Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (4)

Must Read

Dinar yang Hilang

Oleh: Sugiyati

FAJAR baru saja menyingsing ketika mereka kembali ke rumah. Istri Syeikh Ibnu Hajar masih diliputi perasaan bersalah. Kilauan air Zamzam yang kembali memenuhi sumur semalam seolah menjadi teguran baginya.

Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya—sesuatu yang tak bisa ia abaikan.

Dinar itu.

Satu keping dinar yang ia simpan diam-diam di sela lipatan kainnya.

Ia tidak pernah mengembalikannya.

Ketika mereka tiba di rumah, Syeikh langsung menuju tikarnya dan bersiap untuk beribadah. Sementara itu, sang istri berjalan ke sudut ruangan, meraba lipatan kain tempat ia menyembunyikan dinar itu.

Tapi…

Kosong.

Ia menahan napas.

Matanya membelalak, jari-jarinya meraba lebih dalam, membolak-balik lipatan kain, mencari di antara lipatan-lipatan baju lainnya.

Dinar itu tidak ada.

Jantungnya berdegup kencang.

Apakah mungkin Syeikh menemukannya?

Ia menoleh ke arah suaminya. Syeikh masih dalam sujud panjangnya, wajahnya tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Tidak. Jika Syeikh tahu, ia pasti sudah menegurnya.

Jadi… siapa yang mengambilnya?

Ia menelan ludah.

Di luar, suara pasar mulai ramai. Penjual buah memanggil pelanggan, suara derap kaki unta terdengar di kejauhan. Tetapi semua itu terasa sayup di telinganya.

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu.

DUP! DUP!

Syeikh menyelesaikan shalatnya, lalu beranjak membuka pintu.

Seorang pria berusia paruh baya berdiri di ambang pintu, wajahnya terlihat gelisah.

“Syeikh,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Aku… aku butuh bantuanmu.”

Syeikh tersenyum lembut. “Silakan masuk.”

Pria itu melangkah masuk, tangannya meremas kain jubahnya sendiri. Sang istri memperhatikan gerak-geriknya dengan curiga.

“Ada apa?” tanya Syeikh dengan tenang.

Pria itu menunduk. “Tadi malam… seseorang meninggalkan sesuatu di depan rumahku.”

Ia mengulurkan tangannya.

Dan di sana, di atas telapak tangannya, berkilauan keping dinar emas.

Sang istri membeku.

Dinar itu…

Dinar yang ia sembunyikan!

Ia nyaris tak bisa bernapas.

Syeikh menatap pria itu dengan tatapan penuh tanya. “Siapa yang meninggalkannya?”

Pria itu menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi pagi ini, aku menemukannya di ambang pintu, terbungkus kain.”

Sang istri menelan ludah.

Apakah mungkin seseorang mengetahui perbuatannya?

Ataukah ini… pertanda dari Allah?

Syeikh menatap dinar itu beberapa saat, lalu berkata, “Mungkin ini ujian bagimu.”

Pria itu terkejut. “Ujian?”

Syeikh mengangguk. “Dinar ini bisa menjadi berkah atau musibah, tergantung bagaimana kau menyikapinya.”

Pria itu menggeleng cepat. “Aku tidak bisa menerimanya, Syeikh. Aku takut.”

Syeikh tersenyum. “Kalau begitu, serahkan kembali kepada yang berhak.”

Pria itu mengangguk, lalu dengan tergesa-gesa meletakkan dinar itu di hadapan Syeikh dan pergi.

Ketika pintu tertutup, sang istri masih terpaku di tempatnya.

Dinar itu kini ada di hadapan mereka.

Dan Syeikh hanya menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Syeikh tiba-tiba.

Sang istri tersentak. “Aku… aku tidak tahu.”

Syeikh mengambil dinar itu, menggulirkan kepingan emas itu di antara jari-jarinya. Cahaya pagi yang masuk melalui celah jendela membuatnya berkilauan.

Lalu, dengan suara lembut, Syeikh berkata, “Kau tahu? Setiap keping dinar memiliki sejarahnya sendiri.”

Sang istri menatap suaminya dengan bingung.

Syeikh melanjutkan, “Ada dinar yang datang dari hasil kerja keras, ada yang datang dari keberkahan, dan ada yang datang sebagai ujian.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Dan ada dinar yang datang untuk menguji kesetiaan hati.”

Sang istri merasa dadanya sesak. Kata-kata itu terasa begitu menusuk.

Apakah suaminya tahu?

Ataukah ini hanya kebetulan?

Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya tercekat.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki kecil di luar rumah.

Seseorang berlari.

Syeikh berdiri dan membuka pintu.

Seorang anak perempuan berdiri di sana, napasnya tersengal. Pakaiannya lusuh, wajahnya pucat.

“Ada apa, anakku?” tanya Syeikh dengan lembut.

Anak itu menatap Syeikh dengan mata berkaca-kaca. “Aku… aku melihat seseorang mengambil sesuatu dari sumur Zamzam tadi malam.”

Sang istri merasa darahnya berhenti mengalir.

Jantungnya berdegup kencang.

Syeikh berlutut, menatap anak itu dengan lembut. “Siapa yang kau lihat?”

Anak itu menggigit bibirnya. “Aku tidak tahu… Tapi dia berjalan dengan tergesa-gesa… dan meninggalkan sesuatu di depan rumah orang tua tadi.”

Sang istri merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya.

Syeikh mengangguk pelan. “Terima kasih sudah memberitahuku, anakku.”

Anak itu mengangguk, lalu berlari pergi.

Syeikh menutup pintu perlahan, lalu menoleh ke arah istrinya.

Tatapannya lembut, tetapi ada sesuatu yang lain di dalamnya—sesuatu yang membuat sang istri merasa semakin kecil.

Dalam keheningan itu, suara keping dinar yang ia letakkan di atas meja terasa begitu nyaring.

Sang istri menggigit bibirnya.

Ia ingin mengatakan sesuatu.

Ia ingin mengakui segalanya.

Tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.

Dan sebelum ia sempat berbicara, Syeikh berkata dengan suara lembut,

“Allah tidak butuh pengakuan kita. Dia sudah tahu segalanya.”

Sang istri meremas jemarinya.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa kesalahannya bukan sekadar pada suaminya.

Tetapi pada dirinya sendiri.

Bersambung ke Seri 5Tamu Malam

Kisah Sr. Colleta: Biarawati Katolik Lulus PPG di UMS, Merajut Harmoni dalam Dunia Pendidikan

JAKARTAMU.COM | Kisah Sr. M. Colleta AK, S.Pd., Gr., seorang biarawati Katolik yang berhasil menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG)...

More Articles Like This