Selasa, April 1, 2025
No menu items!
spot_img

Ketika Perampasan Aset Koruptor Ditunda, Pasal Penghinaan Presiden Digolkan

Must Read

JAKARTAMU.COM | Dalam dinamika politik dan hukum di Indonesia, keputusan legislatif sering kali menuai pro dan kontra. Baru-baru ini, muncul kontroversi besar ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Koruptor kembali tersendat, sementara pasal penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara justru disahkan dengan cepat.

Situasi ini memunculkan kekecewaan publik yang merasa bahwa kepentingan rakyat dikesampingkan demi melindungi segelintir elite.

Perampasan Aset Koruptor: Harapan yang Terus Ditunda

Perampasan aset koruptor merupakan salah satu instrumen penting dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya regulasi ini, negara dapat mengambil kembali aset yang diperoleh dari hasil kejahatan korupsi tanpa harus menunggu vonis pidana yang berkekuatan hukum tetap. Tujuannya jelas, yaitu memiskinkan koruptor dan mengembalikan uang negara yang dicuri.

Namun, hingga kini, RUU Perampasan Aset Koruptor masih terkatung-katung. Berbagai alasan terus dikemukakan, mulai dari belum adanya kesepahaman politik hingga kekhawatiran adanya penyalahgunaan kewenangan. Ironisnya, penundaan ini terjadi di tengah semakin maraknya kasus korupsi yang merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.

Beberapa Poin Utama terkait Pentingnya RUU Perampasan Aset Koruptor:

  1. Mempercepat pengembalian uang negara yang dirampas oleh para koruptor tanpa harus melalui proses hukum yang berlarut-larut.
  2. Mencegah pelarian aset ke luar negeri dengan segera menyita harta yang diduga berasal dari hasil kejahatan.
  3. Menimbulkan efek jera bagi para pejabat dan pengusaha yang berniat melakukan korupsi.
  4. Mengurangi beban negara dalam membuktikan tindak pidana korupsi hingga tahap final di pengadilan.

Namun, kendala utama dari pengesahan RUU ini adalah kuatnya perlawanan dari berbagai pihak yang merasa terancam. Banyak pihak menilai bahwa para elite politik, yang sebagian besar berpotensi terjerat aturan ini, enggan mendukung kebijakan yang bisa membatasi ruang gerak mereka.

Pasal Penghinaan Presiden: Kecepatan yang Mencurigakan

Sementara RUU Perampasan Aset Koruptor terus tertahan, pasal penghinaan presiden dan pejabat negara justru melenggang dengan cepat. Pasal ini menimbulkan kekhawatiran besar karena berpotensi membungkam kritik dan membatasi kebebasan berpendapat.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa siapa pun yang dianggap menghina presiden atau pejabat negara dapat dikenai sanksi hukum. Padahal, kritik terhadap pemerintah merupakan bagian dari demokrasi yang sehat dan dijamin dalam konstitusi. Dengan adanya pasal ini, banyak pihak khawatir bahwa ruang kebebasan berekspresi semakin menyempit.

Beberapa dampak negatif yang dikhawatirkan dari pasal ini:

  1. Membungkam kritik terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak pada rakyat.
  2. Meningkatkan otoritarianisme, di mana pemerintah memiliki kendali lebih besar dalam membungkam lawan politik.
  3. Berpotensi multitafsir, karena definisi “penghinaan” bisa sangat subjektif dan digunakan sebagai alat represi.
  4. Melanggar prinsip demokrasi, di mana rakyat seharusnya memiliki hak untuk mengkritik pemimpin mereka tanpa takut dikriminalisasi.

Dewan Perwakilan Rakyat: Wakil Rakyat atau Pengkhianat Rakyat?

Melihat perbedaan kecepatan dalam membahas dua aturan ini, wajar jika masyarakat mempertanyakan keberpihakan para wakil rakyat di parlemen. Mengapa sebuah aturan yang bertujuan mengembalikan uang negara dari koruptor begitu sulit disahkan, sementara aturan yang berpotensi menghambat kebebasan berpendapat begitu mudahnya diundangkan?

Kekecewaan terhadap parlemen semakin memuncak. Banyak masyarakat merasa bahwa anggota legislatif lebih mementingkan kepentingan sendiri dan kelompoknya daripada rakyat yang mereka wakili. Julukan “Dewan Pengkhianat Rakyat” pun semakin sering terdengar di berbagai forum diskusi publik dan media sosial.

Fenomena ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi masih menghadapi banyak tantangan, terutama dari dalam sistem politik itu sendiri. Jika pemerintah dan parlemen benar-benar ingin mewujudkan tata kelola negara yang bersih, maka pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor seharusnya menjadi prioritas utama, bukan malah membungkam kritik dengan pasal penghinaan presiden.

Rakyat berhak mendapatkan keadilan. Jika suara mereka terus dibungkam, lalu kepada siapa lagi mereka harus berharap?

Es Gempol: Kuliner Jadul yang Masih Eksis di Tengah Modernisasi

JAKARTAMU.COM | Di tengah gempuran aneka minuman kekinian yang beredar luas di pasaran, ada satu kuliner jadul yang...

More Articles Like This