DINAMIKA politik Jakarta selalu menarik perhatian nasional, terlebih saat ini Jakarta sedang menjalankan tahapan Pilkada. Menarik tak hanya karena posisinya sebagai Ibukota, tetapi juga karena kompleksitas isu-isu yang dihadapi dan peran strategis Jakarta sebagai barometer politik Indonesia yang begitu bergairah.
Di tengah riuhnya kampanye dan debat kandidat, terdapat satu aspek mendasar yang seringkali terabaikan, namun sangatlah penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan yaitu soal kesalehan politik dalam memilih pemimpin.
Hal tersebut bukan sekadar urusan politik praktis, melainkan juga tanggung jawab etis dan spiritual yang besar.
Kesalehan politik, dalam bahasan ini, bukan semata-mata memilih pemimpin mengacu pada latar belakang agama pasangan calon, melainkan lebih menekankan pada integritas moral, kejujuran, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan dalam menjalankan pemerintahan.
Seorang pemimpin yang saleh idealnya akan bersikap adil, amanah, bertanggung jawab, dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Ia tidak tergoda oleh korupsi, nepotisme, atau kepentingan pribadi. Keputusan-keputusan yang diambil selalu berdasarkan pertimbangan yang bijak dan berkonsentrasi pada kesejahteraan masyarakat.
Sayangnya, dalam realitas Pilkada DKI Jakarta, kesalehan politik seperti ini seringkali terpinggirkan. Janji-janji manis dan strategi kampanye yang pragmatis seringkali lebih dominan. Pemilih pun terkadang lebih tergiur oleh popularitas, kekuatan finansial kandidat, atau bahkan isu-isu yang bersifat sentimentil dan memecah belah.
Akibatnya, pemilihan pemimpin kurang didasarkan pada pertimbangan yang rasional dan etis, sehingga berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.
Jakarta membutuhkan pemimpin yang memiliki visi yang jelas dan realistis untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi kota ini. Pemimpin yang mampu membangun Jakarta yang adil, sejahtera, dan berkelanjutan. Pemimpin yang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Pilkada DKI Jakarta menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali arti kesalehan politik. Pemilih perlu lebih kritis dan cerdas dalam memilih pemimpin, tidak hanya terpaku pada janji-janji semu, tetapi juga mempertimbangkan integritas moral dan komitmen kandidat terhadap nilai-nilai kebaikan.
Dengan demikian, Pilkada DKI Jakarta tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga menjadi proses pengembangan demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai kesalehan dan kebaikan. Semoga Pilkada DKI Jakarta dapat menghasilkan pemimpin yang amanah dan mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat Jakarta yang lebih maju.***