JAKARTAMU.COM | KH Ahmad Dahlan tinggal di salah satu lingkungan di kota Kesultanan Yogyakarta, yaitu di kampung Kauman. Kompleks ini merupakan kompleks tempat tinggal dengan jalan-jalan sempit dan tembok putih tegak, sehingga sering sulit bagi orang asing untuk memasukinya.
Suasana hening dan khusuk mendominasi kehidupan pemukimnya dan selalu tenang, sehingga orang menduga penduduknya menarik diri dalam kehidupan batin di kamar-kamar yang setengah gelap.
Di sini di dekat masjid agung yang menjulang di balik rumah-rumah rendah, tinggal jemaat yang patuh, umat Islam yang tetap berpegang pada keyakinannya dan khusuk dalam memenuhi kewajiban keagamaannya.
Kebanyakan mereka adalah orang Jawa yang pekerjaannya berdagang. Mereka termasuk dalam kelompok kelas menengah, yang memiliki mata pencarian sebagai pedagang batik.
BACA JUGA: Membaca Pengajaran KH Ahmad Dahlan: Menolak Mistik Sufi
Kegiatan perdagangan inilah yang membawa masyarakat yang tinggal di daerah itu tidak mengalami kekurangan.
Di daerah ini banyak tinggal kaum ulama, imam, khatib, modin dan para pegawai masjid lainnya.
Berdasarkan hak istimewa lama yang diperoleh dari Sultan, umat Islam boleh tinggal di kampung ini, yang menyisihkan orang Cina dan Kristen dari wilayah itu.
Hiburan duniawi seperti gamelan dan tari-tarian ledek dilarang masuk ke kampung ini.
Pada bulan Puasa, tidak seorang pun diizinkan makan, minum atau merokok secara terbuka di tempat publik. Ketika seseorang jelas dengan sengaja mengabaikan kewajiban agama Islam, kepadanya dijelaskan bahwa sebaiknya pindah ke tempat lain. Kampung itu kini disebut sebagai kampung Kauman.
Jika menjelang petang orang memasuki jalan-jalan di kampung Kauman, dari setiap rumah akan terdengar lantunan pembacaan ayat Qur’an dan melalui pintu yang sedikit terbuka, yang diterangi lampu, orang bisa melihat anak-anak laki dan perempuan sibuk belajar membaca kitab al Qur’an.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan: Semua Karya yang Baik, Tanpa Komitmen Kepada Ajaran Islam Akan Sia-Sia
Orang melihat kaum pria dan wanita saling berhadapan, di jalan menuju masjid untuk melaksanakan ibadahnya di kampung itu.
Kaum wanita selalu terlihat memakai rukuh putih di atas pundaknya. Namun, kehidupan ini, yang tampaknya jauh dari kehidupan duniawi memiliki latar belakang sejarahnya, karena di kampung Kauman di kota Yogyakarta organisasi Muhammadiyah yang meskipun pada mulanya kecil, sekarang membentang dengan cabang-cabangnya di hampir semua pulau Hindia Belanda dan menjadi organisasi keagamaan yang terkuat dan terluas di Hindia Belanda.
Tempat paling menarik di Kauman adalah di mana di sebuah tempat sempit di belakang pagar besi tinggi, terdapat sebuah bangunan baru berwarna putih dan kecil.
Ini adalah masjid perempuan, sebuah rumah ibadah yang hanya diperuntukkan bagi kaum wanita.
Bangunan dalamnya mirip dengan masjid biasa. Melalui pintu yang agak terbuka orang bisa melihat ruang dalamnya yang seluruhnya kosong dan hanya digunakan untuk salat.
Lantai marmer sebagian tertutup dengan tikar. Di tembok belakang berwarna putih, dibangun sebuah mighrab.
Mengingat masjid ini menghadap ke kiblat, mighrab di tembok itu diarahkan menghadap barat laut yang menunjukkan kiblat yang tepat. Tikar di lantai karena alasan yang sama sedikit bergeser.
Pada tiga sisi bangunan ini sebuah beranda kecil terbuka disediakan untuk melakukan salat apabila pengunjungnya banyak.
BACA JUGA: Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mematikan Lampu ketika KH Ahmad Dahlan Bertamu
Di beranda depan ditemukan kentongan, sebuah potongan kayu dilubangi yang terbuat dari kayu nangka, yang dipukul dengan palu yang terbuat dari kayu juga.
