JAKARTAMU.COM | Mirza Ghulam Ahmad sebagai pendiri aliran Ahmadiyah, mulai aktif menangkis serangan-serangan kaum propagandis Hindu dan kaum misionaris Kristen terhadap Islam.
Di samping itu, ia juga aktif berdakwah dengan mengadakan pembaharuan pemahaman keagamaan di kalangan masyarakat luas. Sudah barang tentu, keyakinan dan ajaran Islam yang didakwahkannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikenal dan diketahui oleh umat Islam pada umumnya.
Abul-A’la al-Maududi dalam bukunya berjudul “Ma Hiyal-Qadiyaniyyah” (Beirut: Darul-Qalam Kuwait, 1969) menjelaskan bahwa Mirza dalam 1880, pernah menyatakan dirinya sebagai Wali Allah yang paling utama bagi ummat saat itu, sehingga mengundang reaksi yang cukup keras, kemudian ia kembali meredam kemarahan mereka.
“Ia berusaha menakwilkan pernyataannya itu, agar mereka dapat menerima penjelasannya akan kebenaran apa yang diyakininya itu,” ujar Al-Maududi.
Timbulnya reaksi keras tersebut amatlah mungkin, karena pernyataannya yang dipandang aneh oleh masyarakat yaitu, bahwa untuk membangun suatu ummat yang telah mengalami kemunduran sebagaimana yang ia hadapi waktu itu masih diperlukan wahyu Tuhan (yang baru).
Oleh karena itu, ia menyatakan bahwa wahyu itu tidak terbatas di masa lampau saja, tetapi Tuhan tetap berfirman kepada siapa saja yang dipilih-Nya sampai hari ini.
Selain itu, di saat yang sama, Maulana Muhammad Ali dalam buku “Mirza Ghulam Ahmad of Qadian, His Life and Mission, (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha’at Islam, 1959), menambahkan ia pun menyatakan bahwa dirinya adalah Mujaddid atau renovator abad ke-14 H, karena ia merasa telah ditunjuk oleh Tuhan untuk mempertahankan Islam.
Di tahun itu pula, pernyataan-pernyataannya yang mengejutkan itu dikumpulkannya sendiri menjadi sebuah buku dan baru diterbitkan di tahun 1884 yang dikenal dengan Barahin Ahmadiyah.
Dalam buku ini dibicarakan pula tentang kebenaran Islam yang lebih bersifat apologis terutama berupa tangkisan-tangkisan Mirza Ghulam Ahmad terhadap serangan-serangan kaum Arya Samaj, Brahmo Samaj, dan kaum misionaris.
Dalam merealisasikan ide pembaharuannya, Mirza di awal Desember 1888, dengan cara terang-terangan menyatakan dirinya telah mendapat perintah dari Tuhan untuk menerima bai’at dari jamaatnya. Dengan cara ini, rupanya ia ingin menghimpun suatu kekuatan yang dapat menopang misi dan cita-cita kemahdiannya guna menyerukan Islam ke seantero dunia.
Menurut keyakinannya, mempertahankan dan mempropagandakan Islam tidak akan berhasil tanpa suatu organisasi yang kuat. Untuk maksud yang terakhir ini, ia memerlukan bai’at atau janji setia dari para pengikutnya.
Sesudah diadakan pembai’atan, ia mengorganisasikan mereka menjadi suatu aliran baru dalam Islam dengan nama Jemaat Ahmadiyah.
“Nama Ahmadiyah, tampaknya bukan diambil dari nama pendiri aliran ini, akan tetapi menurut Mirza nama tersebut diambil dari salah satu nama-nama Rasulullah,” demikian penjelasan Maulana Muhammad ‘Ali.
Tentunya nama tersebut diambil dari Surah as-Saf: 6, yang isinya memuat informasi Nabi ‘Isa kepada Bani Israil, bahwa sesudahnya nanti akan datang seorang nabi yang bernama Ahmad.
Anehnya, Mirza sendiri kemudian mengklaim nama sebagai yang disebutkan dalam as-Saf: 6 tersebut, adalah dirinya yang diutus oleh Tuhan untuk menunaikan tugas kemahdiannya.
Mengundang Reaksi Keras
Adapun pernyataan Mirza yang mengejutkan dan sekaligus mengundang reaksi keras adalah sebagaimana dinukil dalam buku “Itmamul-Hujjah’alal-Lazi Lajja wa Zaga’anil-Mahajjah” karya Mirza Ghulam Ahmad, (Lahore: Kalzar Muhammadi, 1311 H) sebagai berikut:
“Di antara beberapa pengajaran dan pemahaman yang diberikan kepadaku (oleh Tuhan), ialah bahwa al-Masih ibn Maryam itu telah wafat secara alamiah seperti wafatnya para rasul lain. Dan Tuhan telah memberitahukan kepadaku (dengan firman-Nya);
“Bahwa al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan dan ditunggu-tunggu itu adalah engkau (Mirza) dan Kami (Allah) melakukan apa yang Kami kehendaki, dan janganlah engkau tergolong orang-orang yang membuat kedustaan”.
Allah berfirman lagi: “Sungguh Kami (Allah) menjadikan engkau sebagai al-Masih ibn Maryam.” Maka Allah pun melimpahkan keindahan rahasia-Nya dan menjadikan aku dapat melihat masalah-masalah yang sekecil-kecilnya.”
Muslih Fathoni dalam bukunya berjudul “Faham Mahdi Syi’ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif” (RajaGrafindo Persada, 1994) mengatakan pengakuan sebagai al-Mahdi dan sekaligus merupakan penjelmaan ‘Isa al-Masih. yang menerima wahyu secara berulang-ulang dan berkesinambungan, demikian Mirza, adalah merupakan pengalaman rohaniah yang menenangkan hatinya.
“Akan tetapi, justru pengakuan tersebut menggelisahkan umat Islam, sehingga ia dan para pengikutnya dituduh sebagai pembawa bid’ah dan karenanya mereka dikucilkan dari komunitas Muslim dan bahkan dipandang telah keluar dari Islam,” ujarnya.
Dari kenyataan di atas, aliran yang baru lahir ini harus menghadapi gelombang permusuhan yang dahsyat terutama dari intern umat Islam sendiri, di samping ia harus menghadapi tantangan dari kaum misionaris Kristen dan para propagandis Hindu.
Terpisahnya kaum Ahmadiyah dari komunitas Muslim, mendorong pendiri aliran ini memikirkan nasib para pengikutnya yang dikenal dalam masyarakat sebagai golongan Mirzais atau Qadianis, dan sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan menjadi suatu kelompok aliran baru dalam Islam.
Nama “Ahmadiyah,” oleh Mirza diumumkan penggunaannya secara resmi pada tanggal 4 November 1900, dan sejak itulah nama aliran ini dimasukkan dalam catatan resmi pemerintah kolonial Inggris.