JAKARTAMU.COM | Tak sedikit tokoh nasional yang berpendapat bahwa Muhammadiyah sebagai kaki tangan dari Partij Economische Bond (PEB), dan dicap sebagai kaki tangan kapitalis.
Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923)” bab “Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra” menyebut hal ini terjadi karena Muhammadiyah anti-politik.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah selalu menyampaikan dalam propagandanya bahwa organisasi ini adalah organisasi keagamaan dan bukan organisasi politik. Bahkan dikatakan bahwa organisasi ini anti-politik.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan Wafat: Ketika Muhammadiyah Disusupi Komunis
Pada awal 1925, atau bahkan sebelum tahun itu, Partai Syarekat Islam (PSI) atau orang-orang PSI mulai menyadari sejauh mana usaha Muhammadiyah ini.
Meskipun demikian, baru terjadi pada kongres PSI di Pekalongan pada 1928, bahwa PSI sendiri menjaga jarak Muhammadiyah, dengan menerapkan disiplin partai.
Keputusan yang dikaitkan dengan disiplin PSI terhadap Muhammadiyah tidak hanya dianggap sebagai suatu kesalahan oleh Muhammadiyah dan para anggotanya, tetapi juga oleh partai-partai lain.
PSI, yang karena kedisiplinan ini dianggap tidak sama, hanya menjawab dengan ungkapan “hmmmm”. Salah bila menghilang, demikian pendapat para tokoh PSI.
Pada 1927 di wilayah koloni muncul kembali sebuah partai politik, yakni PNI, Partai Nasioalis Indonesia. Juga di Yogyakarta, didirikan sebuah cabang organisasi ini, dengan Mr. Soejoedi sebagai ketua.
Djoko mengatakan bersamaan dengan pendirian PNI di Yogyakarta, dalam tubuh organisasi Muhammadiyah muncul ketakutan terhadap desakan PNI. Ketika di Yogyakarta dibentuk sebuah seksi PPPKI, yang menyatukan organisasi Budi Utomo, PSI dan PNI sebagai mitra, ketakutan Muhammadiyah “menurut pengurus besarnya” sangat besar.
BACA JUGA: Wafatnya KH Ahmad Dahlan: Catatan Soerabajasch Handelsblad
Sejak saat itu, oleh para pengikut Muhammadiyah, khususnya oleh para guru agama mereka yang biasa berkeliling kampung, usaha dimulai dengan memberikan cap keras terhadap pergerakan politik.
Para pemimpin politik di Yogyakarta, yang memahami tindakan tokoh-tokoh Muhammadiyah, mengabaikan hal itu karena semua itu adalah tindakan manusia yang belum mengenal arti politik.
Oleh karena itu, perlu diupayakan untuk mengadakan berbagai rapat umum politik dengan tujuan menginformasikan kepada para tokoh Muhammadiyah yang telah terpengaruh oleh sikap anti-politik Muhammadiyah.
Dalam rapat ini, akan dilakukan propaganda yang dilakukan untuk menjelaskan kepada tokoh Muhammadiyah mengenai arti pentingnya berpolitik.
Segera setelah Muhammadiyah mengetahui bahwa partai-partai politik giat mengadakan propaganda, ketakutan mereka tumbuh dan oleh karenanya mereka mempeoleh keberanian untuk menyiarkan propaganda rahasianya (jika perlu untuk memberikan penjelasan semua pergerakan politik).
BACA JUGA: Islam Modernis: Bagaimana Islam versi KH Ahmad Dahlan Itu?
Ketika itu CPPBD (Comite Penjedar Perasaan Boemipoetra Djocjakarta), sebuah organisasi sosialis warga kampung, didirikan di bawah kepemimpinan Mr. Soejoedi dan dr. Soekiman. Organisasi ini memiliki pengaruh yang sangat besar, sehingga hampir di setiap kampung telah dibentuk sebuah sub-komite dan para tokohnya siap untuk menerbitkan surat kabar Djanget yang terkenal.
Pendirian CPPBD dengan penerbitan Djanget ini menjadi tamparan berat bagi Muhammadiyah, karena pengaruh Muhammadiyah di kampung-kampung semakin menyusut.
Para tokoh partai politik menilai bahwa Muhammadiyah saat ini semakin memburuk. Hal ini menurut pandangan mereka tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
Mereka yang mengenal sifat Muhammadiyah, akan mengetahuinya sendiri. Dari keburukan ini, selanjutnya muncul kebencian terhadap para pemimpin PSI dan PNI, karena dari tokoh-tokoh ini tampak bahwa kursus-kursus Muhammadiyah di kampung-kampung sudah semakin terdesak.
