JAKARTAMU.COM | Dulu, seorang anak yang bercita-cita menjadi dokter, insinyur, atau dosen akan mendapat senyuman bangga dari orang tuanya. Profesi ini melambangkan kesuksesan, kehormatan, dan dedikasi. Mereka yang menempuh jalur akademik panjang dipercaya akan meraih kehidupan yang mapan.
Namun, zaman telah berubah. Profesionalisme kini menghadapi paradoks menyedihkan: semakin tinggi ilmu, semakin besar pengabdian—namun, semakin kecil apresiasi dalam bentuk kesejahteraan.
Dokter yang berjaga siang malam, bertaruh nyawa di ruang operasi, tetap harus menghitung setiap rupiah di akhir bulan. Dosen yang mengabdikan diri untuk mencerdaskan generasi justru dihargai lebih rendah dibandingkan para pekerja informal.
Sistem yang mengatur tarif tenaga medis kian menekan. Para dokter harus menerima kenyataan bahwa penghasilan mereka tidak sepadan dengan pengorbanan dan pendidikan panjang yang mereka tempuh.
Sementara di dunia akademik, banyak dosen bergelar doktor atau profesor yang masih bergaji minim, bahkan ada yang harus mencari tambahan penghasilan di luar institusi pendidikan.
Ilmu, integritas, dan pengabdian kini menjadi barang murah di negeri sendiri.
Ketika Profesi Tanpa Kejelasan Justru Diguyur Kekayaan
Di sisi lain, muncullah fenomena baru: profesi yang samar, tanpa kejelasan keilmuan dan tanggung jawab, tetapi justru mendatangkan kekayaan luar biasa.
Buzzer—sebuah istilah yang dulunya tidak lebih dari sekadar suara elektronik di perangkat, kini menjadi pekerjaan yang mengubah peta sosial dan ekonomi. Tanpa perlu gelar akademik, tanpa masa studi panjang, mereka bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar daripada dokter atau dosen.
Tugas mereka sederhana: membentuk opini. Mengangkat citra seseorang, menyerang lawan politik, menciptakan narasi yang bisa saja benar, tetapi lebih sering berisi manipulasi. Dengan modal ponsel dan jaringan internet, mereka bisa mengendalikan persepsi publik, menentukan siapa yang harus dijatuhkan dan siapa yang harus diangkat.
Ironisnya, dari profesi yang samar ini, uang mengalir deras. Mereka tidak sekadar mendapat bayaran besar, tetapi juga posisi strategis. Beberapa buzzer bahkan diangkat menjadi pejabat atau diberi pangkat militer, bukan karena keahlian yang relevan, melainkan karena “kekuatan” mereka di dunia maya.
Masyarakat yang Tersihir, Kebenaran yang Terpinggirkan
Yang lebih menyedihkan, masyarakat mulai kehilangan orientasi. Mereka lebih mengagumi buzzer daripada ilmuwan. Mereka lebih mempercayai yang viral daripada yang kredibel.
Konten yang penuh emosi lebih cepat menyebar daripada data yang akurat. Narasi yang menggugah kemarahan lebih menarik dibandingkan kajian ilmiah yang tenang dan mendalam.
Hal ini menciptakan paradoks yang berbahaya. Negeri ini dibangun oleh para profesional—dokter yang menyelamatkan nyawa, insinyur yang membangun infrastruktur, dosen yang mencetak generasi penerus. Tetapi kini, suara mereka kalah oleh algoritma, oleh tren yang diciptakan buzzer.
Kita menyaksikan realitas yang menyakitkan:
Dokter dihormati, tapi hidup pas-pasan.
Dosen dihargai di forum ilmiah, tapi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Buzzer hanya bermain kata dan algoritma, tetapi hidup mewah, dielu-elukan, dan diberi panggung besar.
Bangsa yang Lupa pada Ilmu, Menuju Kehancuran
Jika keadaan ini terus berlanjut, Indonesia hanya akan menjadi bangsa yang berjalan tanpa arah. Kita mungkin akan terus bergerak, tetapi tidak akan pernah benar-benar maju.
Karena kemajuan bukan ditentukan oleh yang paling berisik, melainkan oleh mereka yang bekerja dengan ilmu dan integritas. Sebuah negara tidak akan pernah makmur jika lebih menghargai sensasi dibanding substansi, lebih mengagungkan yang viral dibanding yang kredibel.
Selama profesionalisme masih diabaikan dan kebenaran masih ditenggelamkan oleh kepentingan buzzer, kita sedang menggali lubang kehancuran kita sendiri.
Real job, miserable income. Vague job, remarkable income.
Inilah wajah zaman kita.
Dwi Taufan Hidayat