JAKARTAMU.COM | Istihsan merupakan salah satu konsep dalam hukum Islam yang seringkali menimbulkan perdebatan di kalangan ulama. Meski definisinya bervariasi, ada benang merah yang bisa kita tarik dari berbagai pandangan tersebut. Syamsul Anwar menjelaskan bahwa pada dasarnya, istihsan adalah upaya untuk mengatasi kekakuan hukum Islam.
Dalam pengajiannya pada Rabu (18/10), Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini menyatakan, “Inti dari apa yang mereka (para ulama ahli usul) kemukakan adalah bahwa istihsan pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengatasi kekakuan dalam penerapan suatu aturan secara konsisten menyangkut kasus-kasus tertentu.”
Dengan kata lain, istihsan adalah bentuk kebijaksanaan dalam menerapkan hukum. Ia memungkinkan adanya penyimpangan dari aturan umum untuk menerapkan ketentuan khusus yang lebih relevan dengan situasi tertentu. Kebijaksanaan ini berakar dari prinsip menilai sesuatu yang baik, baik dalam upaya menciptakan kemaslahatan maupun menghindari kemudaratan. Sehingga, istihsan memberikan fleksibilitas yang menjauhkan hukum Islam dari rigiditas yang berlebihan.
Misalnya, aturan umum tentang larangan melihat aurat. Secara syariat, aurat wajib ditutup. Namun, dalam situasi medis, di mana ada maslahat yang lebih besar seperti kesehatan, aturan ini dapat dikesampingkan. Contoh lain adalah larangan menjual benda wakaf. Secara umum, benda wakaf tidak boleh diperjualbelikan, tetapi dalam keadaan tertentu di mana penjualan justru mendatangkan manfaat yang lebih besar, larangan ini bisa ditinjau ulang.
Dari sini, bisa memahami unsur-unsur yang menandai istihsan. Pertama, adanya dalil umum yang berlaku terhadap suatu kasus. Kedua, adanya penyimpangan dari dalil umum karena penerapan secara kaku dapat menimbulkan konsekuensi yang bertentangan dengan tujuan hukum Islam, seperti keadilan atau kemaslahatan. Ketiga, adanya unsur maslahat yang ingin diwujudkan atau kemudaratan yang ingin dihindari.
Dalam konteks ini, dalil yang menjadi dasar istihsan bisa berupa nas, kebiasaan (urf), ijmak, atau maslahat itu sendiri. Sehingga, istihsan adalah salah satu bentuk ijtihad yang bertujuan untuk menjaga agar hukum Islam tetap relevan dan adil di berbagai konteks yang berubah-ubah.
Pendekatan ini membuat hukum Islam lebih adaptif dan tidak sekadar menjadi aturan yang kaku. Sebaliknya, ia menjadi hukum yang hidup dan mampu merespon kebutuhan umat sesuai dengan prinsip keadilan dan kemaslahatan yang diajarkan oleh syariat.
Majelis Tarjih Muhammadiyah memandang pentingnya istihsan sebagai bagian dari sumber hukum Islam, karena nilai kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya mampu menjawab tantangan zaman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariat.
Kehujahan Istihsan dalam Perspektif Mazhab
Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menerima istihsan sebagai dalil hukum syariah yang sah. Menurut mereka, istihsan memberikan kemudahan dalam pelaksanaan syariat. Tujuan utamanya adalah meringankan beban taklif-syari, yaitu kewajiban yang dibebankan oleh Allah kepada umat-Nya. Pandangan ini didukung oleh ayat Al-Quran, seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 185, yang menyatakan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-hamba-Nya.
Bagi para pendukungnya, istihsan menjadi sarana untuk mencapai kemaslahatan umat, terutama ketika ada ketentuan hukum yang dirasa terlalu berat atau tidak relevan dalam situasi tertentu. Dengan istihsan, seorang mujtahid dapat menetapkan suatu hukum yang lebih ringan namun tetap sejalan dengan prinsip-prinsip syariah. Pendekatan ini dianggap lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan kondisi masyarakat, sehingga hukum Islam tetap relevan-fungsional sepanjang zaman.
Di sisi lain, Imam Syafii memiliki pandangan yang sangat berbeda terkait istihsan. Dalam karyanya yang monumental, al-Umm, ia dengan tegas menolak metode ini dan bahkan menyediakan satu bab khusus untuk membantah kehujahan istihsan. Bagi Imam Syafii, penggunaan istihsan sangatlah subyektif dan membuka peluang besar untuk membuat-buat hukum yang tidak memiliki dasar yang kuat dari Al-Quran dan Sunnah.
Imam Syafii menilai bahwa istihsan mengandung unsur subjektivitas yang berbahaya, karena memberikan kebebasan yang terlalu besar kepada seorang mujtahid untuk menentukan hukum berdasarkan pertimbangan pribadi, bukan dalil yang sahih.
Perbedaan pandangan ini menunjukkan dinamika dalam ilmu fikih. Bagi mazhab yang menerima istihsan, kemudahan dan keringanan menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan hukum. Namun, bagi Imam Syafii, menjaga kemurnian sumber hukum dari campur tangan subjektivitas menjadi prioritas yang lebih penting.(PP Muhammadiyah)