Senin, Februari 24, 2025
No menu items!

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (14)

Must Read

Batas yang Tak Terlihat

Oleh: Sugiyati

Suara itu menggema, seolah datang dari seluruh penjuru gua yang gelap. Setiap kata yang diucapkan terasa seperti petir yang mengguncang langit, meninggalkan bekas yang dalam di hati keduanya. Syeikh Ibnu Hajar berdiri tegak, tatapannya fokus pada sumber suara, namun tak ada satu pun yang tampak di kegelapan selain bayangan mereka berdua.

“Istri… kita telah memasuki wilayah yang tidak seharusnya kita lewati,” Syeikh berkata pelan, suaranya bergetar, namun tidak dengan ketakutan. Ia tahu bahwa ini adalah ujian terakhir yang harus mereka hadapi, sebuah ujian yang tak hanya menguji fisik, tetapi juga hati dan niat mereka.

Istrinya menggenggam erat tangan Syeikh, berusaha menenangkan dirinya. Namun, jantungnya berdetak semakin cepat. “Syeikh… apa yang terjadi jika kita melangkah lebih jauh? Apa yang akan kita temukan di ujung jalan ini?”

Syeikh menatap istrinya dengan mata yang dalam, seakan mencoba membaca isi hatinya yang terluka, namun juga penuh dengan keraguan. “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, istriku. Tapi kita harus siap menghadapi segala kemungkinan.”

Tiba-tiba, sebuah cahaya terang muncul di ujung gua, memancar seperti sinar mentari yang menembus kabut tebal. Cahaya itu membimbing langkah mereka, namun juga semakin membuat perasaan was-was menguasai hati keduanya. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti ada tangan tak terlihat yang menahan mereka untuk terus melangkah.

Ketika mereka mencapai ujung gua, sebuah pintu besar terbuka dengan sendirinya. Pintu itu tampak seperti gerbang menuju dunia lain—dunia yang penuh dengan keabadian dan kekayaan, namun juga dipenuhi dengan bayangan-bayangan gelap yang mengintai dari jauh.

“Masuklah,” suara yang sebelumnya menggema terdengar lagi, kali ini lebih lembut namun penuh dengan kekuatan yang tak terbantahkan. “Di dalam sana, kalian akan menemukan apa yang kalian cari. Tapi ingat, apa yang ditemukan tak selalu membawa kebahagiaan.”

Syeikh menoleh kepada istrinya, matanya penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan. “Apa yang akan kita lakukan? Masuklah dan hadapi segala sesuatu yang mungkin ada di dalam, atau tinggalkan dan kembali ke kehidupan yang lebih sederhana?”

Istrinya menatap pintu besar itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa terdorong untuk mengejar apa yang selama ini ia impikan—kekayaan, kekuasaan, kehidupan yang penuh dengan kemewahan. Namun, di sisi lain, ada suara kecil dalam hatinya yang mengingatkannya bahwa kebahagiaan sejati tak terletak pada duniawi.

Dengan langkah yang perlahan, mereka memasuki pintu itu. Di dalamnya, mereka disambut oleh pemandangan yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah taman yang luas, dipenuhi dengan pohon-pohon yang berbuah emas dan sungai yang mengalirkan air zamzam yang jernih. Di tengah taman, sebuah singgasana emas berdiri megah, dikelilingi oleh para malaikat yang tampak tak terhingga jumlahnya.

Namun, meskipun pemandangan itu begitu memukau, ada sesuatu yang terasa tidak benar. Sesuatu yang mengganggu kedamaian yang seharusnya ada. Di sekitar taman, ada bayangan-bayangan gelap yang bergerak perlahan, seakan mengamati setiap gerakan mereka.

“Istriku,” kata Syeikh dengan suara yang lembut namun tegas. “Apa yang kita lihat di sini adalah ilusi. Ini bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Ini adalah godaan dunia yang mencoba membelokkan kita dari jalan yang benar.”

Istrinya menggenggam tangan Syeikh dengan erat, merasakan kekuatan dalam sentuhan itu. “Tapi Syeikh, apakah kita benar-benar bisa melepaskan semua ini? Semua kemewahan ini… apakah kita tidak berhak menikmatinya setelah semua yang kita perjuangkan?”

Syeikh menatap istrinya dengan penuh kasih, namun ada kesedihan yang tercermin di matanya. “Kita memang berhak untuk kebahagiaan, istriku. Tetapi kebahagiaan yang sejati bukanlah yang datang dari dunia ini. Kebahagiaan sejati datang dari hati yang ikhlas, dari menjalani hidup dengan niat yang lurus, dan dari mencari kedamaian yang tak ternilai.”

Istrinya terdiam, merenung sejenak. Pemandangan di sekelilingnya semakin jelas, namun semakin ia memandangnya, semakin ia merasa terperangkap. Ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan yang sulit—meninggalkan semua yang ada di hadapannya ini atau terus mengejar keinginan yang mungkin tak akan pernah terpuaskan.

Namun, tepat pada saat itu, suara yang sama yang menginterupsi perjalanan mereka sebelumnya terdengar kembali, kali ini dengan nada yang lebih tegas.

“Jangan tinggalkan kami!” suara itu terdengar penuh dengan kecemasan dan keputusasaan. “Kami memberi kalian segala sesuatu yang kalian inginkan, mengapa kalian masih ragu?”

Syeikh berbalik, tatapannya penuh dengan ketegasan. “Kami bukanlah pencari dunia. Kami mencari kedamaian yang lebih tinggi daripada apa yang kalian tawarkan.”

Ketika kata-kata itu terucap, taman yang megah itu mulai pudar, berubah menjadi bayangan-bayangan yang semakin gelap, seakan-akan mereka baru saja memasuki ruang waktu yang tak bisa dipahami. Syeikh dan istrinya merasakan sebuah tarikan yang kuat, seolah mereka sedang terseret kembali ke dunia nyata.

“Sudah waktunya bagi kita untuk kembali, istriku,” kata Syeikh, suara lembut namun penuh dengan kekuatan yang tak terbantahkan.

Namun, di saat mereka berbalik untuk meninggalkan tempat itu, sebuah suara terakhir terdengar, kali ini jauh lebih memerintah.

“Kalian tak akan pernah bisa keluar dari sini, Syeikh Ibnu Hajar. Kalian telah melewati batas yang tak terlihat. Kalian kini adalah bagian dari kami.”

(Bersambung ke Seri 15Kutukan Dinar Emas)

7 BUMN Ini Bakal Masuk Danantara

JAKARTAMU.COM | Kepala Danantara Muliaman Darmansyah Hadad menyebut tujuh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan masuk ke...

More Articles Like This