Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (7)

Must Read

Pengakuan

Oleh: Sugiyati

Dunia terasa sepi saat Syeikh Ibnu Hajar duduk di ruang tamu, wajahnya yang teduh seakan menyimpan segudang pertanyaan yang tak terucapkan. Istrinya berdiri di depan pintu, perasaan bersalahnya seperti bara api yang terus membakar hatinya. Setelah semua yang terjadi, hanya ada satu hal yang tak bisa ia sembunyikan lebih lama: kebenaran yang menyakitkan.

Malam itu, hujan turun dengan lebat, seperti alam yang merasakan kepedihan yang tak terucapkan. Istrinya akhirnya maju mendekat, mengambil posisi di depan suaminya, bertekad untuk mengungkapkan semuanya.

“Aku harus mengatakannya, Syeikh,” suara istrinya terdengar gemetar. “Aku… aku menyimpan satu dinar.”

Syeikh Ibnu Hajar menatapnya dengan intens. Tatapan itu bukanlah tatapan marah, melainkan tatapan yang penuh dengan pengertian.

“Kenapa?” tanyanya lembut, meskipun ada kesedihan yang tersirat dalam kata-katanya.

Istri Syeikh menunduk, air mata perlahan mengalir. “Aku… Aku tak tahu mengapa aku melakukannya. Semua godaan itu datang begitu saja. Dinar itu datang begitu mudahnya. Aku berpikir, mungkin jika aku memilikinya, hidup kita akan berbeda. Aku bisa memberikan yang terbaik untukmu, untuk kita.”

Syeikh menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya. “Istriku, dunia ini memang penuh dengan godaan. Tetapi yang lebih penting adalah apa yang kita pilih untuk lakukan dalam menghadapi godaan itu.”

Istri Syeikh mengangguk, namun hatinya masih terperangkap dalam kebingungannya. “Aku tahu itu, Syeikh. Aku tahu. Tapi kenapa, setiap kali aku melihat kemewahan, aku merasa tak bisa menahannya. Rasanya, ada sesuatu yang hilang dalam hidupku, dan aku berpikir… mungkin dinar itu bisa mengisinya.”

Syeikh memandangnya dengan mata penuh kebijaksanaan. “Kemewahan dunia ini hanyalah bayangan, istriku. Ada lebih banyak hal yang lebih berharga daripada itu, dan yang terpenting adalah hati kita.”

Istri Syeikh merasakan betapa dalam kata-kata suaminya, tetapi ia masih terperangkap dalam kesesatan dirinya. “Aku takut, Syeikh. Takut jika aku kehilanganmu, jika aku kehilangan segalanya.”

Syeikh tersenyum lembut. “Jika kau takut kehilangan, maka kau harus siap untuk melepaskan, istriku. Aku tahu dunia ini sulit. Tetapi jika kita terus berpegang pada yang fana, kita akan kehilangan yang abadi.”

Ia memandang istrinya dengan lembut, lalu berkata dengan penuh kebijaksanaan, “Aku tidak akan meninggalkanmu, tetapi kita harus belajar untuk melepaskan dunia yang kita kejar. Aku ingin kita berjalan bersama menuju jalan yang lebih mulia.”

Istri Syeikh merasa hatinya semakin berat. “Aku… Aku ingin memperbaikinya, Syeikh. Aku ingin kembali kepada jalan yang benar.”

Syeikh mengangkat tangan, menyentuh bahunya. “Tidak ada yang sempurna, istriku. Tetapi kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk bertobat.”

Namun, meskipun Syeikh berbicara dengan penuh kasih, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati sang istri. Ia tahu, meskipun Syeikh telah memaafkannya, ada hal yang jauh lebih besar yang sedang menunggu mereka di depan.

Sekonyong-konyong, pintu kamar terbuka. Seorang santri muda masuk, wajahnya tampak tergesa-gesa.

“Syeikh,” katanya dengan suara cemas, “ada sesuatu yang perlu Anda ketahui.”

Syeikh menatapnya dengan serius. “Apa itu, anak muda?”

Santri itu mendekat, lalu dengan suara yang hampir berbisik, ia berkata, “Saya menemukan sesuatu yang mengerikan, Syeikh. Ada seseorang yang mencoba menyusup ke dalam pesantren, mengincar Zamzam dan dinar.”

Syeikh menatap santri itu dengan tajam, lalu mengalihkan pandangannya kepada istrinya. “Apakah ini terkait dengan surat itu?” tanyanya, suaranya semakin dalam.

Istri Syeikh mengangguk perlahan, hati semakin cemas. “Aku merasa… ada sesuatu yang lebih besar dari ini. Sepertinya ada yang mencoba memanipulasi kami.”

Syeikh berdiri dan berjalan ke luar ruangan, suaranya penuh dengan ketegasan. “Kita akan mencari tahu siapa di balik semua ini. Tidak ada yang akan mengganggu kedamaian kita.”

Istri Syeikh tetap duduk di tempatnya, merenung. Ia tahu, keputusan yang baru saja diambilnya akan membawa mereka ke dalam ujian yang lebih berat.

Namun, di dalam hatinya, ada sedikit cahaya harapan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi terjebak dalam dunia yang fana. Ia akan berjuang bersama suaminya, menghadapinya, dan menemukan jalan keluar yang benar.

Tetapi, apakah mereka benar-benar siap menghadapi bahaya yang mengintai di balik bayang-bayang Zamzam dan dinar?

(Bersambung ke Seri 8 – Pencuri Dinar)

Kisah Sr. Colleta: Biarawati Katolik Lulus PPG di UMS, Merajut Harmoni dalam Dunia Pendidikan

JAKARTAMU.COM | Kisah Sr. M. Colleta AK, S.Pd., Gr., seorang biarawati Katolik yang berhasil menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG)...

More Articles Like This