KUFAH adalah sumber pemberontakan utama dalam kekhalifahan Utsman bin Affan. Banyak penduduk yang mengeluhkan pejabat-pejabat dan para petinggi kota itu. Mereka marah kepada Sa’d bin Abi Waqqas, dan mereka menuduh Walid bin Uqbah meminum khamar.
Kemudian Utsman mengangkat Sa’id bin al-Ash. “Ketika sudah berada di Kufah, ia berkata kepada penduduk dalam sebuah khotbah, bahwa ia enggan memegang pimpinan itu, dan menyatakan bahwa bencana telah memperlihatkan sosoknya,” tulis Muhammad Husein Haekal dalam bukunya yang diterjemahkan Ali Audah berjudul “Usman bin Affan, Antara Kekhalifahan dengan Kerajaan” (Pustaka Litera AntarNusa, 1987).
Dikisahkan, Sa’id mulai mempelajari keadaan Kufah serta keinginan penduduk, untuk mengetahui sumber penyakit itu. Sesudah keadaan yang sebenarnya diketahui ia menulis surat kepada Utsman melaporkan apa yang dilihatnya di kota itu dengan mengatakan:
“Keadaan penduduk Kufah sudah kacau-balau, dan sudah pula mempengaruhi orang-orang terpandang dan terkemuka, dan kebanyakan penduduk kota itu terdiri dari para pendatang baru, disusul oleh orang-orang Arab pedalaman, sehingga tidak lagi mereka melihat orang terpandang atau pejuang.”
Merespons surat itu, Utsman meminta Sa’id bin Ash mendahulukan para sahabat daripada penduduk Kufah yang lain.
Dalam suratnya ia mengatakan: “Orang-orang lama yang sudah lebih dulu, yang sudah berjasa dan sudah membebaskan negeri itu. Hendaklah orang-orang yang datang ke sana dan yang lain mengikuti mereka, kecuali orang yang sudah meninggalkan kebenaran. Jagalah kedudukan masing-masing dan berikanlah hak mereka semua dengan cara yang adil. Dengan cara mengenal orang, keadilan bisa terpenuhi.”
Kemarahan Penduduk Kufah
Begitu juga khotbah Utsman kepada penduduk Medinah, dengan memberitahukan keadaan di Kufah serta mengingatkan mereka akan timbulnya bencana.
Ia menawarkan kepada mereka untuk memindahkan rampasan perang mereka ke mana saja mereka tinggal di negeri Arab. Penduduk Madinah menyambut baik tawaran itu dengan mengatakan: Bagaimana kami memindahkan tanah yang sudah kami peroleh? “Mereka yang di Hijaz, di Yaman dan di tempat-tempat lain dengan cara menjualnya kalau mau.”
Mereka tampak gembira, Allah telah membukakan jalan buat mereka, di luar dugaan mereka.
Di samping itu, ada sekelompok Muslimin yang mempunyai kekayaan besar di Hijaz. Dengan harta itu mereka membeli tanah di Irak yang terkenal subur itu.
Banyak orang kaya raya yang menimbulkan kemarahan orang-orang Arab yang dulu tinggal di beberapa kota di Irak. Mereka makin benci kepada Utsman dan pejabat-pejabatnya karena mereka tidak mendapat bagian rampasan perang.
Mereka menuntut kepada Khalifah agar jangan memberikan rampasan perang itu selain kepada mereka yang memperolehnya sendiri dalam perang. Begitu juga banyak penduduk kota-kota lain dalam kawasan Islam yang memperlihatkan ketidaksenangan mereka terhadap kebijakan Usman.
Abdullah bin Saba’
Ada beberapa tokoh yang mengambil kesempatan ini untuk membangkitkan kebencian dalam hati orang di kota-kota itu, di antaranya apa yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ – seorang orang Yahudi dari San’a di Yaman yang pada masa Utsman kemudian masuk Islam – yang mengunjungi sejumlah kota dalam kawasan Islam dengan berusaha membangkitkan kemarahan orang kepada Utsman.
Di Basrah banyak orang awam yang terpengaruh oleh seruannya itu. Sesudah hal ini diketahui oleh Abdullah bin Amir, ia dikeluarkan dari kota. Setelah itu ia pergi ke Kufah menyebarkan seruan yang sama. Setelah dari Kufah ia juga kemudian diusir. Ia pergi ke Syam, tetapi oleh Mu’awiyah tak lama ia diusir juga.
Selanjutnya ia pergi ke Mesir dan dari sini ia mulai menyebarkan propagandanya dan mengirimkan orang kepada pengikut-pengikutnya di Basrah dan di Kufah.
Dalam propagandanya itu ia mengatakan bahwa setiap Nabi mempunyai seorang penerima wasiat (mandataris) dan Ali adalah penerima wasiat Muhammad dan penutup para penerima wasiat, seperti Muhammad yang juga penutup para nabi.
Dengan demikian mental orang sudah dipersiapkan, bahwa Utsman telah mengambil kedudukan Khalifah dari Ali sebagai waris karib Rasulullah, secara tidak sah.