Perjalanan Baru
Oleh: Sugiyati
Perjalanan Syeikh Ibnu Hajar telah memasuki babak baru. Ia merasa terlahir kembali, seolah dunia yang ada di sekelilingnya bukan lagi dunia yang sama. Namun, meski tubuhnya telah pulih, pikiran dan hatinya tetap dibebani oleh pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Apa yang sesungguhnya terjadi di balik semua ini? Apa tujuan dari segala pengkhianatan ini?
Syeikh berjalan perlahan keluar dari kawasan sumur Zamzam, dengan langkah yang lebih mantap dari sebelumnya. Cahaya yang mengelilinginya, hasil dari karomah yang kembali terbangun, masih menyinari kegelapan hati dan pikirannya. Namun, meski begitu, ada kerisauan dalam dirinya yang tak bisa ia abaikan begitu saja.
“Zamzam adalah sumber yang tak pernah kering, namun apakah air dari sumur ini cukup untuk membersihkan noda-noda yang ada dalam diri kita?” bisik hati Syeikh. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih dalam yang perlu dicari—sesuatu yang lebih dari sekadar kemewahan duniawi yang selama ini membuat hatinya terombang-ambing.
Di sisi lain, istri Syeikh menunggu dengan hati yang cemas. Sejak Syeikh terjatuh dalam keadaan sekarat, ia merasa dunia seakan runtuh. Namun, saat Syeikh kembali, seolah hidup mereka dapat kembali seperti semula. Tapi ada perubahan yang tak bisa disembunyikan. Suaminya kini terlihat lebih tenang, lebih sabar, lebih bijaksana, dan lebih jauh dari keduniaan yang pernah ia kenal.
Syeikh tiba di rumah dengan tatapan yang penuh ketenangan. Istrinya berdiri di sana, menanti dengan harapan yang tak bisa disembunyikan. Ia tahu bahwa tidak ada yang sama lagi setelah kejadian itu, namun ia tetap ingin mencoba.
“Syeikh, apakah… apakah semua sudah berakhir?” tanya sang istri, suaranya pelan.
Syeikh menatapnya dalam-dalam, matanya tidak hanya melihat tubuhnya, tetapi juga meresapi setiap denyut kehidupan yang ada dalam dirinya. “Istriku, apa yang kita cari dalam hidup ini? Apa yang kau inginkan dari semua ini?” tanyanya, suaranya penuh makna.
Istrinya menundukkan kepala, merasa terperangkap dalam dilema. “Aku ingin hidup dalam kemewahan, Syeikh. Aku ingin merasakan nikmat dunia yang sering kau larang. Aku ingin menikmati segala yang dimiliki orang-orang besar.”
Syeikh menarik napas panjang, kemudian duduk di hadapan istrinya. “Aku tidak akan menutup mata terhadap keinginanmu, tapi ingatlah, dunia ini adalah tempat yang sementara. Semua yang kita lihat, semua yang kita miliki, hanyalah titipan. Jika kita terlalu mencintai dunia ini, kita akan lupa kepada yang abadi.”
Istrinya terdiam. Kata-kata itu menusuk hati, seperti badai yang datang begitu cepat, menghantam segala yang ada di dalam dirinya. Ia merasa bingung, tetapi di sisi lain, ada ketenangan yang aneh, yang datang dari setiap kata Syeikh.
Syeikh melanjutkan, “Namun, aku tidak bisa memaksamu untuk memilih. Setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Jika jalanmu adalah mengikuti kemewahan, maka jalan itu adalah milikmu. Tetapi aku akan tetap berdiri di sini, mencari jalan yang lebih tinggi, yang lebih dekat kepada-Nya.”
“Jadi, apa yang kau inginkan dariku, Syeikh?” tanya istrinya dengan suara gemetar.
“Aku tidak menginginkan apa-apa, istriku,” jawab Syeikh dengan lembut. “Aku hanya ingin agar engkau memilih dengan hati yang terang. Harta itu tidak akan membawa kebahagiaan sejati, tetapi ketenangan hati yang datang dari pengabdian kepada-Nya, itulah yang akan membawamu pada kedamaian.”
Istrinya terdiam, hatinya bergejolak. Ada kekosongan yang dalam dalam dirinya, seperti ada sesuatu yang hilang. Apakah itu karena ketidakmampuannya untuk mengerti jalan hidup Syeikh, atau apakah itu karena kesalahannya yang sudah terlanjur menyesatkan jalan hidup mereka berdua?
Syeikh bangkit dan melangkah menuju jendela, memandang keluar. “Kita tidak tahu berapa lama kita akan tinggal di dunia ini,” katanya, “Namun apa yang kita lakukan hari ini akan menentukan bagaimana kita menghadapinya nanti.”
Istrinya menatap suaminya, merasa kekhawatiran yang mendalam. Apakah Syeikh akan meninggalkannya begitu saja? Apakah mereka akan terus berjalan dalam jalan yang berbeda?
Namun, sebelum ia bisa mengungkapkan kata-kata itu, Syeikh berbalik dan berkata, “Kita akan pergi ke tempat yang lebih jauh, ke tempat yang lebih dalam. Aku ingin engkau ikut denganku, dan bersama-sama kita akan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mengganggu kita.”
Istrinya merasa ada harapan yang muncul kembali, meski ketakutan masih membelenggunya. “Ke mana kita akan pergi, Syeikh?”
“Kita akan pergi ke tanah yang belum pernah kita jejak, ke tempat yang lebih dekat dengan-Nya,” jawab Syeikh, matanya berbinar penuh tekad.
Istrinya merasa ada ketenangan dalam kata-kata itu. Meskipun ada kebingungan, ada juga rasa damai yang sulit dijelaskan. Akankah perjalanan mereka ini membawa mereka pada jalan yang lebih terang, ataukah mereka akan terus terjebak dalam bayang-bayang dunia yang penuh tipu daya?
(Bersambung ke Seri 12 – Rahasia yang Tersembunyi)