JAKARTAMU.COM | Di tengah gelombang PHK massal dan pemotongan anggaran yang melanda berbagai sektor, tagar #KaburAjaDulu menjadi viral di kalangan pencari kerja muda. Tagar ini bukan sekadar candaan di media sosial, melainkan cermin keputusasaan generasi muda yang terjepit di antara kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada mereka. Fenomena ini tidak hanya menggambarkan krisis ketenagakerjaan, tetapi juga mengungkap kegagalan sistemik dalam mengelola ekonomi dan melindungi hak-hak pekerja.
PHK Massal: Krisis yang Menggerus Harapan
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sepanjang 2023, lebih dari 500.000 pekerja di-PHK secara massal, terutama di sektor teknologi, manufaktur, dan ritel. Perusahaan besar seperti GoTo, Shopee, dan beberapa BUMN terpaksa melakukan efisiensi akibat tekanan ekonomi global dan kebijakan dalam negeri yang tidak mendukung. Namun, di balik angka-angka tersebut, ada ribuan cerita pilu generasi muda yang baru saja memulai karier mereka.
Seorang lulusan perguruan tinggi terkemuka, Andi (25), bercerita, “Saya baru bekerja selama setahun, tiba-tiba di-PHK. Sekarang, tagar #KaburAjaDulu jadi semacam pelarian. Daripada stres mikirin masa depan, mending kabur dulu dari realita.” Ungkapan ini mewakili perasaan banyak anak muda yang merasa masa depan mereka dirampas oleh situasi yang tidak mereka ciptakan.
Pemotongan Anggaran: Pukulan Beruntun bagi Generasi Muda
Tidak hanya PHK, pemotongan anggaran di sektor pendidikan, pelatihan vokasi, dan program pemulihan ekonomi semakin memperparah situasi. Pemerintah mengklaim bahwa pemotongan ini diperlukan untuk menyeimbangkan APBN, tetapi dampaknya justru dirasakan oleh generasi muda. Program Kartu Prakerja, yang diharapkan menjadi solusi, justru dikritik karena tidak menyentuh akar masalah dan hanya bersifat tambal sulam.
Menurut ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, “Pemotongan anggaran di sektor pendidikan dan pelatihan adalah kesalahan besar. Ini seperti memotong investasi masa depan. Generasi muda adalah aset terbesar bangsa, tetapi mereka justru menjadi korban dari kebijakan yang tidak visioner.”
Kritik pada Pemerintah: Ketidakmampuan Menjawab Tantangan Zaman
Pemerintah dinilai gagal dalam merespons krisis ini dengan langkah-langkah konkret. Alih-alih menciptakan lapangan kerja baru, kebijakan yang diambil justru memperburuk situasi. Misalnya, Undang-Undang Cipta Kerja (UU Omnibus Law) yang diharapkan mampu menarik investasi, justru menuai kontroversi karena dianggap merugikan pekerja dan tidak transparan dalam proses pembuatannya.
Selain itu, ketergantungan pada investasi asing dan kurangnya dukungan untuk UMKM lokal membuat ekonomi nasional rentan terhadap guncangan global. Padahal, UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia dan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pemulihan ekonomi.
Analisis Ahli: Perlunya Paradigma Baru
Ekonom senior Emil Salim menyoroti perlunya perubahan paradigma dalam kebijakan ketenagakerjaan. “Pemerintah harus berpikir jangka panjang. Tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada pemerataan dan keberlanjutan. Generasi muda perlu diberi kesempatan untuk berkembang, bukan justru dibiarkan terpuruk.”
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil. “Krisis ini tidak bisa diselesaikan sendiri oleh pemerintah. Dibutuhkan kolaborasi semua pihak untuk menciptakan solusi yang inklusif dan berkeadilan.”
#KaburAjaDulu: Bukan Solusi, Tapi Alarm
Tagar #KaburAjaDulu mungkin terlihat seperti bentuk pelarian, tetapi sebenarnya ini adalah alarm bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Generasi muda tidak meminta banyak, hanya kesempatan untuk hidup layak dan berkontribusi bagi bangsa. Jika pemerintah terus abai, bukan tidak mungkin gelombang ketidakpuasan ini akan berubah menjadi gerakan sosial yang lebih besar.
Pemerintah harus segera mengambil langkah nyata: menciptakan lapangan kerja, memperbaiki sistem pendidikan dan pelatihan, serta melibatkan generasi muda dalam proses pengambilan keputusan. Jika tidak, tagar #KaburAjaDulu bukan lagi sekadar candaan di media sosial, melainkan cermin kegagalan sebuah bangsa dalam merawat masa depannya.
Penutup:
Generasi muda adalah masa depan bangsa. Jika hari ini mereka memilih untuk “kabur” dari realita, siapa yang akan membangun Indonesia di masa depan? Pemerintah harus segera bertindak sebelum terlambat. Jangan biarkan #KaburAjaDulu menjadi epitaf bagi hilangnya harapan sebuah generasi. ( Dwi Taufan Hidayat)