Seorang wanita tua bertugas memukul kentongan secara rutin bila waktu salat tiba.
Di beranda selatan terdapat sebuah keranda mayat (bandosa) yang diserahkan sebagai wakaf oleh seseorang yang saleh dan digunakan untuk mengusung jenazah apabila seorang wanita meninggal dunia.
Pada sisi utara masjid, yang dipisahkan melalui sebuah gang tertutup atap, terdapat bangunan tambahan. Pertama-tama terdapat sebuah ruang terbuka di sisi depan di mana sebuah sumur dan bak berlapis semen yang diisi dengan air.
Di sini kaum wanita membasuh kaki mereka. Selain itu ada sebuah ruang yang tertutup dengan pintu di mana disediakan air untuk wudhu atau untuk mandi bagi kaum wanita, khususnya ketika saat salat telah tiba.
Sebelum masuk ke masjid, tanpa perlu melakukan wudhu di rumah atau karena sebab lain karena sedang berada dalam kondisi tidak suci.
Pada ujung gang tertutup antara masjid dan bangunan tambahan. Pada malam hari tampak seorang wanita tua yang tuli sebagai petugas kebersihan masjid tidur.
Tugas yang diembannya adalah memukul kentongan lima kali sehari pada saat tibanya waktu salat secara rutin. Ia tidak akan jauh pergi dari masjid itu, karena baik subuh, siang, sore maupun malam harus menjalankan tugasnya.
BACA JUGA: Kristen Muhammadiyah Sudah Terjadi sejak KH Ahmad Dahlan
Dengan bermalam di masjid sini, biasanya beberapa wanita tua lainnya tidur di situ, atau bila ada wanita pedagang dari kota lain yang akan menginap di Yogyakarta, dapat menginap di tempat itu.
Setiap petang antara salat magrib dan salat isyak, di masjid perempuan ini diberikan pelajaran agama. Sampai tahun 1930 seorang kiai melaksanakan tugas itu, tetapi sejak itu dia melimpahkan tugas ini kepada dua orang perempuan yang saling bergantian.
Pendengarnya adalah wanita dewasa, kebanyakan wanita tua. Siapa yang datang ke masjid pada saat itu pasti akan melihat sekelompok besar wanita yang berbusana putih, duduk di atas tanah dan mendengar penuh perhatian kepada guru yang berada di tengahnya.
“Masjid perempuan di Yogyakarta ini merupakan satu-satunya di Jawa, bahkan tidak pernah ditemui di negara Islam mana pun,” tulis Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923) bab “Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra”.
Rumah ibadah lain bagi kaum perempuan, yang biasa disebut dengan istilah Jawa langgar atau bahasa Arab musala, sejak berkembangnya organisasi Muhammadiyah mulai juga dijumpai di tempat-tempat lain.
Semuanya berdiri berkat cabang wanita organisasi Muhammadiyah yang disebut Aisiyah.
Masjid di Kauman Yogyakarta adalah yang tertua, yang didirikan pada 1341 Hijriah atau 1922-1923.
BACA JUGA: Perjuangan KH Ahmad Dahlan di Bidang Pendidikan: Dituduh Muktazilah Dianggap Murtad
Aisyiyah cabang Garut mengikuti jejak Aisiyah di Yogyakarta dengan mendirikan sebuah Masjid perempuan di kampung Pengkolan; sebuah masjid yang dibangun dengan menggunakan batu kecil segi empat yang berdiri di pelataran dalam sebuah kompleks rumah ibadah bagi kaum laki-laki.
Masjid perempuan ini didirikan pada Februari 1926. Sebuah masjid perempuan ketiga berdiri di Karangkajen, sebuah kampung di luar kota Yogyakarta.
Masjid ini didirikan pada 1927. Biaya pembangunannya mencapai jumlah f 6.000. Bangunan masjid ini dibuat dari batu, layaknya sebuah langgar biasa.
Dari luar masjid perempuan ini sangat mencolok dengan tembok tanpa jendela yang dicat warna putih tinggi di atas pagar bambu yang dianyam.
Di sebuah kampung lain di Yogyakarta, yaitu di kampung Suronatan, juga didirikan masjid khusus bagi kaum perempuan.
Dalam beberapa tahun berikutnya rumah ibadah serupa didirikan di kampung Plampitan Surabaya, kampung Keprabon Solo.
