Selasa, Januari 7, 2025
No menu items!

Jejak Pilkada Jakarta: Benarkah Jokowi Jadi Cukong Pramono Anung?

Rakyat Jakarta memilih Pramono Anung-Rano Karno sebagai pemimpin mereka 5 tahun ke depan. Ada Jokowi di balik takdir politik mereka?

Must Read
Miftah H. Yusufpati
Miftah H. Yusufpati
Sebelumnya sebagai Redaktur Pelaksana SINDOWeekly (2010-2019). Mulai meniti karir di dunia jurnalistik sejak 1987 di Harian Ekonomi Neraca (1987-1998). Pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Majalah DewanRakyat (2004), Wakil Pemimpin Harian ProAksi (2005), Pemimpin Redaksi LiraNews (2018-2024). Kini selain di Jakartamu.com sebagai Wartawan Senior di SINDOnews.com dan Pemimpin Umum Forum News Network, fnn.co.Id.

JAKARTAMU.COM | Pramono Anung Wibowo sungguh piawai menempatkan diri dalam berpolitik. Sepanjang pemerintahan Joko Widodo, tokoh kelahiran 11 Juni 1963 ini mendapatkan tempat terhormat. Ia diberi kursi Sekretaris Kabinet dua periode. Mas Pram, begitu dia sering disapa, adalah kader penting Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ia sempat menjadi Wakil Ketua DPR RI mewakili PDI Perjuangan periode 2009-2014.

Begitu Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mencalonkannya sebagai Gubernur Jakarta, Pramono Anung pun melapor kepada Presiden Joko Widodo. Padahal, kala itu, publik tahu Jokowi tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM yang mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono.

Jokowi, misalnya, menyampaikan ucapan ‘Saya Ridwan Kamil’ yang viral di media sosial. “Saya juga menerima (video itu), saya kira terkonfirmasi ya kelihatannya dan kalimat itu diartikan memang Pak Jokowi mendukung saya,” ujar Ridwan Kamil.

Itu sebabnya, Ridwan Kamil tak khawatir bila Megawati berupaya memenangkan rivalnya di Pilkada 2024. Ia mengklaim selain Jokowi, dirinya didukung Presiden Prabowo Subianto.

Nyatanya, Jokowi tertawa terbahak-bahak tatkala Pramono meminta izin untuk maju sebagai peserta pada Pilkada Jakarta 2024.

Pada awalnya, Pramono menelepon Jokowi yang berada di Lampung. ”Sudah maju saja. Cocok!” sambut Jokowi.

“Bapak jangan bercanda dong pak,” kilah Pramono.

“Iya, sudah maju saja,” jawab Jokowi.

Setelah Presiden Jokowi kembali ke Jakarta, Pramono kemudian menemuinya untuk bicara 4 mata. “Sudah, kalau itu amanah, harus diterima,” ujar Jokowi meyakinkan.

Pramono menyampaikan sejumlah alasan kepada Presiden Jokowi yang membuat dia awalnya enggan maju di Pilkada Jakarta.

“‘Pak, saya kan enggak pernah mempersiapkan diri. Bahkan bapak tahu diwawancarai media apapun saya enggak mau. Di istana saja kan saya juga enggak mau, karena saya mengerjakan dapur’,” ujar Pramono.

“Ya sudahlah. Bismillah saja,” jawab Jokowi.

Pramono akhirnya mantab menjalani takdir politiknya ke depan. Ia berpasangan dengan Rano Karno melawan Ridwan Kamil dari KIM yang berpasangan dengan Suswono serta pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana dari calon independent.

“Saya bekerja bersama beliau sudah 2 periode. Saya mengenal beliau sebenarnya sudah 23 tahun, baik ketika beliau menjadi wali kota 2 kali, Gubernur, Presiden 2 kali,” kata Pramono Anung tentang dukungan Jokowi kepada Ridwan Kamil.

Belakangan muncul sas-sus tentang Jokowi telah bermain dua kaki. Kaki satunya ke Ridwan Kamil satunya lagi ke Pramono Anung.

Pengamat politik Muslim Arbi menyebut Jokowi menginginkan pemimpin Jakarta harus satu komando dengan mantan Wali Kota Solo itu. “Gubernur Jakarta berhubungan dengan Wapres Gibran yang notabene anaknya Jokowi,” paparnya.

Jokowi dan Megawati sebenarnya mempunyai kepentingan bersama untuk menjegal Anies Rasyid Baswedan menjadi Calon Gubernur Jakarta. “Kalau ada musuh bersama Jokowi dan Megawati bisa bersatu,” jelas Muslim.

Dengan strategi dua kaki, Jokowi mengamankan posisinya dan menjaga dukungan dari kelompok politik yang berbeda. Ini juga mengurangi risiko kerugian politik jika pasangan yang ia dukung kalah.

Strategi ini bagi Jokowi tetap relevan secara politik bahkan setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir. Dengan memiliki akses ke kepemimpinan di Jakarta, ia dapat memengaruhi kebijakan lokal yang berkaitan dengan kepentingan nasional dan menjaga warisannya tetap hidup.

