BERARTI, isu soal sandiwara konflik antara PDIP dengan Jokowi Widodo alias Jokowi telah gugur. Isu sandiwara itu bahkan sebelumnya mengemuka di antara beberapa orang penting di jajaran dewan pimpinan pusat Partai Banteng.
Tetapi pikiran mereka keliru. Ternyata ini bukan sepak bola gajah. Ini permainan serius. Gara-garanya Jokowi mau tiga periode, lalu mulai menggalang kekuatan untuk menggulung PDIP.
Partai Demokrat pun coba ”dibegal” melalui Moeldoko. Tetapi manuver pensiunan jenderal asal Kediri itu gagal.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dengan mudah berhasil ”dibeli”. Sementara Golkar dan Gerindra ragu-ragu, PAN malah menawarkan.
Entah sekarang tawaran PAN akan diteruskan atau dibatalkan. Tapi tanggung “beli” PAN yang tidak kuat di basis massa. Sementara itu, si partai kader, PKS, rontok di basis massa suaranya.
Jakarta dan dan Bodetabek lepas dari genggaman. Kini, yang kuat adalah partai bersenjata, yang berbaju cokelat dan hijau.
Sekuat apa pun, toh partai-partai itu tetap hanya bertumpu pada satu dua tokoh personal, entah dia orang dalam partai atau non partai. Aneka macam partai dan struktur kekuasaannya, sesungguhnya bukan yang utama untuk dianalisis.
Keputusan politik banyak ditentukan satu, dua dan tiga “orang kuat”. Mereka mendominasi sistem politik sedemikian jauh, sehingga tidak berjalan lagi.
Sekalipun Undang-Undang Dasar dan Mahkamah Konstitusi telah memberi titah, kekuatan politik segelintir orang di Indonesia bisa mengabaikan, bahkan menabraknya.
Di balik mereka bercokol “superman” pengendali dana dan daya, dari dalam maupun luar negeri. Persatuan orang-orang kuat ini lebih menentukan, tentu dengan sinyal kekuatan superpower Utara atau Barat.
Di sinilah, persoalannya yang menjadi konsentrasi sebuah analisis. Jangan bermimpi akan lahir Gajah Mada mutakhir, atau siapa pun tokoh yang Anda bayangkan hebat. Dia akan berujung di kaki kekuatan dunia, yang mampu menggelontorkan berapapun dana tanpa saringan.
Ketahanan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan kita akhirnya berakhir pada rangkaian slogan hampa di bumi realitas politik yang berlapis langit di atasnya.