JAKARTAMU.COM | Dulu, kita mengenal komika sebagai pahlawan tawa. Mereka berdiri di atas panggung, melontarkan punchline yang disusun rapi, bermain dengan diksi dan timing untuk mengocok perut penonton. Tapi kini, panggung itu telah direbut. Bukan oleh sesama pelawak, melainkan oleh para pejabat yang tanpa sadar telah menjadi maestro komedi absurd.
Sungguh, kasihan para komika Indonesia. Mereka harus menguras otak untuk menulis materi, mengasah delivery, bahkan menghadapi sensor ketat atas materi yang terlalu kritis. Sementara di sisi lain, para pejabat dengan santai melontarkan komentar-komentar ajaib yang langsung viral, mengundang gelak tawa, meski tak ada niat melawak.
Ketika Pejabat Jadi Bintang Komedi
Coba saja perhatikan. Dari tahun ke tahun, kita disuguhi berbagai pernyataan yang membuat alis naik, mulut menganga, lalu akhirnya tertawa miris. Seorang pejabat pernah menyarankan rakyat untuk makan nasi kucing agar tetap kenyang di tengah krisis ekonomi. Yang lain menyebut harga-harga kebutuhan naik karena rakyat semakin makmur. Tak ketinggalan, ada pula pejabat yang dengan serius menyarankan pelajar mengganti sepatu dengan sandal jepit untuk mengurangi kemiskinan.
Komika mana yang bisa menandingi kreativitas semacam ini? Butuh bertahun-tahun pengalaman di dunia komedi untuk menghasilkan materi selevel absurditas tersebut. Namun, para pejabat melakukannya secara spontan. Tanpa latihan. Tanpa persiapan. Mereka berbicara dengan ekspresi serius, tanpa tertawa, seolah-olah mereka benar-benar yakin dengan apa yang mereka katakan. Dan di situlah letak puncak ironi: kelucuan mereka bukan hasil niat, tapi hasil ketidaksadaran.
Jika komika membangun humor dengan logika yang cerdas, para pejabat melucukan diri dengan logika yang kadang tak masuk akal. Jika komika berusaha menggambarkan realitas dengan cara yang jenaka, para pejabat justru membelokkan realitas menjadi lelucon yang menyedihkan.
Komedi di Tengah Ketimpangan
Ironi terbesar dari komedi pejabat ini adalah kenyataan bahwa di balik kelucuan tersebut, ada penderitaan yang nyata. Ketika seorang pejabat bercanda soal harga pangan yang naik, ada keluarga yang benar-benar harus mengurangi makan. Ketika ada yang dengan santai menyuruh rakyat berhemat dengan makan singkong, ada jutaan orang yang bahkan tak punya akses pada makanan pokok yang layak.
Di dunia stand-up comedy, ada istilah “punching up”—mengolok pihak yang lebih berkuasa untuk membela yang tertindas. Para pejabat kita justru melakukan “punching down”, melontarkan humor yang justru menertawakan penderitaan rakyat. Ini bukan sekadar komedi biasa. Ini adalah satire nyata yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Pejabat yang seharusnya memberikan solusi justru melempar guyonan yang menunjukkan betapa jauhnya mereka dari realitas. Mereka tak sadar bahwa tawa publik bukan karena kelucuan yang disengaja, melainkan sebagai bentuk keputusasaan. Ketika hidup semakin sulit, kadang tertawa menjadi satu-satunya cara untuk bertahan.
Saat Komika Harus Bertahan di Tengah Sensor
Sementara itu, para komika profesional menghadapi tantangan yang semakin besar. Banyak materi mereka yang harus disensor, dibatasi, bahkan bisa berujung pelaporan jika terlalu tajam. Komika yang mengkritik kebijakan dengan gaya humor bisa dianggap menghasut. Mereka yang mengolok pejabat dengan jeli bisa dikategorikan menyebarkan hoaks.
Di sisi lain, para pejabat bisa dengan bebas melontarkan pernyataan nyeleneh tanpa konsekuensi. Jika ada yang protes, mereka cukup bilang, “Itu hanya bercanda!” Atau lebih klise lagi, “Pernyataan saya dipotong dan dikutip di luar konteks.”
Lalu siapa sebenarnya komika sejati di negeri ini? Yang harus bersusah payah membuat lelucon atau yang bisa menciptakan komedi hanya dengan sebuah konferensi pers?
Komedi yang Tidak Lagi Lucu
Masalahnya, ada batas antara humor dan kebodohan. Jika dulu humor digunakan untuk mengkritisi realitas, kini humor menjadi selubung untuk menutupi kenyataan. Pernyataan nyeleneh pejabat sering kali digunakan untuk mengalihkan isu, untuk membuat rakyat lupa bahwa mereka sebenarnya sedang dikendalikan oleh narasi yang membingungkan.
Humor yang sehat adalah humor yang mengundang kesadaran, bukan yang memperpanjang kebingungan. Pejabat yang baik adalah pejabat yang bekerja dengan serius, bukan yang sibuk melontarkan komentar-komentar ajaib tanpa solusi.
Jika para pejabat benar-benar ingin menghibur rakyat, bukan dengan kata-kata absurd, tetapi dengan kebijakan yang benar-benar menyejahterakan. Karena sejatinya, rakyat tidak butuh lelucon dari penguasa—mereka butuh keadilan.
Siapa yang Harusnya Kita Tertawakan?
Pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih bisa tertawa dengan keadaan ini, atau justru kita sedang tertawa karena sudah kehabisan cara untuk menangis?
Komika sejati adalah mereka yang berusaha menyuarakan realitas dengan cerdas dan kritis, bukan mereka yang berbicara tanpa berpikir dan menganggap enteng masalah rakyat.
Jika hari ini para pejabat lebih lucu dari komika, maka ini bukan lagi sekadar lelucon. Ini adalah tanda bahwa ada yang sangat salah dalam negeri ini.
Dan dalam panggung besar kehidupan ini, satu hal yang pasti: ketika komedi tidak lagi berasal dari seni, melainkan dari kebijakan yang kacau, maka tragedi hanya tinggal menunggu giliran. (Dwi Taufan Hidayat)