JAKARTAMU.COM | Islam mengharamkan sejumlah binatang untuk dikonsumsi ketika dalam keadaan normal. Adapun ketika dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu halal.
Dalam hal ini Allah Taala berfirman: “Allah telah menerangkan kepadamu apa-apa yang Ia telah haramkan atas kamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksa.” (al-An’am: 119)
Dan di ayat lain, setelah Allah menyebut tentang haramnya bangkai, darah dan sebagainya kemudian diikutinya dengan mengatakan:
“Barangsiapa terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidak ada dosa atasnya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih.” (QS al-Baqarah: 173)
Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam buku yang diterjemahkan Mu’ammal Hamidy berjudul “Halal dan Haram dalam Islam” (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan darurat yang sudah disepakati oleh semua ulama, yaitu darurat dalam masalah makanan, karena ditahan oleh kelaparan.
Sementara ulama memberikan batas darurat itu berjalan sehari-semalam, sedangkan dia tidak mendapatkan makanan kecuali barang-barang yang diharamkan itu. Waktu itu dia boleh makan sekadarnya sesuai dengan dorongan darurat itu dan guna menjaga dari bahaya.
Imam Malik memberikan suatu pembatas, yaitu sekadar kenyang, dan boleh menyimpannya sehingga mendapat makanan yang lain.
Ahli fikih yang lain berpendapat: dia tidak boleh makan, melainkan sekadar dapat mempertahankan sisa hidupnya.
Barangkali di sinilah jelasnya apa yang dimaksud dalam firman Allah Ghaira baghin wala ‘adin (dengan tidak sengaja dan melewati batas) itu.
Perkataan ghairah baghin maksudnya: Tidak mencari-cari alasan karena untuk memenuhi keinginan (seleranya). Sedang yang dimaksud dengan wala ‘adin, yaitu: Tidak melewati batas ketentuan darurat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan daruratnya lapar, yaitu seperti yang dijelaskan Allah dalam firmannya, dengan tegas Ia mengatakan:
“Dan barang siapa yang terpaksa pada (waktu) kelaparan dengan tidak sengaja untuk berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih. ” (al-Maidah: 3)
Daruratnya Berobat
Daruratnya berobat, yaitu ketergantungan sembuhnya suatu penyakit pada memakan sesuatu dari barang-barang yang diharamkan itu.
Dalam hal ini para ulama fikih berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, berobat itu tidak dianggap sebagai darurat yang sangat memaksa seperti halnya makan. Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis Nabi yang mengatakan:
“Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu dengan sesuatu yang Ia haramkan atas kamu.” (Riwayat Bukhari)
Sementara mereka ada juga yang menganggap keadaan seperti itu sebagai keadaan darurat, sehingga dianggapnya berobat itu seperti makan, dengan alasan bahwa kedua-duanya itu sebagai suatu keharusan kelangsungan hidup.
Dalil yang dipakai oleh golongan yang membolehkan makan haram karena berobat yang sangat memaksakan itu, ialah hadis Nabi yang sehubungan dengan perkenan beliau untuk memakai sutera kepada Abdur-Rahman bin Auf dan az-Zubair bin Awwam yang justru karena penyakit yang diderita oleh kedua orang tersebut, padahal memakai sutera pada dasarnya adalah terlarang dan diancam.
Barangkali pendapat inilah yang lebih mendekati kepada jiwa Islam yang selalu melindungi kehidupan manusia dalam seluruh perundang-undangan dan rekomendasinya.
Tetapi, kata al-Qardhawi, perkenan (rukhsah) dalam menggunakan obat yang haram itu harus dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut:
- Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan manusia jika tidak berobat.
- Tidak ada obat lain yang halal sebagai ganti Obat yang haram itu.
- Adanya suatu pernyataan dari seorang dokter muslim yang dapat dipercaya, baik pemeriksaannya maupun agamanya (i’tikad baiknya).
“Kami katakan demikian sesuai dengan apa yang kami ketahui, dari realitas yang ada dari hasil penyelidikan dokter-dokter yang terpercaya, bahwa tidak ada darurat yang membolehkan makan barang-barang yang haram seperti obat,” kata al-Qardhawi.
“Akan tetapi kami menetapkan suatu prinsip di atas adalah sekadar ikhtiyat’ (bersiap-siap dan berhati-hati) yang sangat berguna bagi setiap muslim, yang kadang-kadang dia berada di suatu tempat yang di situ tidak ada obat kecuali yang haram,” demikian Syaikh Yusuf al-Qardhawi.