Minggu, Februari 23, 2025
No menu items!

Keajaiban Nmachi: Bayi Bule Putri Pasangan Negro

Must Read

JAKARTAMU.COM | Ben Ihegboro tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam satu malam. Ia dan istrinya, Angela, telah dikaruniai dua anak yang sehat—Chisom dan Dumebi—yang tumbuh dengan kulit legam yang mengilap seperti mereka. Namun, saat Angela melahirkan anak ketiga mereka di Queen Mary’s Hospital, dunia seakan berhenti berputar.

Seorang bayi perempuan mungil berbaring di pelukan Angela. Namun, bukan warna kulit gelap seperti dugaan mereka, melainkan putih seputih salju. Rambutnya keemasan, bola matanya biru seperti samudra. Keheningan memenuhi ruang bersalin. Perawat dan dokter saling bertukar pandang, bingung mencari penjelasan.

“Apa yang terjadi?” bisik Ben, suaranya nyaris tak terdengar. Angela, yang masih lelah setelah melahirkan, hanya menatap bayi itu dengan penuh kekaguman dan sedikit kebingungan.

Dokter segera menjelaskan bahwa bayi mereka bukan albino. Tidak ada kelainan pigmen, tidak ada mutasi yang bisa langsung dikenali. “Dia bayi yang sehat, hanya saja… berkulit putih.”

Angela menggenggam tangan Ben erat. Ia tahu pertanyaan itu pasti muncul dalam benak suaminya. Tapi Ben hanya menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Aku percaya padamu,” katanya mantap.

Hari-hari berikutnya, rumah mereka dipenuhi berbagai spekulasi. Tetangga bertanya-tanya, kerabat menelepon tanpa henti. Apakah Angela berselingkuh? Apakah bayi itu benar-benar anak Ben? Bahkan di lingkungan mereka yang multikultural di Inggris, kelahiran Nmachi adalah sesuatu yang sulit dicerna akal sehat.

“Kami sudah melihat banyak bayi, tapi tidak ada yang seperti ini,” ujar seorang perawat yang ikut membantu persalinan Angela.

Meski Ben tak pernah meragukan istrinya, tekanan dari luar mulai mengusik. Seorang kerabat jauh sempat menyindir, “Mungkin ada rahasia dalam keluargamu yang tak kau ketahui, Ben.”

Namun, Ben dan Angela tetap berpegang teguh pada keyakinan mereka: Nmachi adalah anugerah. Bukan aib, bukan kesalahan, bukan pertanda buruk.

Di tengah kebingungan, mereka menghubungi seorang ahli genetika untuk mencari jawaban. Profesor Graham Spencer dari Universitas London menjelaskan bahwa dalam genetika, kemungkinan kejadian langka seperti ini bisa terjadi.

“Gen resesif bisa bertahan selama beberapa generasi sebelum akhirnya muncul kembali,” ujar Profesor Spencer. “Ada kemungkinan nenek moyang Ben atau Angela memiliki keturunan kulit putih, dan gen itu baru aktif sekarang.”

Penjelasan itu sedikit menenangkan mereka, tetapi tetap saja, dunia di sekitar mereka tidak berhenti bertanya.

Sementara dunia sibuk mencari alasan ilmiah, Ben dan Angela memilih melihat keajaiban ini dari sudut pandang yang lebih sederhana.

“Nmachi berarti ‘Keindahan Tuhan’,” kata Angela suatu hari, mengusap rambut pirang bayinya dengan lembut. “Dia hadir di dunia ini bukan untuk dipertanyakan, tapi untuk dicintai.”

Chisom dan Dumebi, dua kakak kecil yang awalnya bingung, kini berlarian di sekitar Nmachi, menganggapnya bagian dari keluarga tanpa syarat.

“Kenapa kulitnya seperti susu, Mama?” tanya Dumebi suatu malam sebelum tidur.

Angela tersenyum, memeluk putrinya erat. “Karena Tuhan suka membuat kejutan indah.”

Di saat orang lain mempertanyakan, keluarga kecil ini memilih untuk menerima. Hari demi hari, Nmachi tumbuh dengan sehat dan ceria. Keistimewaannya menjadi kebanggaan, bukan beban.

Namun, itu tidak berarti perjalanan mereka bebas dari tantangan.

Saat Nmachi mulai tumbuh, orang-orang mulai menatapnya lebih lama daripada anak-anak lain. Saat Ben menggendongnya di taman, ada yang berbisik, ada yang sekadar tersenyum simpul dengan rasa ingin tahu.

Di satu kesempatan, seorang ibu mendekati Angela di supermarket. “Maaf, saya hanya penasaran… apakah dia diadopsi?”

Angela menghela napas, tersenyum kecil. “Tidak, dia putri kandung saya.”

Wanita itu tersipu, merasa bersalah. “Maaf, saya tidak bermaksud menyinggung.”

Angela hanya tersenyum, sudah terbiasa dengan pertanyaan serupa.

Namun, ada pula komentar yang lebih tajam. Suatu hari, Ben mendengar seorang pria bercanda dengan kawannya, “Mungkin dia bukan anaknya, makanya dia pasrah begitu.”

Ben mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah. Tapi ia memilih untuk tidak menanggapi. Ia tahu, orang-orang akan selalu berbicara.

Di sekolah, ketika Nmachi mulai bersekolah, ia menghadapi pertanyaan dari teman-temannya. “Kenapa kulitmu tidak seperti ayah dan ibumu?”

Awalnya, Nmachi bingung harus menjawab apa. Tapi Angela telah membekalinya dengan satu kalimat sederhana, “Karena aku istimewa.”

Dan begitulah cara Nmachi menjalani hidupnya—dengan kepala tegak dan hati penuh rasa syukur.

Seiring waktu, kisah Nmachi menjadi inspirasi bagi banyak orang. Sejumlah media mulai menyoroti keunikan Nmachi, menjadikannya simbol bahwa keberagaman dalam keluarga bisa hadir dalam berbagai bentuk.

Bagi keluarga Ihegboro, Nmachi bukan sekadar kejutan genetika. Dia adalah pengingat bahwa hidup penuh dengan keajaiban yang tak selalu bisa dijelaskan.

“Sains mungkin butuh waktu untuk menjelaskan keajaiban ini, tapi bagi kami, jawaban sudah jelas,” kata Ben suatu hari dalam sebuah wawancara. “Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri.”

Ketika Nmachi beranjak remaja, ia tak lagi merasa asing di dunia ini. Ia telah memahami bahwa keajaibannya bukanlah beban, melainkan berkah.

Dan saat ia menatap cermin, melihat kulitnya yang putih bersih, rambutnya yang keemasan, serta matanya yang biru cemerlang, ia tahu satu hal:

Ia adalah keindahan Tuhan yang nyata. (Dwi Taufan Hidayat)

Fenomena #KaburAjaDulu: Ini Negara yang Membuka Peluang Kerja bagi Warga Indonesia

JAKARTAMU.COM | Tagar #KaburAjaDulu yang ramai diperbincangkan di media sosial ternyata mendapat respons dari dunia internasional. Beberapa negara kini...

More Articles Like This