Oleh Ardi Krisnamurti, Anggota Dewan Pakar PP IKA ITS 2024-2028
PERBINCANGAN soal dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari menjadi 12% makin ramai. Pasti akan ada dampak yang timbul. Masyarakat dan pemerintah harus bisa dan cepat mengantisipasi supaya dampak negatif bisa diminimalkan.
Kondisi objektif dunia saat ini sedang tidak menentu. Perang di Timur Tengah dan Eropa, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, turut mempengaruhi instabilitas ekonomi global. Kemunduran ekonomi di China akibat bubble sektor properti dan heating di sektor manufaktur, akan menambah ketidakpastian global
Kondisi ini memerlukan ruang fiskal yang lebih aman dan baik untuk pemerintah sebagai bentuk mitigasi risiko struktur fiskal Indonesia. Salah satu yang jelas dan pasti adalah menaikkan PPN dari 11% menjadi 12%. Asumsinya akan ada penambahan penerimaan pajak sekitar Rp50-70 triliun dengan kenaikan 1%.
Baca juga: PPN 12%: Bom Waktu dan Bumerang Target Pertumbuhan Ekonomi 8%
Di satu sisi Indonesia punya kepentingan strategis menjadi anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), supaya ada persepsi Indonesia bisa lepas dari julukan negara “middle income trap”. Ini berkaitan dengan rasio pajak yang sangat rendah dan tentu saja variable yang lain.
Namun kebijakan pemerintah ini memicu sejumlah kritik. Kenaikan PPN menambah kesan pemerintah tidak memberikan “fairness playing field” di berbagai lapisan ekonomi masyarakat. Kelompok ekonomi kelas atas lebih dimanjakan pemerintah. Terbukti PPH kelas menengah dan perusahaan ke atas diturunkan di level sekitar 17,5 % dari 25%. Di lain sisi pemerintah ngotot menaikkan PPN yang memberikan dampak pada semua lapisan masyarakat.
Beberapa pakar menyarakankan solusi untuk menaikkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sektor pertambangan (batubara, nikel, dan logam lain) yang totalnya sekitar Rp200 triliun. Jika royalti dinaikkan sekitar 50% dengan penetapan HPP yang fair bisa menaikkan pendapatan di kisaran Rp50-100 triliun.
Angka ini hampir sama dengan potensi penerimaan kenaikan PPN. Dengan aturan main yang tegas, jelas dan tepat insyallah PNPB akan bisa dinaikkan dan menjadi potensi penerimaan pemerintah ke depan.
Baca juga: Muhammadiyah Minta Pemerintah Kaji Ulang PPN 12%
Asumsi dan keputusan menaikan PPN 12% tentu dapat dipahami, tetapi perlu ada upaya serius pada beberapa hal. Pertama, pajak administrasi harus lebih diintesifkan dan diperluas supaya beberapa sektor dan wajib pajak bertambah supaya ke depan kenaikan pendapatan lebih terkait dengan pajak administrasi yang baik.
Kedua, perlu diupayakan model penambahan pendapatan yang lebih cerdik, taktis dan serius tidak hanya konsep konvensional misalkan penambahan PNBP sektor Pertambangan, Cukai minuman berkarbonasi, cukai minuman manis, cukai karbon dan tentu saja pendapatan dari pengelolaan Aset pemerintah termasuk BUMN.
Ketigam, perlu ketegasan pemerintah dalam pengelolaan anggaran keuangan. Anggaran yang sifatnya seremonial, anggaran dinas yang mubazir setiap anggaran harus jelas KPI terkait impact terhadap pertumbuhan ekonomi.
Keempat, pemberantasan korupsi secara masif sebagai bentuk komitmen pemerintah agar masyarakat tidak gamang terhadap cara menaikan pendapatan negara yang mungkin dianggap kurang tepat.
Mari kita dukung upaya pemerintah dengan pengawasan yang konstruktif dan solutif. Pemerintah yang baik juga harus mendengar segala keluh kesah rakyat.(*)