Ujian Tak Terduga
Oleh: Sugiyati
Jalan terang yang mereka pilih kini memisahkan mereka dari segala godaan duniawi yang mereka tinggalkan di belakang. Namun, meskipun jalan itu penuh dengan cahaya, setiap langkah mereka terasa semakin berat, seakan ada beban tak terlihat yang mengikutinya. Di hadapan mereka, kabut tipis mulai perlahan menyelimuti jalan, memberikan nuansa yang penuh misteri dan ketidakpastian.
“Istriku… jalan ini semakin aneh, bukan?” tanya Syeikh sambil memandang ke sekeliling, mencoba menemukan petunjuk apa pun di antara kabut yang kian menebal.
Istrinya hanya bisa mengangguk, wajahnya dipenuhi keraguan. Ia merasa seperti berjalan dalam sebuah mimpi buruk yang tiada akhir. “Syeikh… apakah kita benar-benar memilih jalan yang benar? Semua ini terasa seperti ujian yang tak pernah berakhir.”
Syeikh menghela napas panjang, menatap istrinya dengan penuh pengertian. “Setiap jalan yang kita pilih, istriku, pasti akan membawa ujian. Ujian itu adalah tanda bahwa kita masih diingat oleh Allah, agar kita tidak terlena dalam kesenangan dunia. Tetapi ingatlah, bahwa ujian ini juga akan menguatkan kita jika kita sabar.”
Namun, kata-kata Syeikh terasa semakin hampa seiring perjalanan mereka. Kabut itu semakin tebal, menghalangi pandangan mereka. Setiap langkah terasa lebih lambat, seolah-olah mereka terperangkap dalam waktu yang tak bergerak. Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah persimpangan yang tak terduga, sebuah pintu besar yang terbuka di hadapan mereka, mengarah ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan cahaya emas.
Di atas pintu itu, tertulis sebuah kalimat dalam bahasa yang tak mereka kenal, namun keduanya merasakannya seperti sebuah peringatan. Istrinya terdiam sejenak, merenung. “Syeikh, kita harus masuk ke sana? Apa yang ada di dalam itu?”
Syeikh melihat pintu itu dengan hati-hati. “Kita tidak bisa tahu apa yang ada di dalamnya tanpa masuk, namun kita harus berhati-hati. Pintu ini bisa jadi adalah ujian yang lebih besar lagi. Jangan biarkan kilauan cahaya itu membutakanmu.”
Namun, tanpa sadar, istri Syeikh melangkah mendekati pintu itu. Pintu terbuka perlahan, menyambutnya dengan cahaya yang semakin terang. Ketika mereka melangkah masuk, mereka disambut dengan pemandangan yang mengejutkan—sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan harta yang berlimpah: dinar emas, perhiasan, dan benda-benda mewah yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Syeikh terdiam, terpesona oleh apa yang ada di hadapannya. Namun, hatinya tetap tenang. Ia tahu bahwa ini adalah ujian besar yang lebih dari sekadar harta benda. “Jangan jatuh dalam perangkap ini, istriku,” kata Syeikh dengan suara tegas, meskipun sedikit gemetar. “Semua ini adalah tipuan dunia.”
Istrinya, di sisi lain, tampak semakin terpikat oleh pemandangan itu. Ia melangkah lebih dekat, tangan terulur, seolah ingin merasakan kekayaan yang terhampar di hadapannya. “Syeikh, kita bisa memiliki semuanya. Semua ini bisa kita bawa kembali, kita bisa hidup dalam kenyamanan yang tak pernah kita rasakan sebelumnya,” ujarnya dengan suara yang hampir penuh hasrat.
“Sungguh, dunia ini penuh dengan tipuan,” jawab Syeikh dengan kesedihan. “Apa yang kita miliki sekarang lebih berharga daripada semua harta ini. Kita memiliki satu sama lain, dan kita memiliki iman. Itu sudah cukup.”
Namun, istri Syeikh terus melangkah, seakan tak mendengar kata-kata suaminya. Ia merasa seolah-olah setiap benda mewah di ruangan itu memanggilnya, menariknya lebih dalam ke dalam jerat duniawi yang tak bisa ia lepaskan. Semakin ia mendekat, semakin ia merasa terpesona, dan semakin jauh ia terpisah dari dunia yang penuh dengan ketenangan dan kesederhanaan yang telah dipilih suaminya.
Tiba-tiba, dari kegelapan di sudut ruangan, suara yang familiar kembali terdengar, namun kali ini lebih tegas dan memerintah. “Ambillah semua ini, dan kalian akan menikmati kehidupan yang tak pernah kalian bayangkan sebelumnya. Harta ini adalah jalan keluar dari segala kesulitan kalian. Jangan biarkan kebodohan menghalangi kebahagiaanmu.”
Istrinya kini berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh harta yang berkilauan. Namun, di balik kilauan itu, ia merasakan sesuatu yang aneh—semakin ia mendekat pada harta, semakin terasa ada yang menghisap energi dari dalam dirinya, seperti sebuah kutukan yang perlahan mulai menyelimuti hatinya.
Syeikh, yang berdiri di luar ruangan, merasakan keanehan itu. Ia tahu bahwa ini bukanlah ujian yang mudah, dan ia harus segera mengingatkan istrinya sebelum terlambat. Tanpa ragu, ia melangkah masuk, mendekati istrinya yang kini terperangkap dalam godaan duniawi.
“Istriku, dengarkan aku,” seru Syeikh dengan suara penuh tekad. “Semua ini adalah tipu daya. Harta ini tidak akan pernah memberi kita kebahagiaan sejati. Kita harus memilih jalan yang benar, jalan yang akan membawa kita kepada kedamaian.”
Namun, tiba-tiba, suara itu terdengar lagi, lebih keras dari sebelumnya. “Kalian bisa memiliki semua ini. Apa lagi yang kalian inginkan? Jangan biarkan kebodohan kalian merusak hidup yang indah ini.”
Syeikh memandang istrinya dengan tatapan penuh kasih. “Jangan tertipu, istriku. Kita lebih dari sekadar harta. Kita memiliki iman, dan itu lebih berharga daripada segala sesuatu yang ada di dunia ini.”
Istrinya, yang telah terperangkap dalam godaan, akhirnya mulai merasakan ketegangan dalam hatinya. Ia melihat wajah Syeikh yang penuh kasih, dan perlahan-lahan, kesadarannya kembali. “Syeikh… aku… aku hampir terjatuh dalam perangkap ini,” katanya dengan suara yang gemetar.
Syeikh tersenyum, mengulurkan tangan untuk menarik istrinya keluar dari ruangan itu. “Jangan khawatir, istriku. Kita masih bisa keluar dari sini, selama kita memilih jalan yang benar.”
Namun, saat mereka hendak melangkah pergi, pintu di belakang mereka tiba-tiba tertutup dengan keras, seolah-olah dunia itu menahan mereka. Mereka terperangkap dalam ruang yang penuh dengan harta, dan suara itu kembali bergema, lebih kuat dari sebelumnya.
“Apakah kalian sudah siap untuk memilih? Semua yang ada di sini adalah milik kalian. Tapi ingat, jika kalian memilih, tak ada jalan kembali.”
(Bersambung ke Seri 18 – Pilihannya Terlambat)