Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Istri Syeikh Ibnu Hajar: Antara Zamzam dan Dinar (8)

Must Read

Pencuri Dinar

Oleh: Sugiyati

Suasana malam itu tampak begitu mencekam. Syeikh Ibnu Hajar berjalan perlahan melewati lorong pesantren, cahaya lampu minyak berkelap-kelip di sepanjang jalan, namun ada sesuatu yang tak biasa di udara malam ini. Suara langkah kaki yang cepat dan cemas terdengar di belakangnya, santri muda yang tadi datang membawa berita buruk kini melangkah tergesa-gesa mengikuti jejak Syeikh.

“Syeikh, kami menemukannya,” kata santri itu, napasnya terengah-engah. “Dinar itu… dinar yang hilang, ditemukan di kamar salah satu santri perempuan.”

Syeikh berhenti sejenak dan menatap santri tersebut dengan tajam. “Santri perempuan?” katanya, suaranya tenang tapi mengandung ketegasan yang mendalam.

“Ya, Syeikh,” jawab santri itu dengan terbata-bata. “Santri itu adalah salah satu yang paling terpercaya. Namun, dinar itu… kami tidak tahu bagaimana ia bisa berada di sana.”

Syeikh melangkah lebih cepat, menyusuri jalan yang membawa mereka ke kamar santri perempuan itu. Hatinya diliputi rasa curiga yang mendalam. Ada banyak hal yang belum ia pahami, dan semakin dalam ia menyelidikinya, semakin banyak tanda tanya yang muncul.

Setibanya di depan pintu kamar santri tersebut, Syeikh berhenti sejenak. Ia memberi isyarat kepada santri muda untuk membuka pintu. Dengan hati-hati, santri itu membuka pintu kamar yang gelap. Di dalamnya, terlihat santri perempuan tersebut sedang duduk di atas sajadah, tangannya gemetar saat ia melihat Syeikh memasuki ruangan.

“Syeikh,” suara santri itu terdengar lemah, “apa yang Anda cari di sini?”

Syeikh menatapnya dengan serius, “Apa yang kau sembunyikan, wahai anak muda?”

Santri itu terdiam, wajahnya pucat pasi, seakan terperangkap dalam sebuah kebohongan yang begitu besar. “Syeikh, saya tidak tahu apa-apa. Saya hanya… saya hanya… tidak tahu bagaimana itu bisa ada di kamar saya.”

Namun, Syeikh tidak gentar. Ia mendekat dengan perlahan, matanya tetap tajam menatap santri itu. “Kita semua tahu bahwa dinar itu adalah milik kita, milik kami, dan tidak ada yang berhak mengambilnya. Kecuali dengan izin dari kami.”

Santri perempuan itu menggigit bibirnya, matanya berkilat-kilat, dan dengan penuh keyakinan, ia berkata, “Saya tidak pernah mengambilnya, Syeikh. Tetapi… saya diberi perintah.”

Syeikh terkejut. “Perintah? Siapa yang memberimu perintah ini?”

Santri itu menundukkan kepalanya, dan dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, “Istri Ar-Ramli… Dia yang menyuruh saya mengambil dinar itu.”

Syeikh mengernyitkan dahi. “Istri Ar-Ramli?”

Santri itu mengangguk, dan matanya berkaca-kaca. “Saya tidak tahu mengapa dia meminta itu, tetapi dia berkata jika saya tidak melakukannya, saya akan dihukum.”

Syeikh menghela napas panjang. Rasa kecewa melanda dirinya, tetapi ia tahu, di balik peristiwa ini, ada suatu rencana besar yang sedang berputar. “Apa yang terjadi, wahai anak muda?”

Santri itu terdiam beberapa saat, lalu berbicara lagi dengan suara yang lebih tegas. “Dia memberi saya surat, Syeikh. Surat itu mengatakan bahwa dinar itu adalah milik Istri Ar-Ramli dan harus dikembalikan. Saya tidak tahu harus berbuat apa.”

Syeikh menatap santri itu dengan penuh pengertian. “Kau telah melakukan kesalahan, tetapi kau mengungkapkan kebenaran. Aku tidak akan menghukummu, tetapi kau harus memilih jalan yang benar dari sini.”

Santri itu menundukkan kepala, merasa bersalah, namun juga merasa lega karena akhirnya kebenaran terungkap.

Di luar kamar, istrinya yang sedari tadi menunggu, melihat Syeikh keluar dengan langkah berat. Syeikh mendekatinya dan berkata, “Ada persekongkolan di balik semua ini. Istri Ar-Ramli menggerakkan banyak orang untuk mencapai tujuannya.”

Istri Syeikh menggigit bibirnya, wajahnya tampak penuh kecemasan. “Jadi, dia memang berniat menguasai dinar itu? Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Syeikh memandangnya dengan serius. “Kita harus lebih hati-hati. Ini bukan hanya tentang dinar atau harta. Ada kekuatan yang lebih besar yang sedang menggerakkan mereka.”

Mereka berdua berjalan perlahan, merenung dalam diam. Tidak ada yang bisa dipastikan, namun satu hal yang jelas: perang yang lebih besar sedang dimulai. Dan di dalamnya, bukan hanya dinar yang dipertaruhkan, tetapi juga nasib mereka.

Syeikh berhenti sejenak, menoleh ke arah istrinya dengan pandangan yang penuh kebijaksanaan. “Ingatlah, istriku. Dunia ini hanyalah bayangan. Tetapi apa yang kita pilih untuk lakukan dengan bayangan itu, akan menentukan nasib kita selamanya.”

Namun, di balik kata-kata itu, ada ancaman yang lebih besar. Dan satu pertanyaan yang terus mengganggu: siapa sebenarnya yang mengendalikan permainan ini?

(Bersambung ke Seri 9 – Persekongkolan)

Kisah Sr. Colleta: Biarawati Katolik Lulus PPG di UMS, Merajut Harmoni dalam Dunia Pendidikan

JAKARTAMU.COM | Kisah Sr. M. Colleta AK, S.Pd., Gr., seorang biarawati Katolik yang berhasil menyelesaikan Pendidikan Profesi Guru (PPG)...

More Articles Like This