Lagi pula, Jokowi disebut-sebut kurang sreg dengan Suswono yang kader Partai Keadilan Sejahtera atau PKS. Nama terakhir ini juga disebut-sebut membikin sulit bagi pasangan RIDO menarik dana sumbangan dari 9 Naga, cukong penting para cagub dan cawagub. Biaya kampanye pun seret.

Lebih jauh lagi, keputusan Megawati menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur Jakarta terbukti jitu. Megawati sengaja memilih sosok yang selama ini memiliki kedekatan personal dengan Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

“Sehingga, sel-sel politik keduanya juga tampaknya tidak dilepas untuk menghancurkan pilar-pilar politik Pramono,” ujar Analis politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam. “Pemegang remote kekuasaan bisa dibuat gamang untuk menghabisi calon dari PDI-P yang dikeroyok rame-rame, mengingat kedekatan personal mereka selama ini,” imbuhnya.

Faktor Fulus

Duit alias fulus menjadi salah satu faktor kemenangan cagub dan cawagub. Menjelang pemungutan suara, Ustaz –sebut saja begitu– yang mendukung pasangan RIDO, tampak tak bergairah. Dia sudah menghitung bahwa langkah jagoannya bakal berat menghadapi Pramono-Rano.

Koordinator Relawan Cahaya Jakarta ini adalah tokoh di balik silaturahminya Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jakarta dengan pasangan RIDO pada Senin sore, 7 Oktober 2024. Kala itu, Ridwan Kamil dan Suswono diterima segenap pimpinan wilayah, termasuk Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, Akhmad H. Abubakar dan Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah DKI Jakarta Elo Albugis di kantor PWM Jakarta.

Relawan Cahaya Jakarta diisi kader Muhammadiyah. Ustaz bercerita bahwa kader Muhammadiyah terbelah menjadi 3. Sebagian mendukung RIDO sebagaian Pramono-Rano. “Tapi yang memutuskan golput tidak sedikit,” ujarnya, kepada JAKARTAMU.

Dia lalu menyebut sejumlah tokoh Muhammadiyah yang sulit diyakinkan dan tetap akan mencoblos semuanya alias Golput. Celakanya, sang tokoh itu banyak punya jamaah. “Golput akan banyak,” ujar Ustaz.

Apa yang dikatakan Ustaz terbukti dalam Pilkada Jakarta. Angka masyarakat yang tak menggunakan hak suaranya alias golput di Pilkada Jakarta 2024 mencapai 3.489.614 orang atau setara dengan 42,48% berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU. Dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Pilkada Jakarta 2024 sebanyak 8.214.007 orang, jumlah pengguna hak suara di angka 4.724.393 orang. Itu belum termasuk suara tidak sah, seperti dicoblos semua.

Angka golongan putih (golput) sebanyak itu adalah yang tertinggi di Jawa dan bahkan mencetak rekor sejarah sepanjang pesta demokrasi di ibu kota Indonesia itu. “Mereka memilih golput karena tidak cocok dengan calon yang ada. Mereka pada awalnya adalah pendukung Anies Rasyid Baswedan,” ujar Ustaz.

Hal senada disampaikan dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini. Menurutnya, Golput yang tinggi disebabkan para pasangan calon yang bersaing di Pilkada Jakarta, “Kurang sejalan dengan aspirasi politik warga dan elite lokal. Figur yang disukai justru tidak mendapatkan tiket politik, misalnya Ahok dan Anies Baswedan,“ katanya.

Para pemilih Jakarta, tambah Titi, merasa seperti dikhianati partai yang baru saja mereka pilih di pemilu legislatif. “Jadi, ada isu kepercayaan atau trust issue terhadap partai dan elite politik atas rentetan peristiwa yang terjadi sejak pemilu sampai dengan penyelenggaraan pilkada,“ katanya.

Kembali ke fulus Pramono Anung-Rano Karno. Ustaz bercerita, ia ditawari salah seorang anggota tim pemenangan Pramono-Rano untuk membawa kader-kader Muhammadiyah. “Kalau di bawah Rp100 juta, saya bisa langsung mencairkan. Tidak perlu persetujuan atas,” ujar Ustaz menirukan anggota tim sukses itu.

Menilik ucapan Ustaz, tim Pramono-Rano jauh lebih tajir dan memiliki manajemen keuangan yang longgar.

Sinyal Jokowi “sudah maju saja” tampaknya cukup sakti. Pramono dan Rano memang terkenal berduit. Di luar itu, jaringan cukong PDIP di Jakarta juga sangat kuat. Belum lagi Jokowi. 

Asal tahu saja, total kekayaan Pramono yang dilaporkan ke KPK pada 18 Maret 2024 berjumlah Rp104 miliar. Sedangkan Rano Karno Rp18,5 miliar.

Di Balik Kemenangan

Selain fulus yang melimpah, setidaknya ada 4 faktor yang menjadi penyebab pasangan Pramono Anung-Rano Karno unggul dari dua pesaingnya di Pilgub Jakarta. “Faktor pertama yaitu agresivitas mesin partai paslon yang diusung PDIP ini lebih baik dibanding dua lawannya,” ujar Adi Prayitno, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia.

