Senin, Maret 10, 2025
No menu items!
spot_img

Pelamar Kerja Disuruh Buat SKCK, tapi Pejabatnya Bekas Tahanan KPK

spot_img
Must Read

Ketimpangan Sosial dalam Sistem Rekrutmen: Antara Etika dan Realitas Politik

JAKARTAMU.COM | “Pelamar Kerja Disuruh Buat SKCK, tapi Pejabatnya Bekas Tahanan KPK”. Begitu meme goresan tangan citizen. Kalimat satir itu jelas menyoroti kontradiksi yang mencerminkan ketimpangan sosial dalam sistem rekrutmen tenaga kerja dan standar ganda dalam pemerintahan. Fenomena ini membuka diskusi mengenai etika sosial, keadilan dalam hukum, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

  1. Ketimpangan Sosial dan Standar Ganda dalam Rekrutmen
    Dalam teori sosiologi, ketimpangan sosial didefinisikan sebagai perbedaan akses terhadap sumber daya, kesempatan, dan keistimewaan yang terjadi dalam masyarakat. Menurut Pierre Bourdieu, ketimpangan ini terbentuk dari modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik yang dimiliki individu atau kelompok tertentu.

Dalam konteks rekrutmen kerja, syarat seperti Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) menjadi mekanisme untuk memastikan bahwa pelamar memiliki rekam jejak hukum yang bersih. Namun, ironi muncul ketika pejabat yang memiliki rekam jejak korupsi dapat kembali menduduki jabatan strategis tanpa hambatan berarti.

Teori Ketidakadilan Hukum yang dikemukakan oleh John Rawls menyatakan bahwa keadilan harus memastikan bahwa hukum diterapkan secara fair kepada semua lapisan masyarakat. Namun, dalam realitasnya, hukum sering kali berpihak kepada kelompok elite yang memiliki kekuasaan dan akses ke jejaring politik.

  1. Korupsi dan Normalisasi Kejahatan Politik
    Rocky Gerung, seorang filsuf dan kritikus politik, pernah menyinggung fenomena ini sebagai bagian dari “kerusakan epistemologi hukum”. Artinya, ada proses sistematis dalam masyarakat yang mengaburkan batasan antara yang benar dan yang salah.

Menurut Rocky Gerung:

“Ketika koruptor masih bisa memegang jabatan, itu bukan hanya soal hukum, tetapi soal moralitas yang dibentuk oleh sistem yang korup.”

Pengamat lain, Franz Magnis-Suseno, menambahkan bahwa normalisasi korupsi dalam politik membentuk suatu “moralitas terbalik”, di mana kejahatan politik dianggap sebagai kesalahan teknis semata, bukan pelanggaran moral serius.

Dalam pandangan Émile Durkheim, masyarakat yang terbiasa dengan standar ganda ini akan mengalami anomie, yaitu keadaan di mana norma dan aturan sosial kehilangan otoritasnya, sehingga kepercayaan terhadap institusi negara melemah.

  1. Krisis Kepercayaan Publik terhadap Institusi
    Menurut survei Transparency International, Indonesia sering kali menghadapi indeks persepsi korupsi yang buruk, dengan banyaknya pejabat yang tersandung kasus suap dan penyalahgunaan wewenang.

Ketika individu biasa diwajibkan memenuhi standar hukum yang ketat, tetapi pejabat yang memiliki rekam jejak korupsi masih bisa menjabat, publik kehilangan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan.

Teori Legitimasi Kekuasaan dari Max Weber menjelaskan bahwa legitimasi suatu pemerintahan bergantung pada keyakinan rakyat terhadap keadilan hukum dan etika politik. Jika kepercayaan ini hilang, maka otoritas pemerintah menjadi rapuh dan berpotensi menimbulkan ketidakstabilan sosial.

  1. Implikasi Sosial dan Tanggung Jawab Negara
    Pakar etika pemerintahan, Komaruddin Hidayat, menegaskan bahwa pemerintah harus memulihkan kepercayaan publik dengan menegakkan standar etika yang konsisten.

Sebagai solusi, beberapa langkah yang dapat diterapkan untuk mengatasi ketimpangan ini antara lain:

  1. Menetapkan aturan yang melarang eks-koruptor untuk menduduki jabatan publik.
  2. Memperbaiki sistem rekrutmen ASN dan pejabat negara agar lebih transparan.
  3. Meningkatkan partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan pemerintah.
  4. Mengadopsi sistem meritokrasi dalam seleksi pejabat negara.

Kesimpulan
Tulisan dalam gambar di atas bukan sekadar sindiran, tetapi cerminan realitas sosial yang membutuhkan refleksi mendalam. Jika masyarakat dibiarkan terus-menerus menyaksikan standar ganda dalam hukum dan pemerintahan, maka krisis kepercayaan publik akan semakin memburuk.

Sebagaimana dikatakan oleh Rocky Gerung,

“Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang tidak mengizinkan orang-orang busuk kembali berkuasa.”

Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah sistem ini adil, tetapi apakah kita siap memperjuangkan perubahan yang lebih baik? (Dwi Taufan Hidayat)

spot_img

Jangan Hanya Bermimpi, Wujudkan dengan Amal

JAKARTAMU.COM | Setiap manusia pasti menginginkan yang terbaik dalam hidupnya. Kita bercita-cita untuk sukses, ingin rezeki yang berlimpah, ingin...

More Articles Like This