JAKARTAMU.COM | KH Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah seorang aktivis yang memiliki ideologi dalam memenuhi kebutuhan Islam berdasarkan ajaran Islam.
Dalam salah satu pidato yang disampaikannya, dia menekankan bahwa agama menjadi kebutuhan abadi manusia. Ia menganggap bahwa kesetiaan manusia kepada agama merupakan bentuk bakti manusia kepada Tuhannya.
Prinsip yang dianutnya, semua karya yang baik, tanpa komitmen kepada ajaran agama Islam akan sia-sia, karena semua usaha yang baik ini tidak berkenan bagi Tuhan apabila tidak dilandasi dengan ajaran Islam.
“Benih-benih yang baik akan keluar dari kehidupan yang baik pula,” tulis Prof. Dr. Djoko Marihandono dalam buku “KH Ahmad Dahlan (1868 – 1923)” bab “Muhammadiyah di Era Kolonial: Antara Pro dan Kontra“.
Djoko adalah lulusan sarjana Sastra Prancis, Magister Antropologi dan Doktor Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia.
BACA JUGA: Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX Mematikan Lampu ketika KH Ahmad Dahlan Bertamu
Bagi Ahmad Dahlan, kata Djoko, berkonsentrasi pada kesalehan beragama, wajib hukumnya untuk selalu mencari pengetahuan baru dan khususnya jangan pernah menolak pengetahuan yang datangnya dari pihak lain. “Yang dimaksudkan datang dari pihak lain adalah pengetahuan yang berkembang di Barat,” katanya
Menurutnya, KH Ahmad Dahlan menunjukkan Umat Islam memiliki kebutuhan untuk menguasai semua pengetahuan. Hal ini hanya bisa dicapai, khususnya dalam dunia modern, dengan mengambil semua hal yang berguna dari sumber-sumber di luar Islam.
Bagi Ahmad Dahlan, pengetahuan dan aktivitas intelektual harus dilakukan dalam kerangka Islam yang terarah dan netral, sehingga ide-ide baru itu akan lebih meningkatkan kualitas hidup umat Islam.
Penerapan peradaban Barat dan gaya hidupnya tidak sesuai dengan prinsip islami. Oleh karena itu, Islam tidak mengizinkan untuk mengadopsinya.
Kiai Ahmad Dahlan juga menegaskan bahwa pengetahuan hendaknya diterapkan sebagaimana mestinya sehingga dapat dicapai suatu hasil yang baik, suatu pandangan dan metode yang jelas, dengan menggunakan dasar agama yang standar dan dapat diterima dengan akal sehat.
BACA JUGA: Kristen Muhammadiyah Sudah Terjadi sejak KH Ahmad Dahlan
Pesan intelektual Kiai Ahmad Dahlan berlaku bagi umat Islam yang tetap menganut kesalehan historis, akan tetapi tetap mengakui kebutuhan untuk menerima pengetahuan abad XX dan kemampuan teknisnya.
Tradisional
Djoko menjelaskan, ditinjau dari riwayatnya, Ahmad Dahlan mengenyam pendidikan tradisional di Jawa, namun dipengaruhi oleh ajaran modernis selama tiga tahun masa belajarnya di Makkah.
Ia menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai guru agama dalam sistem pendidikan dan dalam lingkungan sistem pendidikan baru sebagai akibat dari sistem pemerintahan kolonial Belanda.
Sebagai seorang yang telah mengenyam pendidikan tentang keislaman yang mendalam, ia menegaskan bahwa pendidikan sekuler yang tidak mendasarkan pada ajaran Islam, memerlukan sentuhan Islami.
Oleh karena itu, ia dan pengikutnya menyusun dan menggunakan bahan pelajaran dengan menggunakan bahasa Belanda, Melayu dan Jawa sebagai medianya.
Perkembangan madrasah reformis-modernis di antara penduduk bumi putra di Jawa tidak akan pernah lepas dari jasa Ahmad Dahlan.
Ia adalah putra seorang khatib di Masjid Sultan Yogyakarta, Kiai Haji Abubakar. Ketika pertama kali tinggal di Makkah (1890-1891), ia memperdalam pengetahuan agamanya di bawah bimbingan seorang guru yang bernama Ahmad Chatib.
BACA JUGA: Perjuangan KH Ahmad Dahlan di Bidang Pendidikan: Dituduh Muktazilah Dianggap Murtad
Sekembalinya dari Makkah, ia kembali ke Jawa. Ia menciptakan kegaduhan bagi kalangan umat Islam di Yogyakarta, karena ia mengoreksi arah kiblat di masjid Sultan Yogyakarta.
Desakan pribadi untuk terus mempelajari ilmu tentang islam mendesak hati nuraninya untuk kembali ke Makkah pada 1903. Saat itulah, selama tinggal di sana selama dua tahun, ia memperoleh ide-ide reformis Abduh dan memperoleh dominasi jaringan ulama internasional Haramain.
Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, ia mendirikan sebuah madrasah percobaan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai media pengajarannya bersama dengan memanfaatkan piranti meja dan papan tulis.
Banyak organisasi pergerakan pada masa itu yang diikutinya seperti Budi Oetomo, Jami’at Chair, Sarikat Islam.
Hal ini tidak menyurutkan niatnya untuk mendirikan organisasinya sendiri yaitu Muhammadiyah, yang akhirnya menjadi suatu organisasi Islam modern terbesar di Asia Tenggara.
Pada awal berdirinya, organisasi yang didirikannya ini memfokuskan pada pendidikan Islam. Namun, pada perkembangan berikutnya Muhammadiyah juga mengembangkan diri dalam bidang kesejahteraan sosial.
Ahmad Dahlan menjadi guru dan organisator yang dikenal oleh banyak orang. Dengan demikian, karena waktunya sudah habis digunakan untuk berorganisasi, tidak begitu banyak karya tulis yang ditinggalkan.
Pada awalnya, melalui aktivitasnya di Boedi Oetomo, ia diminta untuk memberikan ceramah keagamaan kapada para siswa sekolah pendidikan guru lokal dan OSVIA di kota Magelang.
BACA JUGA: Tujuan Pendidikan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan: Jadilah Kiai yang Maju
Selanjutnya pada 1911 dengan bantuan para siswa dari sekolah pendidikan guru, ia membuka sekolah dasar di dekat kraton Yogyakarta, dengan menerapkan kurikulum yang mengajarkan pelajaran agama dan pelajaran umum.
Nama Ahmad Dahlan menjadi semakin populer tatkala ia mendirikan organisasi modernis reformis pada 1912, yang diberi nama Muhammadiyah, dengan jaringan madrasah, sekolah, dan lembaga Islam modern lainnya.