Di kabupaten Purwakarta juga dibangun sebuah masjid untuk kaum perempuan, yang didirikan di desa Ajibarang.
Menurut Djoko, pembangunan masjid khusus perempuan ini juga disemangati oleh gerakan Islam Modern pada awal abad XX, gerakan bagi kemajuan perempuan Islam yang berjalan seiring dengan gerakan Islam Modern tersebut.
Kelompok modernis melihat bahwa Islam telah memberikan dasar bagi emansipasi perempuan. Oleh karena itu, organisasi modernis yang paling dikenal di Indonesia Muhammadiyah yang didirikan pada 1912 oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan juga memberikan perhatian yang besar terhadap organisasi wanita muslim.
Berdirinya Aisyiyah
Secara prinsip Ahmad dahlan menghendaki kegiatan kaum wanita muslim ini diberi wadah. Pada 1917, ia membentuk organisasi yang menampung kegiatan kaum wanita terutama dalam pelaksanaan kursus pelajaran agama.
BACA JUGA: Tujuan Pendidikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan: Jadilah Kiai yang Maju
Istri ketiga Ahmad Dahlan, yakni Nyai Siti Walidah Ahmad Dahlan diangkat menjadi pemimpinnya. Wadah bagi kaum wanita ini diberi nama Aisyiyah.
Aktivitas pertama Aisyiyah adalah memperluas pendidikan agama bagi kaum wanita muslim dengan membangun masjid, kelompok pembaca Qur’an, menerbitkan majalah serta jurnal keagamaan.
Aisyiyah mengikuti agenda organisasi induknya dengan menyebarluaskan pendidikan bagi kaum wanita dalam memperjuangkan perannya yang lebih luas.
Kegiatan Aisyiyah diikuti oleh banyak wanita, dan tumbuh secara pesat. Organisasi ini mendorong wanita untuk terlibat dalam kegiatan umum di samping kewajiban utama untuk merawat dan membesarkan anak-anak mereka seperti ditegaskan dalam ajaran Islam.
Aktivitas pendidikan dilakukan dalam upaya memperjuangkan kemakmuran wanita dengan mengelola taman kanak-kanak dan membuka sekolah kejuruan bagi para gadis dalam menunjang kebutuhan rumah tangganya kelak.
Pada 1930, kegiatan Aisyiyah meluas hingga keluar kota Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tercatat sebanyak 32 sekolah yang mempekerjakan 75 orang guru. Jumlah siswanya mencapai 5.000 orang wanita. Dari jumlah tersebut sebanyak 137 cabang Aisyiyah mengirimkan wakilnya dalam Kongres yang diselenggarakan pada 1930.
Djoko menyebut Aisyiyah tumbuh bagaikan organisasi sekuler yang mulai memodernkan kaum elite di antara penduduk desa, yang akhirnya menjadi basis aktivitas mereka.
Dalam perjalanan kegiatan organisasinya, Aisyiyah bergabung dengan organisasi wanita lain dalam serangkaian kongres wanita, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam bidang pendidikan.
BACA JUGA: KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Tidak Alergi terhadap Politik
Aktivitas Aisyiyah membawa kaum wanita Islam yang tinggal di Kauman (Pemukiman Islam yang berada di sebelah barat Masjid Agung Yogyakarta) keluar dari tempat tinggal mereka.
Lebih radikal lagi, pendidikan Islam memberikan dasar bagi kaum wanita untuk menjadi mubalig dan imam bagi kaum wanita lainnya.
Muhammadiyah juga memperkenalkan wanita memakai kerudung dan jilbab atau sejenis cadar yang menutup kepala dan leher, dan memisahkan wanita dari pria di ruang publik termasuk di masjid.
Selain hal di atas, ideologi yang diterapkan oleh organisasi wanita Muhammadiyah Aisiyah menekankan pada kepatuhan wanita kepada suami mereka.
Kaum wanita yang tergabung dalam Aisyiyah menekankan bahwa kewajiban wanita yang paling utama adalah di dalam rumah. Setelah mengurus keluarganya, mereka diizinkan mengikuti kegiatan bersama dengan wanita lain di dalam masyarakat, dan yang paling cocok untuk itu adalah melalui organisasi Aisyiyah.
Begitu propaganda yang selalu dikumandangkan dalam propaganda baik di Muhammadiyah maupun di organisasi Aisyiyah sendiri.