Persekongkolan
Oleh: Sugiyati
Syeikh Ibnu Hajar berdiri di hadapan istrinya, perasaan kecuriganya semakin dalam, seperti bayangan yang menutupi matahari terbenam. Ketika matahari mulai redup di ufuk barat, ia merasakan bahwa gelap yang menyelubungi hidup mereka lebih dari sekadar kegelapan malam. Ini adalah kegelapan yang berasal dari pengkhianatan, tipu daya, dan persekongkolan yang telah terjalin tanpa ia sadari.
“Istri Ar-Ramli… dia bukan hanya sekadar musuh,” Syeikh berkata dengan suara berat, seolah ia sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Dia adalah bagian dari jaringan yang lebih besar, sebuah permainan yang lebih jahat.”
Istri Syeikh yang berdiri di sampingnya hanya diam, hatinya diliputi kebingungan dan ketakutan. Ketika Syeikh memandanginya dengan tatapan tajam, ia merasakan tekanan yang semakin mencekam.
“Tidak hanya Istri Ar-Ramli,” lanjut Syeikh, “Ada tangan-tangan lain yang bersembunyi di baliknya. Mereka ingin menguasai Zamzam dan segala kekuatan yang ada di sana.”
Syeikh kemudian mengingat kembali setiap langkah yang telah mereka lalui, setiap keputusan yang mereka buat. Mereka mulai terjebak dalam permainan besar yang melibatkan lebih dari sekadar dinar atau harta. Semua ini ternyata sudah direncanakan jauh-jauh hari.
“Syeikh, aku tidak tahu harus berbuat apa,” jawab istrinya dengan suara tertekan. “Aku terjebak dalam permainan yang lebih besar daripada yang aku bayangkan. Istri Ar-Ramli… dia memaksa aku untuk melakukan semuanya. Aku tidak bisa menolak.”
Syeikh menghela napas panjang. Ia bisa merasakan betapa dalamnya kebingungan yang melanda istrinya. Namun, ia juga tahu bahwa pengkhianatan ini bukanlah tanpa alasan. Ada sesuatu yang lebih besar yang harus dihadapi, sesuatu yang mungkin tidak dapat mereka hindari.
“Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang,” kata Syeikh dengan suara penuh tekad. “Kita harus menghadapinya. Tetapi aku harus tahu siapa yang sebenarnya ada di balik semua ini.”
Keputusan untuk mencari tahu lebih jauh membuat Syeikh semakin mantap. Ia tahu bahwa jawaban untuk semua ini tidak terletak pada dinar atau harta, tetapi pada tujuan yang lebih besar yang melibatkan kekuasaan, kepercayaan, dan mungkin juga pengorbanan.
Malam itu, ketika semua orang tertidur, Syeikh pergi sendiri ke tempat yang selama ini ia hindari: sumur Zamzam. Hatinya dipenuhi kegelisahan, namun ia tahu, hanya dengan menemui sumbernya, ia bisa mengungkap semua yang tersembunyi.
Sesampainya di sumur, Syeikh berdiri di tepiannya, menatap air yang tenang. Namun, di balik ketenangan itu, ia merasakan ada sesuatu yang berubah. Seperti ada kekuatan yang tersembunyi di dalamnya, sebuah kekuatan yang telah lama berdiam di sana, menunggu untuk dilepaskan.
Tiba-tiba, seorang bayangan muncul dari dalam kegelapan, mendekat dengan langkah ringan. Syeikh memutar tubuhnya, dan di hadapannya kini berdiri Istri Ar-Ramli.
“Siapa yang mengutusmu ke sini?” tanya Syeikh dengan suara penuh kewaspadaan.
Istri Ar-Ramli tersenyum dingin, matanya berkilat-kilat. “Aku tahu kau akan datang ke sini, Syeikh,” jawabnya, “Kau ingin tahu siapa yang berada di balik semua ini.”
Syeikh menatapnya dengan tajam. “Aku ingin tahu siapa yang benar-benar mengendalikan permainan ini,” jawabnya, suara tegas namun mengandung ancaman.
Istri Ar-Ramli terkekeh pelan, lalu dengan suara yang lebih rendah, ia berkata, “Kau tidak akan pernah tahu, Syeikh. Semua ini lebih besar dari yang bisa kau bayangkan.”
“Jadi, kau hanya boneka dalam permainan ini?” tanya Syeikh, matanya penuh kebencian.
Istri Ar-Ramli mengangkat bahunya, lalu berkata dengan suara yang penuh sindiran, “Aku hanya memainkan perananku, Syeikh. Sama seperti yang kau lakukan selama ini. Kita semua adalah bagian dari rencana yang lebih besar.”
Syeikh merasa tubuhnya bergetar. Ada sesuatu yang lebih gelap dari yang ia pikirkan, sesuatu yang tak bisa ia lihat dengan jelas. Ia tahu, kini ia berada di ujung jalan, dan di ujung jalan itu ada jawaban yang harus ia temui—meskipun mungkin jawabannya akan menghancurkan semuanya.
Tiba-tiba, Istri Ar-Ramli mengeluarkan sebuah gulungan surat dari balik bajunya. “Ini akan menjawab pertanyaanmu, Syeikh,” katanya, seraya melemparkan surat itu ke arah Syeikh.
Syeikh meraihnya dengan cepat, membukanya, dan membaca tulisan di dalamnya. Matanya membelalak, dan hatinya berdegup kencang. Surat itu berisi sebuah nama—nama yang tak pernah ia duga.
“Imam Al-Zahir,” Syeikh bergumam dengan suara bergetar.
Istri Ar-Ramli tersenyum lebar. “Akhirnya, kau mengerti, Syeikh. Semuanya kembali ke sana.”
Syeikh terdiam, seolah tubuhnya membeku. Ia tahu bahwa apa yang ia hadapi kini bukanlah sekadar pertempuran antara dirinya dan istri Ar-Ramli. Ini adalah pertempuran antara dua kekuatan besar—dan ia berada di tengahnya, tanpa bisa menghindar.
(Bersambung ke Seri 10 – Racun dan Karomah)