TRAGEDI pengusiran dan penindasan terhadap kaum Yahudi di Eropa menjadi salah satu noda kelam yang masih membekas hingga kini. Antisemitisme telah tumbuh subur di banyak bagian Eropa selama berabad-abad, tetapi intensitas kekejamannya mencapai puncak pada paruh pertama abad ke-20, terutama ketika Perang Dunia II melanda. Antara tahun 1933 hingga 1945, lebih dari enam juta orang Yahudi menjadi korban kekejaman Nazi dalam tragedi yang dikenal sebagai Holocaust.
Di tengah situasi mencekam dan ketakutan yang melanda Eropa, ribuan orang Yahudi mencari perlindungan, berharap menemukan secercah harapan di negeri asing yang bersedia membuka pintunya. Mayoritas negara-negara Barat menutup mata dan enggan memberikan suaka. Visa ditolak, kapal pengungsi ditolak bersandar, bahkan banyak di antaranya yang dikembalikan ke tanah Eropa hanya untuk kemudian dibantai oleh rezim fasis.
Banjir Yahudi di Tanah Palestina
Dalam kegersangan kemanusiaan itu, satu wilayah kecil dengan penduduk mayoritas Muslim di ujung timur Laut Tengah justru menyambut dengan tangan terbuka: Palestina.
Tahun-tahun sebelum berdirinya negara Israel (1917–1948) menjadi masa penting yang terlupakan dalam memori publik internasional. Pada masa itu, rakyat Palestina hidup dalam suasana damai di bawah mandat Britania. Di berbagai kota seperti Yerusalem, Haifa, Jaffa, dan Gaza, masyarakat Muslim, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan, saling menghormati, dan membagi ruang dalam keseharian.
Tidak jarang keluarga-keluarga Muslim Palestina memberikan tempat tinggal sementara bagi para pengungsi Yahudi yang baru tiba dari Eropa. Masjid-masjid membuka dapur umum, para petani Palestina membagi hasil panennya, dan para tetua desa memanggil para pendatang itu dengan sebutan duyufullah—tamu Allah.
Pada tahun 1930-an, ketika gelombang besar imigran Yahudi mulai membanjiri Palestina karena meningkatnya penindasan di Eropa Timur dan Jerman, masyarakat Palestina tetap menjaga ketulusan mereka. Tidak ada keraguan, tidak ada prasangka. Mereka tidak melihat kaum Yahudi sebagai ancaman, melainkan sebagai saudara sesama manusia yang membutuhkan perlindungan.
Salah satu catatan dramatis terjadi pada tahun 1939, ketika kapal SS St. Louis, yang membawa lebih dari 900 pengungsi Yahudi dari Jerman, ditolak masuk oleh Amerika Serikat, Kanada, dan Kuba. Banyak dari mereka akhirnya kembali ke Eropa dan menjadi korban Holocaust. Namun, beberapa pengungsi yang berhasil keluar lebih awal dari Eropa, memilih Palestina sebagai tujuan terakhir. Di sinilah, sekali lagi, ketulusan rakyat Palestina diuji dan terbukti nyata.
Para pengungsi itu tidak hanya diterima, tetapi diajak masuk ke dalam jalinan sosial yang hangat. Di pasar-pasar Jaffa, mereka diajari berdagang oleh penduduk lokal. Di Haifa, mereka disambut di sekolah-sekolah dan diberi akses pada pendidikan dan perawatan kesehatan. Tidak sedikit yang memulai hidup baru dengan bantuan tetangga Muslim Palestina yang bahkan tidak mengenal mereka sebelumnya.
Namun, yang terjadi kemudian, mengiris nurani.Dengan dukungan kolonial Inggris dan rencana Deklarasi Balfour 1917 yang menjanjikan tanah Palestina sebagai “rumah nasional Yahudi”, para imigran Yahudi mulai membentuk pemukiman eksklusif, membeli tanah-tanah secara sistematis, dan perlahan menggiring arah politik menuju pendirian negara tersendiri. Konflik mulai pecah di penghujung 1940-an, dan akhirnya pada 14 Mei 1948, berdirilah negara Israel, hanya sehari sebelum berakhirnya mandat Inggris atas Palestina. Dalam satu malam, rakyat Palestina kehilangan tanah air mereka. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Nakba—“malapetaka”—mengusir lebih dari 750.000 warga Palestina dari kampung halaman mereka.
Kini, lebih dari tujuh dekade berlalu sejak pengkhianatan itu, dan luka lama belum juga sembuh. Bahkan, luka itu semakin menganga dengan genosida yang berlangsung di Gaza dan Tepi Barat.
Sejak Oktober 2023 hingga awal 2025, agresi militer Israel telah merenggut lebih dari 500.000 nyawa, sebagian besar dari mereka adalah warga sipil, perempuan, anak-anak, bahkan bayi yang baru lahir. Rumah sakit dihancurkan, sekolah menjadi puing, dan tempat ibadah tak lagi sakral. Dalam beberapa insiden, warga yang sedang mengantre bantuan makanan dan air justru dihujani peluru dan bom. Dunia hanya bisa menonton—mengutuk, lalu melupakan.
Apa yang dilakukan Israel hari ini bukanlah tindakan balasan. Ini adalah penghancuran sistematis terhadap satu bangsa yang tak bersenjata, yang tanahnya telah dirampas, haknya diabaikan, dan keberadaannya disangkal.
Tragedi yang Menampar Nurani
Ketika dunia bertanya, mengapa kebencian itu lahir? Maka jawaban yang terpahat di dinding waktu adalah: karena air susu yang pernah diberikan dengan penuh cinta oleh rakyat Palestina, kini dibalas dengan tuba—racun yang membunuh generasi demi generasi.
Sejarah seharusnya menjadi guru. Namun dalam kasus ini, sejarah dijadikan tameng untuk menjustifikasi kejahatan. Dan dunia internasional, dengan segala mekanisme hukumnya, terlihat terlalu lamban untuk menghentikan apa yang oleh banyak pihak disebut sebagai pembantaian abad ini.
Dalam ironi yang memilukan, Palestina yang dahulu menyelamatkan, kini menjadi korban utama dari mereka yang diselamatkan. Dan jika dunia masih memiliki nurani, maka inilah waktunya untuk bicara bukan hanya soal kemanusiaan, tapi juga soal keadilan yang tertunda terlalu lama. (*)