BACA JUGA: Kisah Perjuangan KH Ahmad Dahlan Membendung Zending Kristen
Oleh karena itu Muhammadiyah mulai mempersalahkan Mr. Soejoedi dan Dr. Soekiman, yang mereka katakan bahwa keduanya hanya terlibat dalam pergerakan demi kepentingan praktik mereka sebagai pengacara dan dokter.
Hal inilah yang saat itu disebarkan ke mana-mana di hampir setiap kampung. Juga dalam rapat di desa-desa, semua ini disebarluaskan oleh para guru tablig Muhammadiyah.
Secara singkat disampaikan; nama kedua pejuang ini dianggap jelek oleh para pengikut Muhammadiyah. Juga mereka tidak lupa mencerca surat kabar Djanget, dengan berkata bahwa organ ini telah membawa orang-orang menuju Digul.
Hal ini merupakan taktik Muhammadiyah, dengan tujuan untuk melakukan reaksi terhadap pergerakan politik.
Apabila ditanyakan kepada para pemimpin Muhammadiyah tentang politik, mereka akan menjawab: Muhammadiyah tidak ikut campur dalam politik, tetapi membebaskan anggotanya untuk bergerak di ranah politik.
Dengan memperhatikan jawaban ini, Muhammadiyah tidak merintangi pergerakan politik, tetapi praktiknya menunjukkan kebalikannya. Diungkapkan bahwa mereka memang tidak membuat propaganda anti-politik, tetapi di antara puluhan ribu anggotanya ada yang terlibat dalam gerakan politik.
Pendapat itu hanyalah merupakan sanggahan saja, karena banyak anggota Muhammadiyah yang bukan anggota partai politik.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan Mengubah Kauman: Kisah Berdirinya Masjid-Masjid Perempuan
Para tokoh terkejut ketika seorang anggota Muhammadiyah bergerak di bidang politik atau menjadi anggota suatu organisasi politik seperti Budi Utomo, PNI, Pasundan (kecuali PSI karena organisasi ini tidak mau menerima anggota Muhammadiyah).
Di Yogyakarta ribuan orang menjadi anggota Muhammadiyah, tetapi mereka tidak pernah mendengar istilah “politik”, atau mereka mengambil sikap yang sangat berlawanan. Mereka setidaknya tidak terpengaruh sedikit pun.
Oleh karena itu, dikatakan dengan pasti bahwa Muhammadiyah dan anggotanya sangat antipolitik atau setidaknya menghambat pergerakan politik, yang berjuang bagi kemerdekaan Indonesia.
Siapa yang masuk Muhammadiyah pasti akan menyesal apabila dia tidak anti-politik atau tidak menjaga jarak dari dunia politik.
Menurut Djoko, hal ini sudah jelas dan di mana-mana terbukti di semua tempat dan daerah, bahwa tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah organisasi non-politik. Atas dasar hal itu, kebebasan diberikan bagi perluasan Muhammadiyah.
Hal ini berarti bahwa telah terjadi penyusutan semangat nasionalis atau melemahnya jiwa nasionalis orang Indonesia, yang kini sibuk dibangkitkan dan diarahkan untuk kemerdekaan Indonesia.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Tidak Alergi terhadap Politik
Untuk menjawab pertanyaan yang muncul apa alasan bahwa Muhammadiyah takut terhadap politik, menurut versi pengurus pusatnya dijelaskan sebagai berikut:
Keberadaan Muhammadiyah tergantung pada subsidi, dan dengan demikian apabila mereka tidak menerima subsidi, segera akan kehabisan energi.
Dalam suatu pergerakan yang terikat dengan uang, yang tidak berasal dari “keringat nasionalis” (terutama ketika donaturnya memiliki kekuasaan atas negara dan bangsa) tidak mungkin bila semua kegiatannya tidak mengikuti selera dari pemberi bantuan itu, dan Muhammadiyah akan tetap patuh akan prinsip tersebut.
Bukankah ini bisa disebutkan sebagai pengikut PEB, yang merupakan unsur kapitalis.
Dari Bintang Islam, yang berada di bawah kepemimpinan sejumlah anggota pengurus pusat Muhammadiyah, terlihat sisi mana yang dianut oleh Muhammadiyah. Apa yang jelas ditunjukkan adalah: pergerakan politik di semua tempat di mana Muhammadiyah berada mengalami perlawanan sengit.
BACA JUGA: Membaca Pengajaran KH Ahmad Dahlan: Menolak Mistik Sufi