Jumat, Maret 14, 2025
No menu items!
spot_img

Jemblung, Dendang Kerupuk, dan Nostalgia yang Tak Terlupakan

spot_img
Must Read

JAKARTAMU.COM | Di suatu masa ketika plastik belum mendominasi, sebelum suara klakson ojek online dan dering notifikasi e-commerce memenuhi telinga, ada sebuah suara yang begitu akrab bagi anak-anak kampung dan pemilik warung: suara khas pedagang kerupuk saat menghitung dagangannya. Bukan sekadar hitungan, melainkan sebuah dendang yang memiliki ritme, seolah menjadi alunan musik tersendiri di tengah kesibukan hari.

Sosok pedagang kerupuk ini bukan sembarang orang. Ia adalah pria dengan kekuatan luar biasa, bukan karena otot kekar yang dipamerkan di gym, melainkan karena kebiasaannya memikul dua wadah besar yang dikenal sebagai jemblung atau menel. Wadah berbentuk silinder dari aluminium atau seng itu menggantung di ujung pikulan kayu yang disangga di pundaknya. Kapasitasnya bisa mencapai ribuan keping kerupuk—mungkin lebih berat jika yang dibawanya adalah air.

Sistem Jualan yang Bersahaja

Berbeda dengan zaman sekarang yang serba instan, pedagang kerupuk tempo dulu menjalankan bisnis dengan sistem titip jual. Mereka mendatangi warung-warung, mengisi blek kerupuk yang sudah disediakan pemilik warung. Pembayaran tidak harus dilakukan langsung, melainkan hanya untuk kerupuk yang benar-benar habis terjual. Model seperti ini memudahkan pedagang kecil dan pemilik warung dalam menjalankan usaha tanpa harus menanggung beban modal besar di awal.

Salah satu ciri khas lain dari jualan kerupuk zaman itu adalah cara mengemasnya. Karena plastik belum banyak digunakan, kerupuk yang dibeli akan ditusuk dengan tali bambu, menyerupai tusukan sate. Ada sensasi tersendiri saat membawa pulang kerupuk dengan cara ini—sebuah keunikan yang kini hampir punah.

Anak-Anak dan Keistimewaan Kerupuk Bubuk

Bagi bocah-bocah kampung, kehadiran pedagang kerupuk seperti ini adalah momen yang dinanti-nantikan. Selain karena mereka sering mendendangkan angka-angka saat menghitung kerupuk yang dititipkan, ada kebiasaan lain yang membuat anak-anak senang: mereka kerap mendapatkan kerupuk yang sudah pecah atau bubuk sebagai hadiah. Ini seperti jackpot kecil bagi mereka yang kebetulan sedang bermain di sekitar warung.

Di bawah terik matahari atau di bawah naungan pohon rindang, bocah-bocah akan menikmati remah-remah kerupuk itu sambil berceloteh riang, menikmati kebahagiaan sederhana yang kini sulit ditemukan di era modern.

Kelemahan Pedagang Jemblung: Tak Bisa Masuk Gang

Sebagai pahlawan jalanan dengan beban berat di pundak, para pedagang kerupuk ini memiliki satu kelemahan: mereka tidak bisa masuk ke gang-gang sempit. Pikulan yang mereka bawa terlalu besar untuk melewati lorong-lorong kecil yang meliuk di antara rumah-rumah padat. Akibatnya, anak-anak yang tinggal di gang-gang harus berjalan ke jalan utama atau ke warung-warung terdekat untuk membeli atau sekadar melihat sang pedagang melintas.

Kini, dengan hadirnya toko kelontong modern dan distribusi kerupuk yang lebih terorganisir, model jualan ini kian langka. Jemblung, dendang kerupuk, dan sistem titip jual mulai tergeser oleh zaman. Namun, bagi mereka yang pernah mengalaminya, suara khas itu, kerupuk tusuk bambu, dan remah-remah gratis yang diberikan dengan murah hati tetap menjadi kenangan yang tak terlupakan. (Dwi Taufan Hidayat)

spot_img

80.000 Muslim Laksanakan Salat Jumat di Masjid Al-Aqsa

JAKARTAMU.COM | Sekitar 80.000 jemaah muslim melaksanakan salat Jumat kedua di Kompleks Masjid Al-Aqsa, Jerusalem, di tengah pembatasan ketat...

More Articles Like This