Pencarian yang Tak Terlihat
Oleh: Sugiyati
Keheningan dalam gua itu mencekam, seakan setiap detak jantung mereka bergema lebih keras daripada kata-kata yang tak terucapkan. Suara yang tiba-tiba memecah kesunyian itu menggetarkan hati. Dalam kegelapan yang pekat, seakan dunia berhenti berputar. Syeikh Ibnu Hajar dan istrinya hanya terdiam, terfokus pada suara yang berasal dari dalam kegelapan gua itu.
“Istriku, kita tidak sendirian,” Syeikh berkata dengan suara serak, berusaha menenangkan dirinya dan istrinya. Meskipun ia bisa merasakan aura ancaman di sekitarnya, hatinya tetap mantap, tak tergoyahkan oleh ketakutan.
Namun, istrinya merasakan sebaliknya. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut akan suara yang terdengar begitu asing, tetapi karena perasaan tidak nyaman yang merasuki jiwanya. Ia merasa bahwa segala sesuatu yang telah mereka lakukan, semua perjalanan ini, berujung pada satu titik yang penuh misteri dan kegelapan. Titik yang tidak ada jalan keluar, kecuali menghadapi apa pun yang mengintai di baliknya.
“Siapa di sana?” Syeikh bertanya dengan tegas, suaranya menggema dalam gua yang sempit. “Jika ada yang menghalangi jalan kami, izinkan kami untuk terus melangkah.”
Sekejap kemudian, suara itu terdengar kembali, kali ini lebih jelas, lebih nyata. “Kalian mencari jawaban yang tak seharusnya kalian temukan,” suara itu terdengar seperti bisikan angin yang tajam, namun penuh dengan kekuatan yang menekan. “Apa yang kalian cari bukanlah untuk kalian pahami.”
Syeikh tersenyum tipis. “Jika rahasia itu benar-benar tak seharusnya diketahui, mengapa kalian membiarkannya terungkap? Apakah kalian takut pada kebenaran?”
Mendengar itu, suara itu terdiam sejenak. Sebuah tawa rendah terdengar, namun tak ada tawa yang terdengar lebih menakutkan daripada tawa ini—tawa yang penuh dengan keputusasaan, seolah berasal dari kedalaman yang lebih gelap daripada gua itu sendiri.
“Seperti yang kau katakan, Syeikh Ibnu Hajar,” suara itu mulai kembali berbicara, kali ini dengan nada yang berbeda, lebih lambat dan penuh dengan penekanan. “Kebenaran bukanlah untuk kalian yang haus akan dunia ini. Kalian yang telah memilih perjalanan ini, kini harus siap menanggung konsekuensinya. Mengapa Zamzam harus mengungkapkan rahasia yang tersembunyi untuk kalian, jika hati kalian telah dipenuhi oleh ketamakan?”
Istrinya tertegun. Pertanyaan itu, meskipun ditujukan kepada suaminya, seakan menampar dirinya dengan keras. Ia mulai merasakan ketegangan dalam dirinya, sebuah ketegangan yang telah lama terkubur dalam hati, namun kini muncul ke permukaan. Ia telah memilih untuk mengikuti Syeikh dalam perjalanan ini, tanpa benar-benar memahami apa yang sebenarnya ia cari.
“Istriku,” kata Syeikh perlahan, seakan memahami kegelisahan yang melanda hati istrinya. “Apa yang kita cari bukanlah kekayaan dunia. Bukan pula sekadar jawaban atas semua pertanyaan. Namun, kita mencari kedamaian sejati, yang hanya bisa ditemukan dalam keikhlasan.”
Istrinya terdiam. Kata-kata Syeikh itu mulai menyentuh hatinya, namun ada sesuatu yang masih mengganjal. Sesuatu yang tak bisa ia lepaskan begitu saja. Sebuah godaan yang telah lama merasuki dirinya.
“Tapi Syeikh…” ujar istrinya dengan suara gemetar, “apa yang kita temukan di sini? Apa yang sebenarnya ada di balik kitab itu? Apakah kita benar-benar siap untuk mengetahui kebenaran yang ada di dalamnya?”
Syeikh menatap istrinya dengan mata yang penuh kasih, namun ada kedalaman yang tersembunyi di balik tatapan itu. “Hidup ini penuh dengan misteri, istriku. Tidak ada yang bisa kita pahami sepenuhnya. Namun, hanya dengan menghadapi kegelapan itulah kita bisa menemukan cahaya.”
Mereka melangkah lebih dalam ke dalam gua, dan tiba-tiba, di tengah kegelapan yang mencekam itu, sebuah cahaya mulai menyinari jalan mereka. Cahaya itu berasal dari kitab yang ada di altar batu hitam. Syeikh menggenggam kitab itu dengan tangan yang mantap, sementara istrinya hanya bisa menatapnya dengan penuh keheranan.
Ketika Syeikh membuka halaman pertama kitab itu, sebuah gambaran muncul di benak mereka. Sebuah gambaran yang begitu nyata, seakan mereka sedang melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Gambaran itu menunjukkan sebuah perjalanan yang panjang, penuh dengan godaan duniawi dan penderitaan. Namun, di ujung perjalanan itu, ada sebuah cahaya yang tak terhingga, yang akan menyelimuti setiap jiwa yang mau menerima kebenaran.
Namun, di saat yang bersamaan, gambaran itu juga menunjukkan sebuah jalan yang berakhir dalam kegelapan yang tak terhindarkan, sebuah jalan yang dipenuhi dengan kehilangan dan penyesalan.
Syeikh menatap istrinya, dan meskipun ia tidak mengatakan apa-apa, ia tahu bahwa mereka harus memilih. Mereka harus memilih apakah akan terus menempuh jalan yang penuh dengan godaan dunia, atau memilih untuk melepaskan segala sesuatu demi kedamaian sejati.
Istrinya menatap Syeikh dengan mata yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Syeikh, apakah kita sudah siap untuk menghadapi kebenaran ini? Apa yang sebenarnya kita cari?”
Syeikh hanya tersenyum, sebuah senyuman yang penuh dengan kebijaksanaan dan kedamaian. “Kebenaran itu bukanlah sesuatu yang bisa kita temukan begitu saja, istriku. Kebenaran itu ada dalam perjalanan kita, dalam setiap langkah yang kita ambil.”
Namun, tepat ketika mereka merasa sudah siap untuk melangkah lebih jauh, sebuah suara lain terdengar, kali ini jauh lebih keras dan penuh dengan kekuatan yang menekan.
“Jangan lanjutkan perjalanan ini!” suara itu menggelegar, membuat keduanya terkejut. “Kalian telah menginjakkan kaki di jalan yang tak bisa kalian balikkan!”
(Bersambung ke Seri 14 – Batas yang Tak Terlihat)