JAKARTAMU.COM | Indonesia telah melalui satu dekade penuh dinamika di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang kemudian beralih ke Presiden Prabowo Subianto. Kedua pemimpin ini memiliki gaya kepemimpinan dan prioritas kebijakan yang berbeda, yang masing-masing memberikan dampak signifikan bagi negeri ini. Jika era Jokowi ditandai dengan pembangunan infrastruktur masif dan tantangan dalam demokrasi, 100 hari pertama Prabowo membawa kebijakan populis yang menarik perhatian publik, meski belum lepas dari kontroversi dan tantangan implementasi.
Era Jokowi: Infrastruktur dan Kontroversi Demokrasi
Sejak menjabat pada 2014, Jokowi menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama. Jalan tol Trans-Jawa dan Trans-Sumatra, pembangunan pelabuhan, bandara, serta proyek-proyek strategis lainnya menjadi ikon pemerintahannya. Upaya ini bertujuan meningkatkan konektivitas antarwilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Indeks Kebebasan Ekonomi Indonesia selama satu dekade terakhir juga menunjukkan tren positif. Menurut LSI Denny JA, upaya Jokowi dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif berkontribusi pada peningkatan investasi. Selain itu, program sosial seperti Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kurang mampu.
Namun, pemerintahan Jokowi juga tidak lepas dari kritik, terutama dalam aspek demokrasi dan politik. Sejumlah pengamat menilai bahwa terjadi kemunduran demokrasi selama masa kepemimpinannya, dengan indikasi kembalinya politik patronase serta dinasti. Langkah-langkah seperti intervensi terhadap hukum dan lembaga negara demi kepentingan politik keluarga dan sekutu-sekutunya menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat sipil.
Transisi ke Prabowo: 100 Hari Pertama yang Penuh Ekspektasi
Ketika Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024, harapan dan tantangan baru muncul. Dalam 100 hari pertamanya, Prabowo mengambil langkah-langkah strategis untuk menunjukkan arah kepemimpinannya. Salah satu kebijakan ekonomi yang mencolok adalah peluncuran Dana Kekayaan Negara (Danantara) senilai US$20 miliar. Dana ini bertujuan memodernisasi pengelolaan kekayaan negara dan memprivatisasi beberapa aset BUMN untuk mendukung proyek energi terbarukan, manufaktur, infrastruktur, serta kecerdasan buatan.
Selain itu, kebijakan populis seperti kenaikan upah minimum provinsi sebesar 6,5% pada November 2024 dan penghapusan utang usaha kecil yang macet mendapat respons positif dari masyarakat. Program penyediaan makanan gratis untuk anak-anak dan ibu hamil juga meningkatkan popularitas Prabowo, dengan tingkat persetujuan publik mencapai 80,9%.
Namun, masa kepemimpinan Prabowo juga menghadapi kritik. Beberapa kebijakan yang berubah-ubah dan kurang terarah menjadi sorotan, termasuk perubahan mendadak dalam kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta sikap yang tidak konsisten dalam menghadapi isu Laut China Selatan. Tantangan lain adalah implementasi program sosial, yang meskipun populer, masih menghadapi kendala teknis di lapangan.
Kesimpulan: Masa Depan Kepemimpinan Indonesia
Peralihan dari Jokowi ke Prabowo membawa nuansa baru dalam lanskap pemerintahan Indonesia. Jokowi meninggalkan warisan pembangunan infrastruktur yang kuat, tetapi juga warisan demokrasi yang mendapat banyak kritik. Sementara itu, Prabowo memulai pemerintahannya dengan pendekatan ekonomi populis dan program sosial yang mendapat apresiasi, tetapi masih harus membuktikan konsistensi dan efektivitas kebijakannya.
Sebagai masyarakat, penting untuk tetap kritis dan aktif dalam mengawal kebijakan pemerintahan. Demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada siapa yang berkuasa, tetapi juga pada keterlibatan rakyat dalam memastikan kebijakan yang diambil benar-benar membawa kesejahteraan bagi semua. Dengan evaluasi yang terus-menerus dan kontrol publik yang kuat, Indonesia dapat terus melangkah maju menuju masa depan yang lebih baik. (Dwi Taufan Hidayat)