Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (2)

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id. dan Wakil Pemimpin Redaksi Majalah FORUM KEADILAN.

Timba Pertama

Oleh: Sugiyati

ANGIN malam berembus lirih, membawa suara gemericik air Zamzam yang tenang. Lentera kecil di tangan Syeikh Ibnu Hajar berayun pelan, menciptakan bayangan panjang yang menari di permukaan sumur. Di hadapan istrinya, timba yang baru saja ditarik masih penuh dengan dinar emas yang berkilauan di bawah cahaya temaram.

Mata sang istri masih terpaku pada keajaiban itu. Tangannya bergetar saat menggenggam salah satu keping dinar, merasakan dinginnya logam yang begitu nyata. Pikirannya berputar cepat, membayangkan kehidupan baru yang mungkin bisa ia jalani.

“Suamiku…” suaranya lirih, nyaris berbisik. “Apa ini sungguh nyata?”

Syeikh Ibnu Hajar hanya tersenyum tipis. “Air Zamzam adalah berkah. Apa pun yang seseorang cari di dalamnya, jika hatinya sungguh-sungguh, ia akan menemukannya.”

Istrinya menelan ludah, lalu menatap suaminya dengan sorot penuh harap. “Kalau begitu… ambillah lebih banyak lagi.”

Syeikh tetap diam. Ia tidak bergerak untuk menurunkan timba lagi.

Istrinya mulai resah. Ia melangkah lebih dekat, meraih tangan suaminya dengan gelisah. “Mengapa kau berhenti? Kita bisa hidup berkecukupan, suamiku. Kita bisa meninggalkan kehidupan sulit ini!”

Syeikh Ibnu Hajar menatap istrinya lama, seolah menimbang sesuatu yang lebih berat dari sekadar timba berisi emas.

“Kau ingin lebih banyak dinar?” tanyanya dengan suara datar.

“Ya! Tentu saja!” seru istrinya dengan mata berbinar.

Syeikh menghela napas panjang. Tanpa berkata-kata lagi, ia menurunkan timba ke dalam sumur sekali lagi. Sang istri menahan napas, menanti dengan penuh harap. Saat timba itu kembali ke permukaan, kilauan emas kembali menyambut mereka.

Sekali lagi, dinar memenuhi timba.

Istri Syeikh menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dengan gemetar, ia meraih beberapa keping dinar, merasakan bobotnya di telapak tangan.

Namun, sesuatu di dalam dirinya menuntut lebih.

“Timba ini kecil,” ujarnya cepat. “Gunakan timba yang lebih besar!”

Syeikh Ibnu Hajar tetap diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia melangkah ke arah sumur, mengganti timba kecil dengan timba yang lebih besar, lalu menurunkannya ke dalam air. Kali ini, suara air yang terpecah terdengar lebih nyaring.

Beberapa saat kemudian, Syeikh menarik tali itu kembali. Sang istri hampir tidak bisa menahan dirinya untuk melihat apa yang ada di dalamnya.

Dan benar saja—dinar yang lebih banyak lagi!

Ia terkesiap. Kedua tangannya mencengkeram erat jubah suaminya.

“Kita kaya… kita kaya!” serunya penuh suka cita.

Namun, Syeikh tidak menunjukkan ekspresi yang sama. Ia tetap menatap dinar-dinar itu dengan sorot mata yang sulit ditebak.

“Apakah ini cukup bagimu?” tanyanya pelan.

Istrinya menoleh, masih dalam euforia. “Tidak! Lebih banyak lagi!”

Syeikh terdiam, lalu mengangguk perlahan. Untuk ketiga kalinya, ia menurunkan timba, kali ini dengan ukuran yang lebih besar lagi. Air sumur Zamzam berkecipak lebih keras saat timba itu terendam sepenuhnya.

Saat timba itu ditarik kembali, sang istri nyaris menjerit kegirangan. Kilauan emasnya jauh lebih banyak dari sebelumnya. Ia meraih beberapa keping, merasakan dinginnya emas di kulitnya.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi.

Kilauan emas itu perlahan berubah warna. Awalnya samar, tetapi semakin lama, berubah menjadi kehitaman. Keping-keping dinar itu bergetar aneh di tangannya, seolah hidup.

Lalu, satu per satu, keping dinar itu mulai meleleh seperti lilin, mengalir di sela-sela jemarinya menjadi cairan pekat yang berbau aneh.

Sang istri menjerit dan melempar keping-keping itu ke tanah. “Apa yang terjadi?!”

Syeikh Ibnu Hajar tetap diam. Ia menatap sang istri dengan sorot mata yang berbeda dari sebelumnya—penuh iba, tetapi juga penuh ketegasan.

“Kau telah meminta lebih dari yang seharusnya,” katanya pelan.

Istrinya menatap suaminya dengan napas tersengal. “Tapi… tapi kau bilang kita bisa mendapatkannya!”

Syeikh menatap ke dalam sumur yang kini tampak lebih dalam dan gelap dari sebelumnya. “Allah menguji kita dengan apa yang kita minta. Jika kita meminta dengan hati yang bersih, maka berkah akan datang. Tapi jika kita meminta karena keserakahan…”

Ia menoleh ke arah dinar yang kini berubah menjadi cairan hitam pekat di tanah. “Maka itulah yang akan kita dapatkan.”

Istrinya terhuyung ke belakang, hatinya bergetar hebat. Tiba-tiba, kepingan dinar yang masih tersisa di dalam timba ikut berubah warna, satu per satu meleleh dan jatuh kembali ke dalam sumur.

Dalam sekejap, emas itu hilang.

Yang tersisa hanyalah air Zamzam yang kembali tenang, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Sang istri menatap sumur itu dengan tatapan kosong. Sejenak, ia merasa seperti baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Tapi dalam hatinya yang terdalam, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kehilangan harta.

Ia menatap suaminya dengan sorot mata penuh pertanyaan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Syeikh tersenyum tipis. “Belajarlah untuk merasa cukup.”

Malam kembali sunyi. Angin berembus pelan, seakan membawa pesan yang baru saja terucap ke seluruh penjuru Mekah.

Sang istri terdiam lama. Perlahan, ia menatap sumur Zamzam sekali lagi. Namun kali ini, bukan dengan pandangan yang penuh keserakahan, melainkan dengan pemahaman yang baru.

(Bersambung ke Seri 3 – Hikmah yang Terlambat)

​OJK Mencabut Izin Jiwasraya, Nasabah Minta Prabowo Turun Tangan

JAKARTAMU.COM | Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Nomor KEP-9/D.05/2025 tanggal 16 Januari...

More Articles Like This