Keunggulan itu, tampak pada masifnya pemasangan alat peraga kampanye dan publikasi di media sosial.

Berdasarkan data lembaganya, tercatat alat peraga kampanye dan publikasi di media sosial oleh Pramono-Rano unggul hingga 6% dari pasangan RK-Suswono. Mesin kampanye Pramono-Rano juga lebih unggul dari segi kunjungan dan pembagian bingkisan.

Faktor kedua, adanya pergeseran suara pemilih. Ini terjadi usai mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, bertemu dengan Pramono-Rano di pertengahan November 2024. Padahal, dari hasil sigi berbagai Lembaga survey pada akhir Oktober suara pemilih Anies di Pilpres masih cenderung mengarah kepada RK-Suswono.

Menurut Ahmad Choirul Umam, kedekatan Pramono-Rano dengan Anies yang menjadi simbol perlawanan terbuka pada kekuatan politik yang mengorkestrasi dominasi peta politik Jakarta. Hal itu mampu mengkonsolidasikan basis pemilih loyal Anies untuk mendukung Pramono-Rano, yang banyak di antara mereka beririsan dengan basis pemilih loyal PKS.

“Konsolidasi suara pemilih Anies ini semakin kuat menjelang pemilihan, sehingga saat quick count gap suara antara Pramono-Rano dengan RK-Suswono menebal hingga 11% dari 5,6%  saat survei 13-17 November,” ujar Adi Prayitno.

Selain itu, pernyataan Suswono perihal janda kaya juga menjadi faktor Pramono-Rano menang. Dari data barier elektabilitas paslon nomor urut 1 menunjukkan adanya ketidaksukaan yang terakumulasi akibat pernyataan eks Menteri Pertanian tersebut.

Slip of tounge Suswono tentang ‘janda’ yang berhasil dipolitisir lawan dengan argumen teologis, mengindikasikan kandidat ini kurang disiplin,” ujar Ahmad Chairul Umam.

Latar belakang paslon yang diusung koalisi gemuk ini juga menjadi penyebab Pramono-Rano unggul. Menurut Adi, masyarakat masih menganggap bahwa RK-Suswono bukan representasi dari Jakarta, sehingga dinilai tidak memahami problem di wilayah tersebut.

“Di samping itu popularitas Suswono yang masih rendah juga memicu keengganan untuk memilih pasangan RK-Suswono,” katanya.

Di luar itu, melihat sejumlah faktor lain yang membuat Pramono dan Rano Karno bisa unggul jauh dibandingkan pasangan Ridwan Kamil dan Suswono. Pasangan usungan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus itu dinilai banyak melakukan blunder dan mengusung program-program yang dianggap “gimmick” rupanya tidak mempan untuk memilih Jakarta.

“Materi-materi kampanye Ridwan Kamil di fase awal juga didominasi oleh materi-materi gimmick, laiknya Mobil Curhat, bantuan kopi untuk yang terkena PHK dll, model-model semacam ini sebelumnya berhasil ia gunakan di politik Bandung dan Jawa Barat, kini ternyata tidak mempan dijual di masyarakat Jakarta,” jelas Ahmad Khoirul Umam.

Sementara itu, Pramono-Rano terlihat lebih disiplin dalam kampanye lapangan maupun narasi.

“Kemenangan Pramono-Rano atas RK-Suswono mengindikasikan bahwa basis mesin politik KIM Plus tidak solid. Kekompakan KIM Plus bak kawin paksa, di mana aspirasi kepentingan partai-partai pengusung tampaknya kurang terakomodasi,” ujar Ahmad Choirul Umam.

Arah pemilih di Jakarta memang memiliki karakteristik unik dalam memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Mereka cenderung berpikir rasional dan tidak terfokus pada sosok ketokohan tertentu.

“Faktor kemenangan paslon lebih banyak ditentukan oleh tawaran program kerja yang ditawarkan oleh para kandidat,” ujar pakar politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin.

Pernyataan serupa juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago. Dia mengatakan dukungan simbolik para mantan presiden kepada kandidat yang bertarung di Pilgub Jakarta tahun ini cenderung tak membawa pengaruh berarti.

Hasil akhir Pilkada Jakarta adalah Ridwan Kamil-Suswono hanya memperoleh 1.718.160 suara (39,40%), Dharma Pongrekun-Kun Wardana 459.230 suara (10,53%), dan Pramono Anung-Rano Karno 2.183.239 suara (50,07%)

Pasangan Pramono-Rano Karno ditetapkan sebagai pemenang Pilkada Jakarta dalam satu putaran. Sementara itu, pasangan RK-Suswono dan Dharma-Kun menerima hasil tersebut, kedua pasangan tidak menggugat hasil Pilkada Jakarta ke MK.

Kisah Abu Dzar Al-Ghifari: Sahabat Nabi Paling Radikal

JAKARTAMU.COM | Nama asli Abu Dzar al-Ghifari adalah Jundub bin Janadah. Dia dikenal sebagai sosok yang membuat Rasulullah SAW...

More Articles Like This