INSIDEN 12 pemain PSM Makassar saat melawan Barito Putera di Liga 1 Indonesia pada Minggu (22/12/2024) menyita perhatian pecinta sepak bola nasional. Peristiwa ini membuka diskusi mendalam tentang berbagai kelemahan mendasar dalam ekosistem sepak bola nasional.
Banyak pendapat yang sepakat bahwa masuknya pemain cadangan Ahmad Fahrul Aditia sebelum Syahrul Lasinari keluar lapangan di masa enjury time itu seharusnya tidak perlu terjadi. Perangkat pertandingan, termasuk wasit utama dan wasit cadangan, memiliki tanggung jawab untuk memastikan proses pergantian pemain berjalan sesuai regulasi.
Lagipula perangkat pertandingan dilengkapi perangkat komunikasi agar tidak ada kesalahan semacam itu. Kesalahan, terlebih di momen krusial seperti injury time, dampaknya bisa sangat besar, baik bagi hasil pertandingan maupun kredibilitas liga itu sendiri.
Ketika insiden terjadi, Barito sedang mendapatkan tendangan pojok, sebuah peluang yang berpotensi mengubah skor pertandingan. Keberadaan satu pemain tambahan PSM jelas tidak adil bagi Barito, sekalipun hanya berlangsung beberapa detik.
Tetapi fakta bahwa wasit tetap melanjutkan permainan selama 44 detik menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan dan koordinasi. Karena itu, langkah Barito melayangkan protes resmi kepada Komisi Disiplin (Komdis) PSSI sudah tepat, agar insiden semacam ini tidak boleh dianggap remeh.
Baca juga: Ambisi Arab Saudi Menjadi Super Power Sepak Bola: Si Pungguk Merindukan Bulan
Sanksi dan Denda
Tidak ada ada aturan yang secara khusus membahas masalah 12 pemain tim di lapangan, baik Regulasi Kompetisi Liga 1 2024/2025 maupun Manual Kompetisi 2024/2025 yang telah dirilis LIB. Tetapi Pasal 56 Kode Disiplin PSSI 2023 tentang Pemain Tidak Sah membahas pelanggaran dalam pergantian pemain.
Pada Ayat Satu butir empat (iv) disebutkan, ”Pemain pengganti yang dimainkan oleh suatu tim dengan melebihi ketentuan atau dengan melanggar ketentuan dengan jumlah pergantian pemain yang berlaku.”
Mengacu pasal ini, PSM Makassar berpotensi dikenai pemotongan poin dan denda minimal Rp90 juta. Bahkan, sesuai Pasal 28, mereka bisa dinyatakan kalah 0-3 karena menggunakan pemain yang dianggap tidak sah.
Sayangnya, regulasi ini tidak cukup kuat untuk mencegah insiden serupa di masa depan. Dibandingkan dengan liga-liga di negara maju, regulasi sepak bola Indonesia sering kali terasa reaktif, bukan preventif. Situasi seperti ini seharusnya menjadi alarm bagi PSSI untuk merevisi dan memperkuat regulasi kompetisi agar lebih jelas dan tegas.
Baca juga: Coaching Clinic Sepakbola LPO PP Muhammadiyah di UMP Disambut Antusias
Belajar dari Dunia
Insiden 12 pemain bukanlah hal baru dalam sepak bola di dunia. Pada 2022, Bayern Munchen sempat memainkan 12 pemain saat melawan Freiburg akibat kesalahan papan elektronik. Meski insiden itu hanya berlangsung 10 detik, Asosiasi Sepak Bola Jerman (DFB) tetap menyelidiki kasus ini secara transparan. Hasilnya, pengadilan olahraga memutuskan bahwa kesalahan terletak pada perangkat pertandingan, bukan klub.
Kasus serupa juga terjadi di China pada 2017, ketika wasit gagal menyadari masuknya pemain setelah perawatan medis. Protes resmi diajukan, dan Asosiasi Sepak Bola China mengambil tindakan tegas untuk memastikan insiden serupa tidak terulang.
Dari kedua kasus ini, ada pelajaran penting: transparansi dan akuntabilitas adalah kunci untuk menjaga integritas kompetisi. Indonesia harus belajar dari negara-negara ini, baik dalam hal pengelolaan insiden maupun perbaikan regulasi.
Insiden di Stadion Batakan, Balikpapan tersebut merupakan adalah refleksi dari berbagai masalah sistemik dalam sepak bola Indonesia. Regulasi yang tidak detail, kualitas perangkat pertandingan yang kurang memadai, dan manajemen klub yang cenderung mencari kambing hitam menunjukkan bahwa sepak bola Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk mencapai profesionalisme sejati. (*)