Hikmah yang Terlambat
Oleh: Sugiyati
LANGIT Mekah masih diselimuti malam saat mereka berjalan pulang dari sumur Zamzam. Sang istri melangkah pelan, pikirannya berkecamuk. Kilauan dinar yang tadi memenuhi timba masih terbayang di benaknya, tetapi kini bercampur dengan gambaran mengerikan saat emas itu meleleh dan menghilang.
Ia menggigit bibirnya, matanya melirik suaminya yang berjalan di sisinya dengan tenang.
“Kau menyesal?” tanya Syeikh Ibnu Hajar tanpa menoleh.
Istrinya terdiam. Ia tidak ingin mengakui jawabannya.
Sejenak, yang terdengar hanya suara langkah mereka di jalanan tanah Mekah.
Akhirnya, dengan suara pelan, sang istri berkata, “Aku hanya… tidak mengerti.”
Syeikh berhenti melangkah. Ia menatap istrinya dengan tatapan lembut, tetapi tegas. “Apa yang tidak kau mengerti?”
Sang istri menggigit bibirnya lebih keras. “Mengapa aku tidak boleh meminta lebih? Bukankah Allah Maha Pemurah? Jika kita bisa hidup berkecukupan, mengapa harus memilih kemiskinan?”
Syeikh tersenyum tipis. “Apa kau benar-benar percaya bahwa kita miskin?”
Istrinya terdiam.
“Ketika aku menikahimu,” lanjut Syeikh, “kita memiliki rumah untuk berteduh, makanan untuk dimakan, dan pakaian untuk dikenakan. Tidakkah itu cukup?”
“Tapi…” Sang istri menundukkan kepala. “Aku ingin lebih.”
Syeikh menatap istrinya dengan penuh iba. “Lebih untuk apa?”
Ia tidak bisa menjawab.
Syeikh menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya. Istrinya mengikuti, tetapi hatinya masih gelisah.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di rumah. Sang istri langsung masuk dan duduk di sudut ruangan, sementara Syeikh mengambil tempat di tikar lusuh yang biasa digunakannya untuk beribadah.
Hening.
Sang istri akhirnya memberanikan diri bertanya, “Apakah kau marah padaku?”
Syeikh menggeleng pelan. “Tidak. Tapi aku ingin kau memahami sesuatu.”
Ia meraih secarik kertas dan menuliskan sesuatu di atasnya, lalu menyerahkannya kepada istrinya.
Sang istri membaca tulisan itu dengan dahi berkerut.
“Dunia adalah sangkar emas yang membunuh sayap.”
Ia menatap suaminya dengan bingung. “Apa maksudnya?”
Syeikh tersenyum. “Kau tahu burung di dalam sangkar?”
Istrinya mengangguk.
“Sangkar emas akan membuatnya nyaman, memberinya makanan tanpa perlu terbang, tetapi juga membuatnya lupa bagaimana caranya bebas.”
Sang istri menatap dalam-dalam mata suaminya. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang membuat hatinya bergetar.
Namun sebelum ia sempat menjawab, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu.
Syeikh segera bangkit dan membukanya. Seorang lelaki tua berdiri di depan, wajahnya penuh kecemasan.
“Syeikh,” katanya dengan suara bergetar. “Ada sesuatu yang aneh terjadi di sumur Zamzam.”
Sang istri menegang.
“Apa yang terjadi?” tanya Syeikh.
Lelaki tua itu menelan ludah. “Sumurnya… kering.”
Ruangan seketika terasa lebih sunyi.
Sang istri membeku. Ia menatap suaminya dengan mata membesar.
“Mustahil,” gumamnya. “Sumur Zamzam tidak pernah kering.”
Syeikh tidak menjawab. Dengan langkah mantap, ia keluar rumah, diikuti oleh istrinya dan lelaki tua itu.
Ketika mereka tiba di sumur, banyak orang sudah berkumpul di sekitarnya. Wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan dan ketakutan.
Seorang penjaga sumur mendekati Syeikh dengan tergesa-gesa. “Syeikh, kami tidak tahu apa yang terjadi. Tadi malam, air masih ada. Tapi sekarang…”
Ia menunjuk ke dalam sumur.
Syeikh melangkah mendekat dan menatap ke bawah.
Kosong.
Sang istri ikut melihat, dan hatinya mencelos. Sumur yang seharusnya penuh dengan air kini hanya menyisakan dasar batuan yang kering dan pecah-pecah.
Orang-orang mulai berbisik-bisik.
“Ini pertanda buruk…”
“Mungkinkah ada yang telah membuat murka Allah?”
Sang istri merasakan tubuhnya melemah. Ia memegangi pinggiran sumur untuk menopang dirinya.
Matanya mulai memanas.
“Ini… salahku,” bisiknya lirih.
Ia teringat bagaimana ia memohon lebih banyak dinar, bagaimana ia menolak untuk merasa cukup. Apakah ini akibat dari keserakahannya?
Namun sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, Syeikh Ibnu Hajar berkata, “Kita tidak boleh langsung mengambil kesimpulan. Kita harus berdoa dan meminta petunjuk.”
Ia menoleh ke arah orang-orang yang berkumpul. “Mari kita semua berdoa bersama.”
Orang-orang mengangguk dan segera mengangkat tangan mereka, memohon kepada Allah agar air Zamzam kembali.
Sang istri ikut mengangkat tangannya, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa bersalah.
Saat semua orang berdoa, angin berembus pelan. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya.
Dan tiba-tiba… terdengar suara tetesan air.
Perlahan, semua orang membuka mata dan menatap ke dalam sumur.
Sang istri menahan napas.
Tetesan air mulai bermunculan dari celah-celah batuan di dasar sumur.
Lalu, semakin banyak.
Dan semakin banyak lagi.
Beberapa saat kemudian, air kembali mengisi sumur, berkilauan di bawah cahaya bulan.
Sorak sorai langsung terdengar.
“Alhamdulillah!”
“Airnya kembali!”
Namun, di tengah kegembiraan itu, Syeikh menatap dalam-dalam ke arah sumur, lalu beralih ke istrinya.
Tatapan itu tidak marah, tetapi penuh makna.
Sang istri menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa air Zamzam kembali bukan karena dirinya. Itu adalah kemurahan Allah.
Tetapi dalam hatinya, ia sadar bahwa ia telah melewati batas.
Ia menatap sumur itu sekali lagi, kali ini dengan perasaan yang berbeda.
Bukan ketamakan.
Bukan keinginan untuk memiliki lebih.
Tetapi dengan rasa syukur.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mulai memahami makna dari kata-kata suaminya.
“Dunia adalah sangkar emas yang membunuh sayap.”
Bersambung ke Seri 4 – Dinar yang Hilang