Kutukan Dinar Emas
Oleh: Sugiyati
Langit yang tadinya cerah mulai berubah kelam, mendung menggelayuti udara di sekitar mereka. Syeikh Ibnu Hajar dan istrinya berjalan cepat, dengan hati yang berdebar penuh kegelisahan. Mereka merasakan tarikan yang kuat dari tempat yang baru saja mereka tinggalkan. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah bumi menahan mereka untuk kembali ke dunia yang mereka kenal. Namun, di sisi lain, suara itu—suara yang penuh ancaman—terus bergema di kepala mereka.
“Kalian tak akan pernah bisa keluar dari sini, Syeikh Ibnu Hajar. Kalian telah melewati batas yang tak terlihat. Kalian kini adalah bagian dari kami.”
Istrinya menggenggam tangan Syeikh, matanya berkaca-kaca. “Syeikh… apa yang harus kita lakukan? Apa yang mereka inginkan dari kita?”
Syeikh tetap tenang, meskipun ada kecemasan yang tampak di matanya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang harta atau kemewahan. Ini lebih dalam dari itu. Ini tentang ujian sejati, tentang kekuatan iman dan ketulusan hati yang diuji oleh godaan duniawi.
“Sabar, istriku. Kita belum selesai. Apa yang mereka tawarkan hanyalah kedukaan. Jangan biarkan hati kita tergoda lagi,” ujar Syeikh dengan suara penuh kebijaksanaan.
Namun, seiring mereka berjalan, mereka tiba di tempat yang tidak mereka kenal—sebuah desa yang tampak terabaikan, penuh dengan bangunan tua yang hampir runtuh. Di tengah-tengah desa itu, terdapat sebuah sumur besar, dan di sekitar sumur itu, tumpukan dinar emas tergeletak begitu saja. Pemandangan yang begitu kontras dengan kesederhanaan yang mereka jalani selama ini.
“Ini… ini yang mereka maksudkan,” kata Syeikh pelan, matanya menyiratkan kecemasan yang dalam. “Ini adalah kutukan mereka. Dinar emas yang menggodanya. Siapa yang mengambilnya, akan kehilangan apa yang paling berharga dalam hidupnya.”
Istrinya terdiam. Ia menatap tumpukan dinar itu dengan tatapan kosong, hatinya bergejolak. “Syeikh… apakah kita harus mengambilnya? Mungkin ini adalah kesempatan kita untuk memperbaiki semuanya.”
Syeikh menatap istrinya dengan hati yang berat. “Kita tidak bisa kembali ke dunia itu. Dinar ini hanya akan memperburuk keadaan kita. Jangan biarkan dunia menggoda kita sekali lagi.”
Namun, sebelum mereka bisa melangkah pergi, suara itu terdengar kembali, lebih keras dari sebelumnya, seperti sebuah perintah yang tak bisa ditentang.
“Ambillah, Syeikh Ibnu Hajar! Ambillah dan nikmatilah kehidupan yang telah lama kau impikan! Dinar ini adalah kunci kebahagiaan sejati.”
Syeikh merasa tubuhnya seolah terikat, kakinya seakan tidak bisa melangkah lebih jauh. Pandangannya terfokus pada dinar emas yang berkilau itu, yang memancarkan cahaya seperti magnet yang tak bisa dihindari.
Istrinya menggenggam erat tangannya, mencoba membangkitkan kembali kekuatan hatinya. “Syeikh, kita bisa menjalani hidup yang lebih baik, lebih mudah. Kita bisa memberi lebih banyak pada orang-orang yang kita cintai. Jangan biarkan ini hilang begitu saja.”
Namun, sebelum Syeikh bisa memberikan jawabannya, sebuah angin kencang berhembus, mengguncang tempat itu. Tumpukan dinar emas di sekitar mereka mulai bergerak, seolah-olah hidup, berputar-putar di udara seperti pusaran yang tak terlihat. Setiap koin yang berputar mengeluarkan suara berdenting, seakan mengingatkan mereka pada godaan yang tidak bisa mereka hindari.
Tiba-tiba, sebuah bayangan besar muncul dari balik sumur. Sebuah makhluk yang tampak terbuat dari cahaya gelap, dengan mata merah yang menyala seperti bara api, menatap mereka dengan penuh kebencian.
“Apakah kalian merasa cukup kuat untuk menanggung kutukan ini?” suara itu menggema, penuh dengan kekuatan yang mencekam.
Istri Syeikh menggigil, merasa ketakutan yang luar biasa. “Syeikh… kita tidak bisa bertahan. Apa yang akan kita lakukan?”
Syeikh menggenggam tangan istrinya dengan erat, menguatkan dirinya. “Kita harus melawan godaan ini. Jangan biarkan mereka menang. Kita harus kembali ke jalan yang benar, jalan yang telah kita pilih.”
Namun, bayangan itu semakin mendekat, dan suara itu semakin keras. “Kalian tidak akan bisa pergi. Dinar ini adalah takdirmu. Ambil atau tinggalkan—semuanya akan berakhir dengan kehilangan.”
Syeikh menutup matanya sejenak, berdoa dalam hati. “Ya Allah, tuntunlah kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati ujian ini.”
Tiba-tiba, sebuah cahaya terang memancar dari dalam hati Syeikh, mengusir bayangan gelap itu. Cahaya itu menyebar, mengusir kegelapan dan memberikan kelegaan yang luar biasa. Makhluk itu mengeluarkan teriakan keras, sebelum akhirnya menghilang ke dalam kegelapan yang semakin menipis.
Istrinya memandang Syeikh dengan tatapan bingung dan takjub. “Syeikh… apa yang terjadi?”
Syeikh menarik napas panjang, merasa kelegaan yang luar biasa. “Itulah kekuatan iman. Kita tak perlu terperangkap dalam dunia yang fana ini. Hanya dengan hati yang tulus kita bisa mengalahkan godaan yang datang.”
Namun, di saat mereka mulai merasa lega, sebuah suara kembali terdengar, kali ini jauh lebih lembut, namun penuh dengan kekuatan.
“Ini belum berakhir. Semua yang kalian pilih akan memiliki akibat. Dinar itu… tidak akan pernah hilang. Ia akan terus mengikuti kalian.”
Istrinya menatap sumur itu dengan tatapan penuh kecemasan. “Syeikh… apakah kita akan terus dihantui oleh kutukan ini?”
Syeikh menunduk, memikirkan kata-kata itu. “Mungkin kutukan itu tidak akan hilang begitu saja. Namun, kita akan terus berjuang untuk menjaga hati kita tetap bersih dan menjaga iman kita.”
Namun, sebelum mereka dapat melangkah lebih jauh, sumur di depan mereka kembali mengeluarkan cahaya, kali ini lebih terang dari sebelumnya. Dinar emas yang tergeletak di sekitarnya mulai bersinar kembali, seakan menunggu untuk dipilih, menunggu untuk menguji hati mereka sekali lagi.
(Bersambung ke Seri 16 – Jalan Terbelah)