Sang istri merasa sebuah titik balik dalam hatinya. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak mudah, tetapi ia juga tahu bahwa apapun yang terjadi, ia harus memilih untuk berjalan di jalan yang benar.
Ia mengangguk perlahan, melepaskan beban di hatinya. “Aku akan memperbaiki semuanya, Syeikh. Aku berjanji.”
Syeikh tersenyum lembut. “Aku tahu, istriku.”
Namun, di dalam hatinya, istri Syeikh juga tahu bahwa jalan yang mereka pilih bukanlah jalan yang mudah, dan ujian mereka baru saja dimulai.
(Bersambung ke Seri 7 – Pengakuan)